Kondisi masyarakat Indonesia yang apabila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai suatu paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi. Hal semacam ini justru menjadi pemantik  bagi penganut dari paham atau aliran tertentu menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham atau aliran untuk diterima secara paksa.Â
Gerakan radikalisme yang berpandangan kolot, sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka dan demi mewujudkan paham-paham yang dangkal.Â
Sementara, tidak ada agama mana pun yang membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan ajarannya, paham keagamaan serta paham politik.Â
Ajaran-ajaran agama yang membawa pesan perdamaian, kerukunan, persatuan, keadilan, bahkan membuat HAM dapat tereduksi oleh pemahaman fanatik dan picik terhadap teks-teks agama yang ahistoris. Selain itu, egoisme beragama untuk mendapatkan predikat mujahid yang syahid, serta egoisme untuk mendapatkan surga yang diyakini, direalisasikan dengan tindakan destruktif yang dapat mengorbankan perdamaian, mencabik tujuan persatuan dan kerukunan umat.Â
Fanatisme beragama menyebabkan seseorang menganggap sesama yang berbeda keyakinan menjadi orang berdosa atau kafir yang patut ditobatkan. Anggapan seperti ini justru menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahasiswa sebagai warga negara yang beragama dan berintelektual tentu mampu membedakan kebenaran sejati  dan kedangkalan paham dari suatu aliran.Â
Namun, yang terjadi di abad milenial ini, kebanyakan mahasiswa belum mampu memahami bahkan tidak memiliki kemampuan untuk mendalami hidup keagamaan dengan benar. Maka, menurut hemat saya ketidakmampuan mahasiswa demikian lah yang menyebabkan konformitas radikalisme. Hal ini dapat kita saksikan dalam berbagai pemberitaan media massa dan media sosial.Â
Dampak Radikalisme Agama bagi Mahasiswa
Radikalisme adalah paham atau ideologi yang menuntut perubahan dan pembaharuan sistem sosial dan politik dengan cara kekerasan. Sebagaimana yang telah saya paparkan dalam latar belakang. Secara bahasa kata radikalisme berasal dari bahasa latin, yaitu kata "radix" yang artinya akar. Esensi dari radikalisme adalah sikap jiwa dalam mengusung perubahan.Â
Tuntutan perubahan oleh kaum yang menganut paham ini adalah perubahan drastis yang jauh berbeda dari sistem yang sedang berlaku, dalam mencapai tujuannya, mereka sering menggunakan kekerasan. Mulyadi (2017) mengemukakan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tata tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan berkuasa.Â
Menurut Freire dalam Kesuma (2016) semakin radikal seseorang, semakin utuhlah ia memasuki realitas hingga ia dapat memahaminya dengan lebih baik. Orang ini tidak takut berkonfrontasi, mendengarkan, melihat dunia yang tersingkap. Orang ini tidak takut menghadapi orang-orang atau terlibat dialog dengan mereka. Orang ini tidak menganggap diri sendiri sebagai pemilik sejarah atau pemilik semua orang, atau si pembebas kaum tertindas; tetapi ia mengabdikan diri, dalam sejarah, untuk berjuang di sisi kaum tertindas.Â
Radikalisme merupakan salah satu sikap yang menyimpang yang dimana perilaku ini tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada makhluk sosial, maka dalam memahami radikalisme Robert K. Merton (1957) dalam Kesuma (2016) mengemukakan Strain Theory bahwa perilaku menyimpang ditentukan oleh seberapa baik sebuah masyarakat mampu menciptakan keselarasan antara aspirasi warga masyarakat.Â