Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bagaimana Kebijakan AS Terhadap Asia-Pasifik Setelah Presiden Trump Setahun Berkantor?

23 Januari 2018   18:18 Diperbarui: 23 Januari 2018   18:36 2128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini media kita banyak memberitakan tentang Presiden AS Donald Trump yang telah mengalami "shutdown" dan mengkhawatirkan tentang dampaknya terhadap Indonesia. Kunjungan Menhan AS James Mattis Ke Indonesia juga tidak luput dari perhatian dunia.

20 Januari adalah peringatan satu tahun Presiden AS ke-45 Donald Trump menjabat presiden. Cable News Network  (CNN) AS menganalisis kinerjanya selama setahun terakhir, dengan mengatakan bahwa Trump telah melanggar tradisi dan menggunakan berbagai metode untuk memperkuat kekuasaan eksekutif.

"The New York Times" mengatakan bahwa Trump telah benar-benar mengubah peran presiden, mendorong keluar elite politik, dan menarik dukungan pemilih dengan gaya pemerintahan "reality show" -nya.

Menyangkut kebijakan luar negeri, dia telah menggunakan rencana "America First" untuk menyesuaikan jalur diplomatik AS. Misalnya, di Asia-Pasifik, Trump mengumumkan saat pertama kali menjabat bahwa strategi "mantan presiden Barack Obama untuk menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik" telah mati.

Tapi setahun berlalu dan Trump masih belum mengklarifikasi strateginya di Asia-Pasifik. Namun, dunia luar telah melihat bahwa untuk sebagian besar, "Military First" telah menjadi arah yang menonjol dari kebijakan Asia-Pasifik Trump, yang dipenuhi dengan strategi "perdamaian yang kuat melalui kekuatan (vigorous peace through strength)."

 Jadi, banyak yang mempertanyakan, dalam setahun terakhir ini, apa yang telah dilakukan Presiden AS Donald Trump di Asia-Pasifik?

Sumber: Pinterest
Sumber: Pinterest
Laksamana John V Fuller, Komandan Batalyon Armada Ketiga A.S. mengatakan: "Saya berharap gugus tempur kapal induk ini akan melakukan peningkatan jumlah misi. Kami sudah memiliki cukup pelatihan untuk melaksanakan misi."

Baru-baru ini, USS Carl Vinson dari Armada Ketiga AS berangkat dari Pangkalan Angkatan Laut AS San Diego, dan memulai misinya ke Samudra Pasifik bagian barat. Dengan meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea, Angkatan Laut AS telah meluncurkan strategi untuk memindahkan Armada Ketiga lebih ke depan.

Pada tahun lalu, AS telah mengirim tiga kapal induk yang semula aktif di Samudra Pasifik timur ke Samudra Pasifik bagian barat. Selain itu, dinamika lain dari AS dalam urusan Asia-Pasifik juga menarik banyak perhatian.

Sumber: Yonhap News Agency + South China Morning Post
Sumber: Yonhap News Agency + South China Morning Post
Pada tanggal 30 November tahun lalu, Komite Senat AS untuk Angkatan Bersenjata menyetujui pencalonan Randall Schriver sebagai Asisten Menteri Pertahan untuk Urusan Keamanan Asia-Pasifik.

19 hari kemudian, Trump secara resmi mencalonkan Susan Thornton (nama mandarinnya: Dong Yunchang) sebagai Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik.

Schriver alumni dari Universitas Harvard dan pernah bertugas di Angkatan Laut Amerika Serikat. Selama pemerintahan Clinton, dia adalah atase pertahanan kedutaan AS di Tiongkok. Selama pemerintahan George W. Bush, dia adalah Wakil Asisten Sekretaris Negara untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik dengan sikapnya yang pro-Taiwan.

Susan Thornton adalah seorang diplomat karier dengan pengalaman lebih dari 20 tahun di sektor Uni Soviet dan Rusia. Setelah memasuki Departemen Luar Negeri pada tahun 1991, fokus Thornton bergeser untuk Urusan Asia Timur

Pada tahun terakhir pemerintahan Obama, dia ditunjuk sebagai Wakil Direktur Urusan Tiongkok dan Mongolia di Departemen Luar Negeri AS, dan juga bertanggung jawab atas kebijakan AS terhadap Taiwan. Dia dipercaya menjadi anggota establishment yang kaya dengan pengalaman tradisional.

Susan Thornton fasih berbahasa Rusia, Mandarin, dan bahkan dialek Minnan (Hokkian), dan nama Tionghoanya berasal dari puisi Dinasti Tang "Awan adalah pakaiannya, dan bunga adalah raut mukanya." ("The clouds are her garb, and flowers are her face.")

Sumber: grabed from CCTVChina
Sumber: grabed from CCTVChina
Beberapa analisis menunjukkan bahwa strategi Trump untuk Asia-Pasifik selalu tidak jelas, hal ini disebabkan ada hal penting yang berkenaan adanya posisi kunci dan penting masih belum terisi.

Tetapi dengan masuknya "profesional" seperti Thornton dan Schriver, apakah penempatan personil yang terlibat dalam strategi Asia-Pasifik pada pemerintahan Trump secara substansial sudah lengkap?

Trump telah menjabat presiden AS sudah setahun, namun dalam pemerintahan pejabat yang bertanggung jawab atas urusan Asia Timur belum terisi. Seperti apa yang sering dikatakan meskipun pejabat tinggi tidak sebagus pejabat yang ada sekarang. Tapi dengan tidak terisinya posisi jabatan ini, yang seharusnya posisi tersebut bertanggung jawab selama 24 jam, namun berhubung masih belum terisi, maka bisa dibayangkan kenapa kebijakan tersebut belum terbentuk.

Meskipun kebijakan Trump untuk Asia-Pasifik tidak jelas, tapi jika dilhat dari kebijakan yang lalu, fokusnya tidak menyimpang dari Asia-Pasifik.

Pada 14 November tahun lalu, Trump mengakhiri 12 hari kunjungannya ke Asia, di mana dia mengunjungi Jepang, Korsel, Tiongkok, Vietnam, dan Filipina. Ini merupakan kunjungan terpanjang ke kawasan tersebut bagi seorang presiden AS dalam 25 tahun.

Perjalanan Asia ini digambarkan oleh Trump sebagai "perjalanan untuk membuat Amerika hebat lagi. "

Trump mengatakan bahwa mulai bulan Januari tahun lalu, perusahaan Jepang telah menciptakan 17.000 pekerjaan untuk AS. Perusahaan Jepang juga akan berinvestasi di infrastruktur Amerika dan energi terbarukan. Sedangkan untuk Korsel, Trump mengkritik bahwa "Perjanjian Perdagangan Bebas AS-Korsel sangat buruk," dan menegosiasikan kembali kesepakatan ini ke arah yang menguntungkan AS, dan sekarang ada 42 perusahaan Korsel yang bersedia berinvestasi di AS dengan total 17 miliar USD.

Proyek perdagangan dan investasi antara AS-Tiongkok 250 milyar USD akan memberikan kepada AS lebih banyak pekerjaaan.

Ketika AS menghadiri Pertemuan Pemimpin APEC di Vietnam, Vietnam juga mengatakan akan menginvestasikan 10 miliar USD di AS.

"America First" telah menjadi prinsip dan tujuan pemerintah Donald Trump sejak awal sampai sekarang. Dia telah menekankan "America First" dan dia tidak pernah meninggalkan itu. Dia ingin membuat ekonomi AS dan militer lebih kuat, dan membangun kembali kepemimpinan dan dominasi AS yang rusak dalam urusan dunia.

Strategi Indo-Pasifik Trump

Pada 10 November tahun lalu, Trump berpidato di KTT CEO APEC di Vietnam. Dengan pengamatan yang cermat, dapat dilihat bahwa dalam pidato sekitar 30 menit, "Asia-Pasifik" yang oleh mantan presiden Barack Obama secara halus diubah menjadi kata lain.

Dalam pidato ini Trump mengatakan: Hari ini, saya di sini untuk menawarkan kemitraan baru dengan Amerika, untuk bekerja sama untuk memperkuat ikatan persahabatan dan perdagangan antara semua negara di Indo-Pasifik, dan bersama-sama, untuk mempromosikan kemakmuran dan keamanan kita.

Perspektif strategi Asia Pasifik dan strategi Indo-Pasifik berbeda. Strategi Asia-Pasifik adalah istilah tradisional, namun jika kita mengikuti ini dari perspektif dia yang menekankan strategi aliansinya, lebih menguntungkan untuk mengusulkan strategi Indo-Pasifik.

Dengan strategi Indo-Pasifik, ini jelas merupakan menaikan posisi India. Asia-Pasifik didirikan berdasarkan aliansi AS-Jepang, sementara strategi Indo-Pasifik didirikan pada aliansi AS-Jepang-Australia-India.

Pada 26 Juni tahun lalu, PM India Narendra Modi memulai kunjungannya ke AS, dan memulai pertemuan pertamanya dengan Trump. Kali ini, "pelukan beruang Modi" menggantikan jabat tangan Trump yang membuat headline di media.

Dalam pidatonya Trump mengatakan: India dan AS tidak pernah lebih kuat, tidak pernah lebih baik seperti sekarang. Dengan bangga saya sampaikan ke media.

Selama kunjungan ini, India membeli 22 pesawat pengintai MQ-9B dari AS dengan total 2 milyar USD. Kedua belah pihak juga mengadakan negosiasi yang tampaknya seperti terburu-buru dengan harapan segera menyelesaikan kerangka kesepakatan untuk memindahkan produksi pesawat jet tempur F-16 AS ke India.

Reuters mengatakan bahwa saat ini, AS telah menjadi penyedia utama pembelian alutsista militer India. Sejak 2008, kedua belah pihak telah menandatangani perjanjian pembelian militer senilai lebih dari 15 miliar USD.

Penjualan produk militer ini, juga bisa membantu India memperkuat kekuatan militernya, dan membendung Tiongkok dan Rusia yang berarti AS bisa membunuh dua burung dengan satu batu.

Di permukaan, hubungan AS-India telah mengalami penghangatan dalam beberapa tahun terakhir, namun yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa masih ada perbedaan besar dalam keprihatinan fokus kerja sama mereka, dan meskipun mereka "berpegangan tangan," mereka tampaknya berselisih. Demikian menurut pandangan beberapa analis.

Namun dalam banyak aspek, India dan Tiongkok sudah bekerjasama dengan baik, termasuk di kawasan Samudra Hindia. Selain itu, mereka juga memiliki kesamaan dalam gambaran global yang lebih besar, dan mereka sesungguhnya memiliki banyak kesamaan, dengan "multi polarisasi global".

India berharap tata letak strategis dunia akan menjadi ter-multi polarisasi. Tapi apa itu multi-polarisasi? Multi-polarisasi berarti bahwa AS akan kehilangan hegemoni. India bekerja ke arah ini. Ini sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan AS.

Dalam Bank BRICS, Tiongkok telah menginvestasikan sebagian besar modal, tapi yang menjadi kepala adalah India. Mengapa? Karena India proaktif, dan mau melakukan ini. AS dan Barat tidak memiliki kendali penuh atas bank dunia ini. Sejumlah besar negara berkembang juga perlu memiliki suara.

India sepakat dengan Tiongkok mengenai hal ini. Tanpa dukungan Tiongkok, sistem BRICS tidak akan berlangsung. Jadi secara keseluruhan, Tiongkok memiliki banyak aspek yang sedang bekerjasama dengan India. Jadi kedua belah pihak harus tetap bisa bekerja-sama, dan kedua belah pihak akan dirugikan jika terjadi permusuhan antar mereka.

Kebijakan Trump Yang Dipandu Isu

Pengamat dan analis berpandangan bahwa saat ini Trump nampaknya berada dalam suatu situasi yang unik, orientasi kebijakannya dipandu oleh isu-isu. Apa artinya itu? Jika beberapa masalah terjadi di tempat tertentu, dia akan fokus menangani masalah itu. Jika ada isu menonjol di tempat lain, dia akan fokus secara khusus pada masalah lain itu.  Jadi dapat dikatakan ini adalah sifat yang sangat jelas dari pemerintahan Trump saat ini, termasuk dengan kebijakan Asia-Pasifik mereka. Demikian menurut beberapa analis dan pengamat.

Asisten Kementrian Luar Negeri AS untuk kawasan  Asia Timur dan Pasifik, Susan Thornton mengatakan beberapa hari yang lalu ketika membahas kebijakan Asia-Pasifik Trump bahwa strategi Obama untuk menyeimbangkan kembali wilayah Asia Pasifik telah secara resmi berakhir, dan bahwa kebijakan Asia-Pasifik Trump mungkin menggunakan metode baru.

Jadi, mengapa menjadi sangat sulit bagi AS untuk menetapkan strategi baru di Asia-Pasifik?

Perlu kita ketahui, saat ini Asia menyumbang lebih dari 60% ekspor Amerika. AS memiliki total investasi langsung lebih dari 620 miliar USD di kawasan Asia-Pasifik, dan sebelum tahun 2030, dua pertiga konsumen kelas menengah di dunia berada di Asia.

Mengingat pentingnya, kepentingan ekonomi dan kawasan Asia-Pasifik untuk kepentingan keamanan AS, dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah Trump akan meningkatkan perhatian dan investasinya di kawasan ini.

"Voice of America" mengatakan, "semua negara Asia sedang menunggu kebijakan Trump untuk Asia. Tetapi sampai hari ini, setelah setahun menjabat presiden, Trump masih belum secara jelas menggambarkan kebijakan Asia-Pasifik nya.

Sumber: www.huffingtonpost.com.au
Sumber: www.huffingtonpost.com.au
Menurut laporan dari "The Huffington Post" pada 11 Januari lalu, dan "Time" menggambarkan rambut Trump yang sedang terbakar "Trump's hair on Fire" untuk mengilustrasikan "tahun pertama yang multi-alarm."

Edel Rodriguez pencipta dari gambar sampul ini menjelaskan dalam sebuah wawancara bahwa rambut terurai Trump mengacu pada buku baru Michael Wolff, "Fire and Fury." Dikatakan bahwa buku ini telah mengungkapkan banyak tentang cara kerja dalam kekacauan di dalam Gedung Putih, dan banyak detail sensasional tentang Trump dan anggota keluarganya, yang telah membuat Trump marah.

Namun beberapa media menunjukkan bahwa hal yang paling unik tentang buku ini adalah menampilkan secara lengkap situasi pemerintahan dalam hampir satu tahun sejak Trump menjabat. "Chaotic (Kacau)" adalah kata terbaik untuk menggambarkan politik internal yang terjadi di Gedung Putih.

Pemerintahan Trump untuk domestik masih belum jalan dengan baik, karena dia telah mengubah banyak kebiasaan Washington D.C., dan menyinggung banyak pihak, begitu banyak pihak yang mencoba untuk membatasinya. Jadi, segala sesuatunya tidak berjalan lancar baginya di AS. Dan sudah pasti membuat kelompok vested interest saat ini menentang establishment tersebut. Jadi saat ini, dalam tahun terakhir ini nampaknya belum terlalu mulus untuk pemerintahan domestiknya.

Selain itu, Trump tidak yakin apakah dia akan bisa dimasgulkan (impeach) besok?  Jadi sulit baginya untuk menyelesaikan ideenya dan menciptakan kebijakan. Jika dia punya waktu atau kesempatan, dia pasti akan menempatkan America First terlebih dahulu. Jadi dalam kebijakan luar negeri, dia hanya berusaha melewatinya. Jadi mungkin itu yang menjadi alasan pertama mengapa dia mengalami masalah dalam meluncurkan sebuah kebijakan,  dikarenakan dia memiliki masalah dalam negeri.

Selain itu, isu Asia-Pasifik cukup kompleks, sulit untuk merumuskan sebuah kebijakan yang baik. Dibutuhkan waktu untuk berpikir dan penyelidikan. Jadi Trump memiliki beberapa kendala domestik dan internasional.

Profesor Ilmu Politik di Universitas Miami, June Dreyer percaya "Saat ini, kebijakan Asia-Pasifik AS masih sering dikendalikan oleh anggota pemerintahan Obama atau diplomat profesional, yang berarti bahwa Trump belum berhasil memenuhi janjinya untuk 'membersihkan lumpur'."

Kenyataan, meski Trump sudah menjabat selama setahun, posisi di pemerintahannya masih belum terisi penuh. Ada lebih dari 4.000 posisi, dan saat ini dia hanya memiliki 2.000 posisi atau orang. Selain itu masih ada setengahnya yang anggota bekas pemerintahan Obama, dan oleh karena itu, dia mungkin masih memiliki ruang untuk menyesuaikan diri dengan mereka dan mana yang merupakan sisa dari pemerintahan sebelumnya, jika tidak semua orang akan merasa bahwa meskipun dia tidak memiliki strategi untuk menyeimbangkan kembali Asia Pasifik, strategi Asia-Pasifiknya tidak akan jauh berbeda dari Obama. Hanya saja beberapa aspek akan meningkat, jadi ini adalah alasan penting kenapa posisi pemerintahannya belum semuanya terisi.

Untuk masalah kebijakan luar negeri, "America First" telah menjadi branded untuk kebijakan luar negeri Trump yang mengurangi kepercayaan dan rasa aman bagi sekutu AS di Asia, dan melemahkan dukungan strategis AS untuk mempertahankan hegemoni. Ini telah membentuk suatu hambatan bagi AS untuk menetapkan kebijakan Asia-Pasifiknya.

Pada 20 Januari 2017, ketika Trump dilantik sebagai presiden, dia secara resmi memproklamirkan pemerintahan "America First." Dengan mengatakan: Mulai hari ini dan seterusnya, Amerika hanya akan mengutamakan "America First." (From this day forward, it's going to be only America first. America first.)

Penarikan dari TPP merupakan perintah eksekutif pertama yang ditandatangani Trump setelah menjabat. Beberapa analis mengatakan bahwa ini adalah tembakan pertama dalam kebijakan "America First".

Untuk pemerintahan Shinzo Abe, Jepang, ini menjadi pukulan berat. Sebelum AS mengundurkan diri dari TPP, Abe membayangkan untuk meyakinkan Trump untuk menjaga TPP.

Penarikan Trump dari TPP merupakan pukulan serius bagi Jepang. Jika Jepang ingin membentuk TPP tanpa keterlibatan AS, banyak analis yang memperkirakan itu tidak mungkin dilakukan. Mengapa?

Karena TPP bisa menarik dikarenakan melibatkan pasar AS, tapi sekarang telah menarik diri, tidak ikut, bisakah Jepang menggantikannya? Tampaknya tidak mungkin.  Karena itulah terjadi beberapa keretakan antara AS dan sekutu dan mitra lainnya, namun AS sama sekali tidak peduli sekarang. AS kini tidak memperdulikannya.

AS percaya itu masalah pihak lain. AS percaya bahwa itu untuk mempertahankan kepentingannya sendiri, dan tidak peduli apa yang pihak lain akan lakukan. Hal-hal inilah yang menjadi masalah terbesar bagi sekutu-sekutunya.

Buku Putih Australia

Pada 23 November 2017, pemerintah Australia menerbitkan "Foreign Policy White Paper." Ini merupakn 'Buku Putih' kebijakan luar negeri pertama yang diterbitkan pemerintah Australia dalam sepuluh tahun terakhir.

Hari itu, PM Australia Malcolm Turnbull menyatakan pendapatnya tentang hubungan Australia dengan AS.

Turbull mengatakan: "Aliansi kita dengan AS mencerminkan keselarasan kepentingan dan nilai yang dalam sementara tidak pernah menjadi belenggu untuk pembuatan kebijakan Australia." (Our alliance with the US reflects a deep alignment of interests and values while never being straight jacket for Australian policy making.)

Saat ini tampaknya Australia merasa tidak nyaman, AS  memperlakukan Australia tidak terlalu sopan. Trump memutuskan telepon PM Turnbull saat mereka melakukan hubungan telepon bersama untuk pertama kalinya.

Trump tampak sedang konflik dengan kebijakan luar negerinya. Dia tetap ingin mempertahankan posisi terdepan AS, tapi dia tidak mau membayar harga untuk itu. Sebaliknya, dia ingin menggunakan kepemimpinan ini untuk mendapatkan keuntungan. Ini bertentangan. Jepang sangat kecewa dengan AS yang menarik diri dari TPP, dan Korsel sangat kecewa dengan negosiasi ulang untuk Perjanjian Perdagangan Bebasnya. Tapi perlu ditekankan bahwa hubungan AS dengan sekutu-sekutu ini masih stabil.

Setelah Trump menjabat presiden, sepertinya dia mengambil posisi ingin menjungkir balikan apa yang pernah disentuh Obama. Meski dia tidak menyebutkan strategi untuk menyeimbangkan kembali kawasan Asia-Pasifik, Trump sering berinteraksi dengan negara-negara Asia-Pasifik, hal itu telah menarik perhatian.

Situs resmi AS "The Diplomat" menunjukkan bahwa walaupun urusan dalam negeri pemerintahan Trump tampak sangat kacau, tapi mereka sangat aktif di Asia.

Bagi Obama dan Trump, kenyataan sama-sama melihat kawasan Asia-Pasifik adalah tempat utama untuk kepentingan AS, hal itu tidak akan diubah walaupun ada penggantian presiden.

Dan ini akan semakin jelas terlihat dari kebijakan Asia-Pasifik versi Trump untuk menjungkir balikan atau memperluas strategi untuk menyimbangkan kembali kawasan Asia-Pasifik.

Menghadapi hubungan internasional yang kompleks, bagaimana kebijakan Asia-Pasifik Trump akan mempengaruhi kawasan Asia Pasifik di masa depan?

Dalam beberapa tahun terakhir, Dialog Shangri-La telah menjadi platform penting bagi AS untuk meluncurkan kebijakan keamanan Asia-Pasifik, dan menjadi jendela penting untuk mengamati perkembangan strategi keamanan di Asia-Pasifik.

Pada bulan Juni tahun lalu, Menteri Pertahanan AS James Mattis mengatakan pada Dialog Shangri-La bahwa AS akan terus memperkuat deplotasinya di Asia-Pasifik  dengan angka aktual,  pada dasarnya mengulangi indeks penyebaran yang diajukan oleh Leon Panetta pada tahun 2012, dengan mengatakan  "Saat ini, 60% kapal Angkatan Laut,  55% dari pasukan Angkatan Darat, dan dua pertiga Marinir ditempatkan di Asia-Pasifik. Segera, 60% angkatan udara taktis luar negeri juga akan ditempatkan di kawasan ini."

Pasukan militer AS saat ini bergerak menuju Asia-Pasifik, tapi mereka dipindahkan dengan lambat. Penyebaran simbolis adalah kapal induk.

Saat ini ada enam gugus tempur kapal induk yang mengarah ke Samudera Atlantik dan lima gugus tempur kapal induk menuju Samudera Pasifik. Setelah kapal induk Ford-class beroperasi, pemerintah AS telah menyatakan akan menempatkannya di Pasifik.

Jika itu terjadi, mungkin akan menjadi enam gugus tempur kapal induk. Saat ini, kita tidak tahu dimana pangkalan induk tetapnya nanti. Mendeplotasikan gugus tempur kapal induk itu utamanya adalah pengeluaran, itu akan menghabiskan biaya hampir 10 miliar USD.

Untuk menginvestasikan 10 miliar USD itu yang belum kita lihat sekarang. Jumlah uang itu akan disesuaikan lagi dari pengeluaran militer tahunan untuk membangun pelabuah induk tetap bagi kapal induk itu.

Selain itu, AS harus menghabiskan 5 sampai 6 juta USD sehingga seluruh biaya lebih dari 10 juta USD, hampir 20 juta USD setiap hari. Jadi jika kita menghitung itu, apabila sudah bertugas selama sebulan yang harganya ratusan juta USD. Ini adalah beban utama untuk biaya militer AS.

Kira-kira kapan kita dapat melihat AS dapat mempertahankan kapal induknya aktif 100% di Asia-Pasifik tahun ini. Pengamat dan analis melihat penyesuaian anggaran yang harus dilakukan AS untuk mendeplotasi militer mereka di kawasan ini.

Enam bulan setelah Mattis menggambarkan arah kebijakan Asia-Pasifik AS di Shangri-La Dialogue, tindakan lain dari pemerintah Trump menunjukkan bahwa kebijakan Asia-Pasifik AS terlihat berkembang dalam bentuknya.

Tahun lalu pada 18 Desember pada waktu setempat di AS, Gedung Putih merilis sebuah laporan "Strategi Keamanan Nasional (National Security Strategy)" yang baru. Sebagai dokumen penting untuk mencerminkan arah kebijakan dan strategi luar negeri AS, laporan "Strategi Keamanan Nasional" yang baru merupakan pertimbangan penting untuk tujuan pemerintah` Trump dalam faktor-faktor seperti strategi, metode dan saluran keamanan nasional.

Saat ini, dari laporan "Strategi Keamanan Nasional" Trump, kita dapat melihat bahwa dibandingkan strategi Obama untuk menyeimbangkan kembali Asia Pasifik, kesamaannya adalah mempertahankan hegemoni AS. Hegemoni global dan hegemoni di Asia-Pasifik sesungguhnya sama.

Selain itu, untuk mempertahankan kepentingannya, sampai hari ini tetap saja lebih mengandalkan kekuatan militer di Asia-Pasifik, hal ini adalah sesuatu yang tidak berubah.

Tapi apa bedanya? Perbedaan pertama adalah ketidakpastian. Ketidakpastian sangat berbahaya saat menghadapi kekacauan regional dan isu hot point.

Poin kedua adalah Trump berusaha menyingkirkan semua peraturan yang sudah dibentuk Obama. Obama telah berkoordinasi dengan negara-negara terkait, terutama kekuatan utama, mengenai banyak masalah keamanan yang signifikan, dan setiap pihak telah membentuk beberapa peraturan keamanan, beberapa di antaranya tidak tertulis, namun semua pihak tahu.

Tapi Trump tidak tahu bagaimana menerapkannya. Dia ingin meninggalkan apapun yang dicapai Obama tanpa peduli dengan apa adanya. Perilaku semacam ini yang mengganggu aturan keamanan, ini adalah perilaku yang sangat berbahaya.

"Berliner Zeitung" Jerman mengatakan dalam sebuah artikel, "Trump tidak hanya mengubah AS, dia juga membuat dunia semakin tidak dapat diprediksi."

Isu Taiwan

Pada 9 Januari lalu, waktu setempat, Dewan Perwakilan AS (House of Representative) meluluskan "Undang-Undang Perjalanan Taiwan ("Taiwan Travel Act" bill)".  RUU ini terutama mendukung "Saling Berkunjung" antara pejabat di semua tingkat antara AS dan Taiwan, dan saat ini sedang menunggu persetujuan dari Senat AS.

Menanggapi RUU ini, pada konferensi pers rutin Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada tanggal 11 Januari lalu, juru bicara Kemenlu Lu Kang menjelaskan sikap tegas Tiongkok mengenai RUU ini.

Lu Kang menyatakan: "Tiongkok dengan tegas menentang RUU ini, dan mendesak AS untuk menghormati kebijakan dan prinsip "One China dari Three Joint Communiques," agar berhati-hati dalam menangani masalah Taiwan, dan tidak terlibat dalam interaksi dan kontak resmi dengan Taiwan, agar tidak mengirim sinyal yang salah kepada mereka yang mendukung kemerdekaan Taiwan. Kami berharap AS dapat mempertahankan gambaran yang lebih besar tentang hubungan Sino-AS dan kerja sama kami dalam urusan internasional melalui tindakan nyata."

Isu Smenanjung Korea

Dengan dimulainya tahun baru, ada kemajuan positif dalam situasi Semenanjung Korea. Mulai 9 Januari, DPRK/Korut dan ROK/Korsel memulai kembali perundingan tingkat senior yang berpusat di seputar Korut yang akan mengambil bagian dalam Olimpiade Musim Dingin Pyeonchang.

Setelah itu, kedua belah pihak terlibat dalam interaksi di berbagai tingkat setiap hari, dan tampaknya mengirimkan sinyal "kabar baik" setiap hari.

Pada 17 Januari, Korut dan Korsel mengadakan pertemuan tingkat tinggi untuk tingkat menteri, dan menurut informasi yang dikeluarkan oleh Korsel hari itu, Korut akan mengirim penonton pendukung (cheering squad) 230 orang untuk menghadiri Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang.

Hari itu, kedua belah pihak mencapai kesepakatan untuk berbaris bersama dan membentuk tim hoki wanita bersama.

Pakar Amerika untuk Urusan Semenanjung Korea, John Delury, mengatakan dalam sebuah artikel yang diterbitkan di situs "Foreign Affairs" bahwa pertemuan tingkat tinggi antara Korut dan Korsel ini "lebih dari sekedar hal yang baik," dan itu mendukung rekonsiliasi antara Korut dan Korsel tidak hanya untuk kepentingan AS, ini juga demi kepentingan seluruh komunitas global.

Dengan latar belakang situasi seperti ini, AS dipaksa oleh tren saat ini untuk mengungkapkan dukungannya terhadap dialog Korut-Korsel. Presiden AS Donald Trump telah mengatakan bahwa dia "mendukung sebuah dialog Korut-Korsel 100%."

AS juga sepakat untuk menangguhkan sementara latihan militer gabungan AS-Korsel selama Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang.

Trump menyatakan: "Saya sangat ingin melihat bekerjanya di antara kedua negara ini. Saya ingin melihatnya jauh melampaui Olimpiade, sungguh. Dan pada saat yang tepat, kita akan terlibat."

Tindakan Nyata AS

Tapi yang perlu dicatat adalah bahwa AS belum menghentikan kebijakannya untuk menerapkan tekanan maksimal kepada Korut. Dalam dialog antara Korut dan Korsel, AS mengumumkan bahwa mereka telah mengerahkan tiga pembom stealth B-2 di Guam.

Baru-baru ini, AS juga memimpin sekutu lama yang mengirim tentara selama Perang Korea untuk mengadakan "Pertemuan Menteri Luar Negeri mengenai Isu Semenanjung Korea (Foreign Minster's Meeting on Korean Peninsula Issues)" di Vancouver, Kanada, di mana mereka membahas bagaimana mencegah masuknya kargo dan minyak ke Korut, dan mempertimbangkan untuk menerapkan blokade maritim untuk masuknya kargo ke Korut.

Menanggapi hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Lu Kang menunjukkan bahwa "sekutu" ini adalah produk dari Perang Dingin, dan sudah usang sejak lama. Lu Kang juga menyatakan, tanpa adanya pihak yang berkepentingan dalam isu nuklir Semenanjung Korea dan menghadiri pertemuan ini, mereka tidak akan dapat mempromosikan solusi yang memadai untuk masalah ini. Saluran utama penanganan dan penyelesaian masalah nuklir Korea masih harus menggunakan kerangka perundingan Enam Pihak dan Dewan Keamanan PBB.

Pengamat melihat saat ini, ada jendela kesempatan yang sangat langka, dan dengan kesempatan jendela ini, Tiongkok mendorong Korut dan AS untuk berinteraksi dan mengadakan pertemuan.

Jika mereka kehilangan kesempatan ini, pengamat dan analis yakin putaran selanjutnya akan meningkat ke tingkat yang lain dan akan lebih buruk lagi. Tetapi jika mereka memanfaatkan kesempatan ini, mungkin akan menghasilkan beberapa awal yang baik atau interaksi yang baik. Maka mereka menganggap tiga bulan ke depan sangat penting untuk melihat bagaimana masa depan 2018 akan berubah.

Beberapa ahli percaya bahwa karena kawasan Asia-Pasifik tempat terkumpulnya kekuatan utama dunia, dengan berbagai kepentingan kompleks dan sulit, Trump perlu mempelajari lebih lanjut tentang penyebab dan akibat dari masalah ini, dan apa penyebab sebenarnya.

Namun, promosi dan implantasi kebijakan Asia-Pasifik pemerintah AS yang baru juga telah dibatasi oleh pekerja rumah mereka, hubungan dengan sekutu, dan faktor lain di dalam dan di luar kawasan, sehingga harus mencapai keseimbangan antara tujuan dan kemampuannya.

Arah masa depan kebijakan Asia-Pasifik AS masih tergantung dari Trump. Strategi keamanan tradisional AS tidak dapat terbebas dari penekanan dan kontak di kawasan Asia-Pasifik yang telah diimplementasikan oleh Partai Republik dan Demokrat selama bertahun-tahun. Tidak akan terbebas dari masalah itu.

Setelah terjadi kompetisi sengit dan ketat selama pemilu di AS, Republik dan Demokrat AS sangat bertentangan, dan bahkan terjadi juga perbedaan serius di dalam Partai Republik.

Jika Trump ingin terus menerapkan kebijakannya, dia harus belajar bagaimana mencapai jalan tengah dan kompromi. Untuk sudut yang lebih luas, ini telah mempengaruhi dan membatasi pelaksanaan kebijakan luar negeri AS.

Beberapa ahli percaya bahwa sebelum pemilihan umum mid-term (jangka menengah) Kongres AS pada bulan November tahun ini, Presiden AS Donald Trump mungkin harus meluangkan sebagian besar upayanya untuk menjaga stabilitas pemerintahannya, apabila tidak ini akan menambah ketidak-pastian lagi mengenai pembentukan kebijakan AS untuk Asia-Pasifik yang baru. Demikian pandangan dan pendapat banyak analis dan pengamat dunia luar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun