Mohon tunggu...
Maksimus Abi
Maksimus Abi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, Widya Sasana, Malang

Pernahkah kita melupakan kenanagan? Tetapi kita telah melupakan Tuhan!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Radikalisme Agama bagi Mahasiswa

10 Oktober 2022   22:27 Diperbarui: 10 Oktober 2022   22:32 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paham radikalisme selalu digerakkan dalam berbagai momentum, dan tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan pihak-pihak lain, terutama oleh kelompok ekstrem yang berada di belakang layar  dan keberadaannya masih kecil tetapi suaranya sangat berisik (noisy minority). 

Maka, radikalisme agama dijadikan sebagai wadah pergerakan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, dengan sejuta ambisi kekuasaan dan politik, tidak cukup di situ saja, mereka mungkin melakukan segala cara hingga yang paling ekstrim akan dilakukan, bahkan dibingkai dalam berbagai aksi yang berjilid-jilid untuk menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap berseberangan. 

Iman akan Allah memang harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Kepercayaan akan kebesaran Tuhan memang sudah selayaknya menjadi motor penggerak bagi seseorang untuk semakin takwa kepada Tuhan. Hal ini setidaknya terjadi dalam sejarah Gereja. Perang Salib dan aneka perang bernuansa agama menjadi penanda bagi perlunya membela kepentingan Allah di dunia. 

Agama harus dibela, apapun resikonya. Perang dan membunuh kadangkala harus dikerjakan jika memang itu jalan satu-satunya. Barangsiapa menodai agama, dia harus dihukum berat, bahkan mati jika perlu. Orang sehebat Galileo Galilei pun harus mengalami eksekusi ketika dituduh telah menista agama. Membela agama dan pelbagai ajarannya sebenarnya sudah dilakukan pula oleh kaum Farisi. Mereka merasa begitu mencintai Allah dan adat istiadat Yahudi. 

Nilai-nilai dalam agama yang telah diyakini selama berabad-abad dan termaktub dalam Taurat harus dibela mati-matian. Orang Yahudi sejati bagi mereka adalah mereka yang menjalankan Taurat. Barangsiapa menista Taurat harus dihukum, bahkan orang yang mengaku sebagai Anak Allah sekalipun. Yesus harus disalib karena telah "mengobrak-abrik" praktek suci agama Yahudi. Agama bagi mereka, sekali lagi, harus dibela! Di titik ini muncul pertanyaan besar, yaitu: "Apakah  agama harus dibela sedemikian rupa? Apakah Tuhan yang Maha Sempurna membutuhkan pembelaan manusia yang maha rapuh?"

Inilah masalah dari zaman ke zaman yang diwarisi bersama oleh semua umat manusia. Teologi dari semua agama mengatakan bahwa agama mereka sendirilah yang paling benar, dan yang lain salah atau menyimpang. Persis yang dikatakan oleh kaum teroris: "Kamilah yang paling benar dalam menjalankan ibadah, dan yang lain (penentang kami) adalah kafir, sehingga sah untuk dilenyapkan!" Di titik inilah Charles Kimball mengatakan "when religions become evil". 

Kimball memberi dua tanda yang menjadi penyebab mengapa agama bisa menjadi jahat: Pertama, adanya klaim--klaim kebenaran. Klaim atas kebenaran ini menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi. Perbedaan penafsiran, apalagi perbedaan dalam pemahaman keimanan, mengakibatkan orang-orang yang berlawanan dicap sebagai sesat dan kafir. Kedua, ada semangat misionarisme yang militan dengan menggunakan segala macam cara (bahkan yang keji sekalipun) untuk menyelamatkan "orang kafir yang masih berlumur dosa." Orang lain yang tidak sepaham dengannya lalu dianggap sebagai pendosa yang harus didebatkan.

3. Cara untuk Mengatasi Pengaruh Radikalisme

Menurut Petrus Danan Widharsana (2019), ia mengungkapkan bahwa perlu adanya upaya membangun kerukunan (toleransi) dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang tertuang dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi PBB (16 November 1995), toleransi adalah menghormati perbedaan, saling menerima, dan apresiasi terhadap keanekaragaman kultur, berbagai bentuk ekspresi diri dan cara-cara pengungkapan identitas sebagai manusia. 

Dengan kata lain toleransi adalah kerukunan dalam keanekaragaman. Sebab, perbedaan itu menyenangkan kata pepatah latin. Ini merupakan suatu bentuk penghormatan individu terhadap martabat manusia. Di sinilah hukum kasih berlaku, di mana kita dapat menerima perbedaan demi merajut kerukunan.

Ada pepatah yang mengatakan "Tak kenal, maka tak sayang." Pepatah ini mau mengatakan bahwa kepribadian seseorang tidak dapat kita ketahui dengan pasti apabila belum mengenalnya lebih dalam. Toleransi terhadap orang lain, kelompok, umat beragama  lain, merupakan jembatan bagi kita untuk mengenal mereka secara lebih baik. Maka, kita perlu mendobrak segala bentuk prasangka buruk yang secara tidak sadar telah terbangun dalam diri kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun