Mohon tunggu...
Maksimus Abi
Maksimus Abi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, Widya Sasana, Malang

Pernahkah kita melupakan kenanagan? Tetapi kita telah melupakan Tuhan!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Radikalisme Agama bagi Mahasiswa

10 Oktober 2022   22:27 Diperbarui: 10 Oktober 2022   22:32 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ABSTRAK: Radikalisme merupakan suatu gerakan yang menginginkan perubahan-perubahan dengan cara-cara halus sampai dengan cara yang kasar dan sadis. Salah satu cara yang dapat ditemui adalah demonstrasi yang sering ditunjukkan oleh kalangan mahasiswa menjadi bukti gerakan tersebut. 

Sebab, setiap demonstrasi yang   dilakukan mereka selalu berujung ricuh dan terjadi perusakan-perusakan  fasilitas umum. Hal ini tentu meresahkan masyarakat umum. Sehingga,  tindakan tidak terpuji itu menunjukkan bahwa ada unsur radikalisme dibalik semua itu. 

Lebih parahnya lagi demonstrasi yang sering terjadi mengatasnamakan agama. Namun, ada faktor lain yang membangun radikalisme di kalangan mahasiswa yaitu: Pertama, gerakan sosial dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Ketiga, gerakan sosial semata-mata masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak.

KATA KUNCI: Radikalisme, Mahasiswa, Demonstrasi, Agama

PENDAHULUAN

Secara etimologis kata "radikalisme" berasal dari Bahasa Latin "radix" yang berarti akar. Radikalisme berarti dapat dipahami bahwa adanya suatu pergerakan atau aliran yang menginginkan untuk kembali ke "akar" secara ekstrim. Lebih dari itu, aliran ini melancarkan aksinya mulai dengan cara yang halus bahkan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Gerakan semacam ini mulai merebak di kalangan kaum terpelajar khususnya mahasiswa. 

Gerakan tersebut telah membingkai atau mengatasnamakan agama tertentu untuk menyiasati keberadaannya. Sehingga, mahasiswa yang beragama dan dikatakan kaum terpelajar dianggap sebagai ladang yang subur bagi pembenihan doktrin-doktrin aliran tersebut. Fenomena ini sudah mewabah di kalangan mahasiswa yang terdapat wilayah Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pergerakan demonstrasi yang terjadi selalu dilancarkan oleh mahasiswa. Sebagai individu yang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, mahasiswa sangat rentan untuk dipengaruhi, hal inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakat Indonesia terutama dari pihak Universitas atau Perguruan Tinggi tempat dimana para mahasiswa menimba ilmu dan Pemerintah akan sikap dan paham-paham yang tidak baik yang dapat mendoktrin mahasiswa. 

Ketika seorang mahasiswa yang telah terpapar paham-paham radikalisme tidak diragukan bahwa tentu saja penuh gairah untuk melancarkan aksinya tanpa mempertimbangkan perbuatannya.

Realitas radikalisme agama di Indonesia kian hari kian menggelisahkan, khususnya pasca reformasi. Radikalisme agama ditampilkan dalam tindakan dishumanis (tidak manusiawi) yang memilukan, seperti Bom Bali, tragedi Poso, Ambon, Sambas, Tolikara, dan seterusnya (Umar, 2010:146). 

Segala apa yang jahat, seperti tindakan membunuh, meneror, membakar, memusnahkan sesama manusia itu anehnya dibingkai atas nama agama. Hal yang memilukan lagi adalah bahwa ternyata para tokoh, pelaksana, eksponen, pelaku kekerasan itu adalah orang-orang yang mengaku beragama dan lebih parahnya para mahasiswa pun ikut andil. 

Lagi-lagi agama dibawa-bawa sebagai pengesahan atas suatu tindakan brutal, seakan-akan mati dengan cara demikian akan secara otomatis membuka surga bagi para pelakunya. Begitu mudahkah akhirat dicapai dengan cara demikian? Apakah dengan demikian agama menjadi biang kejahatan? 

Di manakah kesucian agama yang didewa-dewakan itu? Maka, untuk mengetahui sebab-musabab fenomena ini, ada beberapa persoalan yang menjadi fokus pembahasan karya tulis ini, antara lain:

Apa penyebab radikalisme agama bagi mahasiswa?

 Apa dampak dari pengaruh  radikalisme agama bagi mahasiswa?

Bagaimana cara mengatasi pengaruh radikalisme agama bagi mahasiswa?

Lalu, melalui persoalan di atas kita dimudahkan untuk mengetahui tujuan pembahasan dari karya tulis ini, yakni:

Untuk mengetahui penyebab radikalisme agama bagi mahasiswa. 

Untuk mengetahui dampak dari pengaruh radikalisme agama.

Untuk dapat mencegah pengaruh radikalisme agama bagi mahasi

PEMBAHASAN

Penyebab Radikalisme Agama bagi Mahasiswa

Kondisi masyarakat Indonesia yang apabila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai suatu paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi. Hal semacam ini justru menjadi pemantik  bagi penganut dari paham atau aliran tertentu menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham atau aliran untuk diterima secara paksa. 

Gerakan radikalisme yang berpandangan kolot, sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka dan demi mewujudkan paham-paham yang dangkal. 

Sementara, tidak ada agama mana pun yang membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan ajarannya, paham keagamaan serta paham politik. 

Ajaran-ajaran agama yang membawa pesan perdamaian, kerukunan, persatuan, keadilan, bahkan membuat HAM dapat tereduksi oleh pemahaman fanatik dan picik terhadap teks-teks agama yang ahistoris. Selain itu, egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid yang syahid, serta egoisme untuk mendapatkan surga yang diyakini, direalisasikan dengan tindakan destruktif yang dapat mengorbankan perdamaian, mencabik tujuan persatuan dan kerukunan umat. 

Fanatisme beragama menyebabkan seseorang menganggap sesama yang berbeda keyakinan menjadi orang berdosa atau kafir yang patut ditobatkan. Anggapan seperti ini justru menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahasiswa sebagai warga negara yang beragama dan berintelektual tentu mampu membedakan kebenaran sejati  dan kedangkalan paham dari suatu aliran. 

Namun, yang terjadi di abad milenial ini, kebanyakan mahasiswa belum mampu memahami bahkan tidak memiliki kemampuan untuk mendalami hidup keagamaan dengan benar. Maka, menurut hemat saya ketidakmampuan mahasiswa demikian lah yang menyebabkan konformitas radikalisme. Hal ini dapat kita saksikan dalam berbagai pemberitaan media massa dan media sosial. 

Dampak Radikalisme Agama bagi Mahasiswa

Radikalisme adalah paham atau ideologi yang menuntut perubahan dan pembaharuan sistem sosial dan politik dengan cara kekerasan. Sebagaimana yang telah saya paparkan dalam latar belakang. Secara bahasa kata radikalisme berasal dari bahasa latin, yaitu kata "radix" yang artinya akar. Esensi dari radikalisme adalah sikap jiwa dalam mengusung perubahan. 

Tuntutan perubahan oleh kaum yang menganut paham ini adalah perubahan drastis yang jauh berbeda dari sistem yang sedang berlaku, dalam mencapai tujuannya, mereka sering menggunakan kekerasan. Mulyadi (2017) mengemukakan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tata tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan berkuasa. 

Menurut Freire dalam Kesuma (2016) semakin radikal seseorang, semakin utuhlah ia memasuki realitas hingga ia dapat memahaminya dengan lebih baik. Orang ini tidak takut berkonfrontasi, mendengarkan, melihat dunia yang tersingkap. Orang ini tidak takut menghadapi orang-orang atau terlibat dialog dengan mereka. Orang ini tidak menganggap diri sendiri sebagai pemilik sejarah atau pemilik semua orang, atau si pembebas kaum tertindas; tetapi ia mengabdikan diri, dalam sejarah, untuk berjuang di sisi kaum tertindas. 

Radikalisme merupakan salah satu sikap yang menyimpang yang dimana perilaku ini tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial, maka dalam memahami radikalisme Robert K. Merton (1957) dalam Kesuma (2016) mengemukakan Strain Theory bahwa perilaku menyimpang ditentukan oleh seberapa baik sebuah masyarakat mampu menciptakan keselarasan antara aspirasi warga masyarakat. 

Jika tidak adanya keselarasan antara aspirasi-aspirasi warga masyarakat dengan cara-cara legal yang ada, maka akan melahirkan perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang merupakan gerakan radikal dalam membela Tuhan dan agama yang semakin marak akhir-akhir ini, sebenarnya merupakan aktivitas yang terus berulang dalam sejarah manusia. 

Sejak manusia mengenal agama, kebenaran agamis dan iman akan Tuhan menjadi bahan bakar bagi aneka gerakan ini. Sehingga orang dapat menilai hal ini dalam dua perspektif, yakni secara positif dan negatif. Secara positif, manusia dengan gairah ini hendak mengukuhkan adanya otoritas Illahi yang telah diyakininya.

 Akan tetapi, secara negatif, orang dapat menemukan aneka semangat semacam ini kadang kala berbenturan keras dengan aliran lain, yang kerap kali memunculkan rasa fanatisme, apologisme, bahkan terorisme yang paling keras sekalipun.

Tak dapat dipungkiri bahwa, pencarian otentisitas keagamaan yang sangat bersemangat pada gilirannya ternyata cenderung berujung pada meningkatnya perjumpaan secara keras dengan pihak lain. 

Endang Turmudi mengatakan bahwa secara sosiologis, setidaknya ada tiga gejala yang dapat ditengarai dari paham radikalisme, yaitu: pertama, merupakan respons penolakan terhadap gagasan-gagasan dan kondisi sosial-politik-ekonomi yang dianggap sangat bertentangan dengan keyakinannya. 

Kedua, penolakan ini berlanjut kepada pemaksaan kehendak aparatur pemerintahan untuk mengubah keadaan secara radikal ke arah tatanan lain yang sesuai dengan cara pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi kepada nilai-nilai tertentu, misalnya agama maupun ideologi lainnya. 

Ketiga, ada klaim kebenaran dan ideologi yang diyakininya sebagai sesuatu yang lebih unggul daripada yang lain. Pada gilirannya, sikap truth claim ini memuncak pada sikap penafian dan penegasian sistem lain. Untuk mendorong upaya ini, ada pelibatan massa yang dilabelisasi atas nama rakyat atau umat yang diekspresikan secara emosional-agresif. Situasi seperti ini selalu ada keterlibatan mahasiswa pada umumnya. 

Haedar Nashir dalam disertasinya yang berjudul : Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2007) mengatakan bahwa ada beberapa kelompok di Indonesia yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal ketika menginstrumentalisasi keyakinannya. 

Pertama, kelompok yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntutan hukum agama. 

Kedua, kelompok yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara memahami dan mempraktekkan agama serba mutlak dan kaku. 

Ketiga, kelompok yang tampil dengan ciri militan yang berhaluan keras, bahkan tak segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya.

Paham radikalisme selalu digerakkan dalam berbagai momentum, dan tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan pihak-pihak lain, terutama oleh kelompok ekstrem yang berada di belakang layar  dan keberadaannya masih kecil tetapi suaranya sangat berisik (noisy minority). 

Maka, radikalisme agama dijadikan sebagai wadah pergerakan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, dengan sejuta ambisi kekuasaan dan politik, tidak cukup di situ saja, mereka mungkin melakukan segala cara hingga yang paling ekstrim akan dilakukan, bahkan dibingkai dalam berbagai aksi yang berjilid-jilid untuk menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap berseberangan. 

Iman akan Allah memang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Kepercayaan akan kebesaran Tuhan memang sudah selayaknya menjadi motor penggerak bagi seseorang untuk semakin takwa kepada Tuhan. Hal ini setidaknya terjadi dalam sejarah Gereja. Perang Salib dan aneka perang bernuansa agama menjadi penanda bagi perlunya membela kepentingan Allah di dunia. 

Agama harus dibela, apapun resikonya. Perang dan membunuh kadangkala harus dikerjakan jika memang itu jalan satu-satunya. Barangsiapa menodai agama, dia harus dihukum berat, bahkan mati jika perlu. Orang sehebat Galileo Galilei pun harus mengalami eksekusi ketika dituduh telah menista agama. Membela agama dan pelbagai ajarannya sebenarnya sudah dilakukan pula oleh kaum Farisi. Mereka merasa begitu mencintai Allah dan adat istiadat Yahudi. 

Nilai-nilai dalam agama yang telah diyakini selama berabad-abad dan termaktub dalam Taurat harus dibela mati-matian. Orang Yahudi sejati bagi mereka adalah mereka yang menjalankan Taurat. Barangsiapa menista Taurat harus dihukum, bahkan orang yang mengaku sebagai Anak Allah sekalipun. Yesus harus disalib karena telah "mengobrak-abrik" praktek suci agama Yahudi. Agama bagi mereka, sekali lagi, harus dibela! Di titik ini muncul pertanyaan besar, yaitu: "Apakah  agama harus dibela sedemikian rupa? Apakah Tuhan yang Maha Sempurna membutuhkan pembelaan manusia yang maha rapuh?"

Inilah masalah dari zaman ke zaman yang diwarisi bersama oleh semua umat manusia. Teologi dari semua agama mengatakan bahwa agama mereka sendirilah yang paling benar, dan yang lain salah atau menyimpang. Persis yang dikatakan oleh kaum teroris: "Kamilah yang paling benar dalam menjalankan ibadah, dan yang lain (penentang kami) adalah kafir, sehingga sah untuk dilenyapkan!" Di titik inilah Charles Kimball mengatakan "when religions become evil". 

Kimball memberi dua tanda yang menjadi penyebab mengapa agama bisa menjadi jahat: Pertama, adanya klaim--klaim kebenaran. Klaim atas kebenaran ini menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi. Perbedaan penafsiran, apalagi perbedaan dalam pemahaman keimanan, mengakibatkan orang-orang yang berlawanan dicap sebagai sesat dan kafir. Kedua, ada semangat misionarisme yang militan dengan menggunakan segala macam cara (bahkan yang keji sekalipun) untuk menyelamatkan "orang kafir yang masih berlumur dosa." Orang lain yang tidak sepaham dengannya lalu dianggap sebagai pendosa yang harus didebatkan.

3. Cara untuk Mengatasi Pengaruh Radikalisme

Menurut Petrus Danan Widharsana (2019), ia mengungkapkan bahwa perlu adanya upaya membangun kerukunan (toleransi) dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang tertuang dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi PBB (16 November 1995), toleransi adalah menghormati perbedaan, saling menerima, dan apresiasi terhadap keanekaragaman kultur, berbagai bentuk ekspresi diri dan cara-cara pengungkapan identitas sebagai manusia. 

Dengan kata lain toleransi adalah kerukunan dalam keanekaragaman. Sebab, perbedaan itu menyenangkan kata pepatah latin. Ini merupakan suatu bentuk penghormatan individu terhadap martabat manusia. Di sinilah hukum kasih berlaku, di mana kita dapat menerima perbedaan demi merajut kerukunan.

Ada pepatah yang mengatakan "Tak kenal, maka tak sayang." Pepatah ini mau mengatakan bahwa kepribadian seseorang tidak dapat kita ketahui dengan pasti apabila belum mengenalnya lebih dalam. Toleransi terhadap orang lain, kelompok, umat beragama  lain, merupakan jembatan bagi kita untuk mengenal mereka secara lebih baik. Maka, kita perlu mendobrak segala bentuk prasangka buruk yang secara tidak sadar telah terbangun dalam diri kita. 

Jadi bukan saatnya lagi orang membangun tembok tapi kita perlu membangun jembatan yang panjang dan lebar demi kebutuhan hidup manusia. Saatnya kita hidup berdampingan dalam perbedaan dan membangun sistem kolaboratif tanpa ada prasangka negatif terhadap kelompok lain ataupun orang lain. Selain itu, perlu adanya kesadaran dalam setiap individu untuk mengembangankan kearifan lokal dan memegang teguh sikap pluralis berintegritas. Dan hal urgent lain yang patut diingat dan diterapkan dalam hidup adalah tidak terpancing provokasi.

PENUTUP

Gerakan radikalisme sering disamakan dengan kaum fundamentalisme. Gerakan ini menjadi suatu aliran yang akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang menakutkan. Sebab, segala sesuatu yang dilakukan oleh kaum tersebut sangat bertentangan dengan tatanan hidup berbangsa. Mereka ingin mendobrak dan menghancurkan apa yang baik menurut pandangan masyarakat umum dan mereduksinya berdasarkan paham-paham yang radikal. Lebih parah lagi, gerakan-gerakan ini, melakukan penyamaran dibalik eksistensi agama-agama. Sehingga, setiap orang yang terpapar paham radikalisme sangat mudah terprovokasi untuk melancarkan aksi-aksi yang telah dirancang oleh kelompok itu.

Selain itu, mahasiswa yang dianggap memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, menjadi objek utama penyebaran paham-paham radikalisme. Sehingga, tidak dipungkiri lagi bahwa setiap gerakan demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa kemungkinan besar berafiliasi dengan kelompok gerakan radikalisme. Untuk itu, sebagai kaum intelektual, mahasiswa hendaknya mendalami pengetahuannya akan yang diperoleh demi membangun suatu kepribadian yang utuh dan dapat mengenal mana yang benar untuk diikuti dan yang salah tentunya harus ditiadakan. Mahasiswa sebagai agen perubahan harus menyadari hal itu. Maka, salah satu cara untuk menghindarkan diri dari gerakan radikalisme adalah menjunjung tinggi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika. Kita perlu menanamkan sikap toleransi yang kuat terhadap sesama dan tidak berprasangka negatif/buruk terhadap orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Agustinus Wisnu Dewantara. "Radikalisme Agama Dalam Konteks Indonesia Yang Agamis Dan Berpancasila." Jpak: Jurnal Pendidikan Agama Katolik 19, no. 1 (2019).

Ahmad Asrori. "Radikalisme Di Indonesia: Antara Historisitas Dan Antropisitas." Kalam:Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 9, no. 2 (2015).

Endang Turmudi. Islam Dan Radikalisme Di Indonesia. Jakarta, 2005.

Faiz Yunus. "Radikalisme, Liberalisme, Dan Terorisme: Pengaruhnya Terhadap Agama Islam." Jurnal Studi Al Qur-an 13, no. 1 (2017).

H. Lukman Asha, Hendra Harmi, Yuyun Yumiarty. Asha, Lukman, Hendra Harmi, and Yuyun Yumiarty. "Upaya Menangkal Paham Radikalisme Melalui Penguatan Pemahaman Keberagamaan, Penguasaan Bidang Ilmu, Dan Enterpreneur (Studi Pada Mahasiswa Di IAIN Curup).," 2018.

Petrus Dana Widharsana. Mengamalkan Pancasila Dalam Terang Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2018.

Zuly Qodir. "Kaum Muda, Intoleransi, Dan Radikalisme Agama." JURNAL STUDI PEMUDA 5, no. 1 (2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun