Ini adalah cerita pertama saya di Kompasiana. Sebelumnya saya menulis di halaman blog pribadi di blogger dan wordpress. Di postingan pertama ini saya ingin menceritakan asal muasal cerita mengenai seorang pemuda yang mempunyai hobi traveling. Jauh di dalam benak hatinya dia sadar bahwa dia memulai hobi ini ketika dia dikhianati oleh seorang perempuan sejauh..
---
400 KM to 1200 KM
Nama aku Gilang, aku pernah punya mantan di Yogjakarta bernama Andini. Dia berparas cantik, juga handal dalam mengendarai mobil, sedangkan aku hanya mempunyai SIM C - yang artinya aku hanya bisa mengendarai motor, itupun hanya motor tak berkopling saja. Kemahiran Andini mengendarai mobil suatu ketika dia tunjukkan dengan mengantarku dari Yogjakarta - Bandung dalam waktu, 8 jam!. Dia mengendarai mobil luar biasa gilanya.. (mungkin kalian akan terheran-heran dengan wujud dan parasnya sebagai seorang perempuan, tetapi dia mengendari kendaraan, bak supir bus yang tidak pernah mengenal kata, INJAK REM!).
Alasan dia mengantarku ke Bandung waktu itu adalah karena aku tidak dapat tiket balik ke Bandung. Akhirnya dia menawarkan diri mengantar ke Bandung dengan mobilnya. Beberapa kali aku menolak, tapi dia terus memaksa. "Sekalian Jalan-jalan," katanya. Sampai akhirnya aku pun luluh dan memperbolehkannya mengantarku pulang.
___________________________________
(Bandung)
Dia sempat tinggal di kosanku selama beberapa hari. Karena merasa tidak enak dengan penjaga kosan. Akhirnya aku memutuskan menyewa sebuah hotel di daerah Dago untuk tempat dia menginap beberapa hari di sini. Sesaat setelah check-in, tanpa disangka kami berdua mendapat nomor kamar 208. Angka 208 mungkin adalah angka keramat bagi kita berdua. 208 adalah kosan dia di Jogya, 208 adalah tiga nomor dibelakang HP-ku, dan 208 adalah nomor plat mobil dia, dan kali ini kita dapat sebuah kamar hotel bernomor 208.
---
Setelah seminggu lamanya di Bandung. Dia meminta izin kembali ke Jogja dengan mengendarai mobil sendirian. Jujur, aku nggak bisa tinggalin dia menyetir sendirian seperti itu, apalagi saat itu sudah tengah malam. Dalam keadaanku yang sedang demam tinggi saat itu, aku pun memaksakan diriku untuk menemaninya sepanjang perjalanan Bandung - Yogyakarta malam itu. Perjalanan selama 10 jam itu adalah perjalanan yang diwarnai dengan rasa gembira, aku tidak tau kenapa, tapi yang aku sadari, tidak ada perasaan sedih waktu itu. Hanya senyuman saja..
---
Aku adalah seseorang yang berwatak keras dan selalu ingin "mendominasi" di setiap hubungan yang aku jalani. Walaw begitu, jauh dalam watak yang keras tersebut. Aku adalah seorang yang akan terus ada dan selalu melindungi orang yang aku sayangi sampai kapan pun juga.
---
Suatu ketika kami terlibat pertengkaran di telepon. Di akhir pembicaraan, dia berkata "Aku gak mau ketemu kamu lagi, ini terakhir kalinya kamu bicara sama aku!!." Telepon pun diputus. Aku mencoba berkali-kali menelepon kembali, tapi dia tidak mengangkat. Karena cemas terjadi apa-apa, akhirnya akupun segera bergegas ke Jogja saat itu juga.
Waktu itu pukul 12 malam. Dalam perasaan gelisah, aku berusaha mencari transportasi ke Jogja saat itu juga. Kendaraan umum di Bandung tidak beroperasi selama 24 jam dan tujuan pertama yang terfikirkan saat itu adalah Stasiun KA Hall Bandung.
Karena tidak ada angkot lagi, aku pun akhirnya terpaksa berjalan kaki menuju stasiun selama satu jam lamanya. Sesaat sampai, aku segera menerobos masuk ke dalam pagar Stasiun yang masih terbuka sedikit tetapi terlihat sudah ditutup waktu itu. Tidak selang beberapa lama aku menapakkan kaki di dalam, seorang satpam menegur dan membentakku untuk segera keluar. Karena jam operasional KA baru dimulai kembali pukul 5 pagi maka tidak ada pemberangkatan kereta lagi saat ini.
Melalui pengusiran tersebut, aku pun keluar dari stasiun, lalu mencari sebuah alternatif lain ke Yogyakarta, bus. Sepanjang perjalanan menuju terminal bus Cicaheum aku terus mencoba menghubunginya lagi, tapi tetap, dia tidak pernah meresponnya. Saat itu pun aku menyegerakan diriku untuk sampai di terminal Cicaheum Bandung. Karena tidak ada kendaraan umum lagi di daerah itu dan dengan berbekal uang seadanya aku pun memaksakan diriku memberhentikan sebuah taxi menuju terminal.
Tak terasa hari semakin pagi, sesampainya aku di terminal. Aku pun segera masuk lalu mencari sebuah bus yang bisa mengantarku ke Yogyakarta. Bus ekonomi jurusan Solo lah yang masih tersisa dan baru saja mau berangkat. Jika bus ekonomi tersebut pergi, berarti aku harus menunggu sampai jam 8 pagi untuk pemberangkatan bus berikutnya.
Aku harus bergegas naik.
---
Perjalanan selama 12 jam itu dipenuhi dengan rasa lelah dan penat yang amat sangat. Lelah, karena semakin siang keadaan bus semakin penuh sesak oleh penjual dan penumpang yang memadatinya. Penat, karena tidak ada yang bisa aku lakukan di sana, selain duduk tenang.
---
Aku mempunyai suatu alasan kuat, kenapa aku harus khawatir dengan pacarku ini. Setiap kali kami bertengkar hebat. Dia selalu mengancam akan bunuh diri. Oleh karena itu, setiap dia bilang, "Aku nggak mau ketemu kamu lagi, ini terakhir kalinya kamu ketemu aku!." Aku rela melakukan apa saja untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Aku sayang dia.
Aku tau keluh kesahnya selama ini. Aku tau.. Di luar dari asal keluarganya yang amat berkecukupan, aku tau bahwa dia tidak bahagia. Naluri seorang laki-laki adalah berusaha melindungi seseorang yang paling disayanginya. Itu pun yang akan aku lakukan saat aku menjadi ayah untuk keluargaku kelak.
---
Dalam hubungan tidak sehat itu aku selalu yang paling banyak melakukan pengorbanan, bahkan kuliahku pun terkatung-katung. Menginginat kuliahku di jurusan Geologi yang dipenuhi oleh field trip dan eskursi setiap mata kuliahnya. Maka aku harus bisa me-maintain antara waktu kuliah dengan waktu bersama pacar. Yang sejujurnya, pacar lah yang selalu aku dahulukan.
---
Jam 4 sore aku sampai di Yogyakarta. Aku mencoba menghubunginya. Aku mencoba SMS bahkan telepon, tetapi tetap tidak pernah ada balasan..
Dalam situasi seperti ini aku tidak mau berfikir buruk, aku akan tetap berusaha berfikir positif.
Aku segera mengambil bus dari ring road menuju Gejayan tempat dia tinggal sekarang. Saat itu aku terpaksa tidak makan, dan minum untuk menghemat pengeluaran. Aku putuskan untuk segera pergi ke kosannya di sekitar kampus UGM, Karang Gayam.
---
Sesampainya aku di sana. Aku mengetuk pintu kamarnya. Alangkah terkejutnya aku saat membuka pintu!. Tangan dan kakinya penuh dengan goresan benda tumpul dan kulit putih halusnya sekarang terlapisi oleh sisa-sisa tanah basah yang mulai mengeras mengering menutup luka di tangannya.
Dia menggores-goreskan tangannya dengan garpu, lalu menutupi lukanya dengan tanah basah agar mempercepat infeksi. Shock?!. Aku merasa bersama dengan dia.
---
Aku segera mengelap tangannya yang mulai membengkak dengan air bersih lalu pergi ke warung terdekat untuk membelikannya antiseptik. Bergegas kuobati lukanya dengan seksama, menyuruhnya berbaring, sambil membasuh lukanya, serta memberikannya antiseptik ke bagian yang terluka. Melihat kondisinya seperti ini aku semakin iba. Tapi satu hal yang aku yakini, aku semakin sayang dia dan berjanji melindunginya dari apa pun. Termasuk dari watak kerasku selama ini.
---
Tidak seperti biasanya, ketika aku di Jogja, aku selalu menginap di rumah kontrakan sepupuku. Tapi khusus kali ini, setelah mendapat izin dari penjaga kosannya. Aku rela tidur, di sebuah kursi rotan di depan kamarnya yang bernomor 208 itu.. Berusaha menjaganya agar hal buruk tidak terjadi lagi.
---
Seminggu penuh aku merawat dia. Melihat dia yang sudah lebih baikan, aku pun memutuskan untuk kembali lagi ke Bandung karena aku punya tanggung jawab lain yaitu menyelesaikan studi-ku.
---
(Beberapa bulan kemudian)
Seiring dengan intense-nya kegiatan di kampus. Aku mengurangi kepergianku ke Jogja untuk sementara waktu. Tidak ada maksud untuk tidak perhatian, tetapi sekarang aku berusaha untuk fokus di kuliah. Tetapi mendadak, suasana inilah yang mulai aku rasakan terasa sangat aneh.
Dia mulai bersikap berlebih. Sesuai dengan janjiku sebelumnya ke dia untuk berusaha mengendalikan diri dari sikap arogansiku. Aku mulai mencoba mencarikan solusi terbaik, berusaha untuk sering ke Jogja dan berusaha ber-kepala dingin sekalinya kita terlibat pertengkaran.
Tapi aku tidak tahu kenapa. Tiba-tiba dia amat protektif, bahkan dia mulai membuat larangan yang tidak masuk akal. Yang pada suatu titik menyebabkan pertengkaran hebat terjadi.
Aku bilang ke dia. Aku meminta izin bertemu dengan orangtua di Depok karena sudah 6 bulan ini aku tidak pulang ke rumah.
Aku coba beri penjelasan dengan kepala dingin. "Aku ke sana untuk bertemu orangtuaku, karena mereka kangen..," pintaku.
Kemudian dia memberi suatu pilihan : PILIH ORANGTUA, atau DIA MATI..
_________________________________________________________________
Aku mencoba saran dari teman untuk meyakinkan dia bertemu dengan orangtuaku di Depok, tapi ternyata dia marah dan kita mulai bertengkar lagi. Melihat kondisi yang semakin tidak sehat itu aku akhirnya memutuskan untuk rehat dulu. Mencoba memikirkan apa yang terbaik untuk hubungan kita ke depan dan saling introspeksi satu sama lain.
---
Masa-masa rehat adalah masa-masa sulit antara hubunganku dengannya. Sehari tidak mendapat kabar darinya, rasanya adalah sebuah siksaan berat. Tapi, karena keputusan itu dibuat oleh kita berdua, maka aku harus menelan pahitnya juga.
---
(Seminggu kemudian)
Rasa pusing, penat, bercampur aduk dalam pikiranku. Sesaat setelah aku pulang berenang di Sabuga suatu sabtu sore. Perasaan kangen yang amat sangat tiba-tiba muncul kembali, sampai akhirnya aku pun tidak tahan untuk meng-SMS-nya.
Aku : Gimana kabar kamu? Kamu sehat kan?.
Andini : Aku sehat.
Aku : Syukurlah kalau begitu, aku seneng nggak ada apa-apa sama kamu. Aku minta maaf kejadian kemarin ya?"
Andini : Ok.
Aku : Kamu kenapa?, kok balasnya singkat?.
Andini : Aku lagi di Bukit Tinggi, sama cowokku. Sori, tapi kamu SMS di saat nggak tepat. Aku lagi di rumah keluarganya. Dia lebih baik daripada kamu, dan kita sudah temenan lama.
Bukan main shock-nya aku membaca SMS itu!. Di saat aku kangen dan terus memikirkan, dia, malah sudah punya pria lain selama ini.
---
Aku murka. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bingungnya aku waktu itu. Tanpa pikir panjang aku pun langsung mencari penerbangan langsung ke Padang, jam 7 malam. Aku berkeliling kota Bandung mencari travel agent yang masih buka, yang bisa menyediakan tiket untuk penerbangan hari minggu langsung ke Padang.
Nihil..
Semuanya sudah tutup jam 5 sore tadi. Putus Asa, kembalilah aku ke kosan.
---
Di kosan, aku berusaha menelepon berbagai maskapai murah. Sayangnya karena besok hari minggu dan penerbangan murah telah full-booked. Maka hanya tersisa penerbangan mahal.
Setelah aku cek tabungan, uang yang tersisa hanya untuk membeli tiket dan aku tidak tau, "Apakah sisanya bisa untuk tinggal di sana?," karena aku tidak punya kerabat, saudara, bahkan aku pun tidak tahu di mana nanti akan tinggal.
Nekatlah aku booking tiket via ATM, setelah mendapat struk pemberangkatan. Aku pun bersiap tidur untuk penerbangan langsung jam 11 siang dari Jakarta. Aku beli tiket balik untuk penerbangan hari minggu dan kembali lagi hari rabu.
---
(Bandara Minangkabau)
1,5 jam penerbangan dari Jakarta, cukup membuatku merasa bosan. Tidak ada yang bisa aku lihat selain hamparan awan dan bentangan laut luas. Tapi, semuanya akan terbayarkan, sesaat setelah bertemu dengannya di Padang..
---
Sesampainya di bandara. Aku pun meng-SMS dia.
"Aku ada di Bandara Minangkabau sekarang. Aku pergi ke Bukit Tinggi sekarang. Aku mau ketemu kamu."
(15 menit gua menunggu balasan dia.)
"Ngapain kamu di sana? Aku lagi sama cowokku di "Jogja" lagi jalan-jalan sama keluarganya. Ok, selamat jalan-jalan aja di sana.."
---
Aku hancur mendapat balasan seperti itu dari dia. Perlu diketahui, aku sama sekali tidak punya kerabat di Padang, bahkan teman sekali pun. Aku belum tau akan tinggal di mana, makan-minum bagaimana?. Sebersik pikiran menjadikan bandara ini tempat tinggalku sampai rabu nanti.
Perasaan yang tadinya senang, sekarang hancur. Rasanya ingin memukul seseorang. Aku sungguh murka, dikhianati seperti ini. Pada saat aku ingin menyampaikan maaf ke dia. Dia malah berlaku seperti itu.. Dia sekarang dengan seorang pria lain di Jogja, dan meninggalkanku di Padang sendirian.
---
(2 jam kemudian)
Aku tidak bisa seperti ini terus. Dengan perasaan kesal. Aku dengan besar hati menerima "Semoga dia bahagia dengan orang itu.. Mungkin.. Mungkin bukan dengan diriku..." Ini saat yang paling menyakitkan dari hubungan aku dengan dia. Dan aku akan terus mengingat kejadian di kota Padang ini. Di sini aku telah meninggalkan hati dan semua perasaan terhadap dia. Terhadap seorang perempuan yang kapan pun akan terus merawat dia, bagaimanapun kondisinya. Walaupun lewat doa..
---
Akhirnya aku menyerah, ini adalah jalan yang paling baik. Dan untuk membuat dia sedikit menyesal, aku kirim email ke dia berisi perjuanganku selama di Padang sesaat sesampainya aku di Bandung.
---
ISI EMAIL UNTUK ANDINI
Kamu ingat kata-kata terakhir ketika di Jogja sebelum kamu antar aku ke stasiun Tugu, "Sayang, aku mimpi beberapa ini, kita ga bakal bertemu lagi?". Kemudian kita berpelukan, dan kamu bilang "jangan bilang itu, Yang?".
Tapi sadarlah jika sekarang semuanya benar terjadi.
Semuanya sedikit berubah, aku banyak menyadari kesalahan-kesalahanku. Semua prilaku burukku. Dan semua yang telah aku lakukan ke padamu.
Aku tunjukin bahwa aku benar-benar sayang dengan kamu dengan pergi ke Padang. Tanpa tahu apa-apa tentang daerah yang akan aku tuju.
Jam Gadang, itu yang selalu ada di dalam pikiranku, setelah tau kamu di Bukittinggi.
Aku tidak punya siapa-siapa di sana?. Hanya bermodalkan sedikit uang, dan kenekatanku untuk bertemu kamu, hanya kamu.
Aku ingin tunjukin ke kamu, aku sayang kamu. Aku mau berubah, ya, aku ingin berubah.
Aku bohong ke kamu, aku ga tinggal di rumah temenku, aku ga punya siapa-siapa di sana.
Dengan uang seadanya aku pun cari penginapan. Dekat dengan tempatmu. Ololadang. Aku menginap selama 2 hari di sana.
Hari senin, tanggal 1. Dengan modal kenekatanku, aku pergi ke Bukittinggi.
Aku benar-benar ingin lihat Jam Gadang, aku kangen banget sama kamu. Ga ada yang bisa ngobatin kangenku selain pergi ke tempatmu, dan melihat jam tersebut. Walaw aku berharap bukan jam tesebut yang aku lihat, kamu.
Bukittinggi : Di bawah hujan deras saat itu, aku tetap pergi tanpa tahu di mana jam Gadang itu.
Angkot merah nomor 13, itulah yang membawa aku ke jam tersebut.
01:13pm aku sampai di jam tersebut. Orang-orang di sekitar jam berteduh karena hujan semakin lebat.
Tapi, Yang. Cuma aku satu-satunya orang yang rela melihat jam tersebut tanpa berteduh di manapun.
Walaw tahu kamu tidak akan datang, aku tetap menunggu di sana sampai jam 3:18pm. Aku basah kuyub. Lapar, dan lelah.
Aku ga cukup uang untuk makan di sana, aku ga makan dari hari minggu. Setiap kali makan aku hanya mengandalkan makanan yang disajikan gratis sebagai sarapan di hotel.
Jam 3:47pm aku pun kembali ke Padang.
Sesampainya di penginapan, aku menahan sakit, pusing, dan mualku dan laparku selama perjalanan.
Aku jatuh sakit, seharian berusaha menunggu kamu di jam Gadang, tanpa ada hasil (walaw aku tahu aku tidak akan bertemu kamu di sana). Pulang dengan rasa lelah dan penat. Tapi aku sangat bersyukur, aku masih bisa bertahan hidup walaw tidak dengan bantuan siapa-siapa.
Akhirnya, aku berusaha senang dengan sahabatmu di sana yang kamu pilih.
Dan temanku Nova dan Rani, dia saksi perjuanganku mencari kamu di sana.
Ada SMS aku ke Nova dan Mbak.Rani, yang masih aku simpan sampai sekarang :
---
Rani
+6285622511xx
Ga apa-apa mbak. Mungkin dia udah dapet yang lebih baik dari saya. Namanya juga berkorban. Ga ap-apa saya aja yang mundur. Tadi saya SMS dia saya udah di Padang, dianya ga peduli.
---
Nova
+6281296306xx
Gua, ga apa-apa IPK gua buruk semester ini dan kemarin. Yang penting buat gua, dia sehat, dan semoga orang yang dekat dengan dia sekarang bisa terus ngerawat dan ngejaga dia. Yang tidak pernah bisa gua berikan.
---
Setelah aku kirim SMS tersebut, semuanya berubah. Aku berusaha melupakanmu. Walaw sulit. Aku rela mundur, dengan segala angan-anganku kepadamu.
Aku tidak pernah bisa menjadi yang terbaik. Aku berusaha tapi tidak pernah bisa.
Dalam jelang waktu 2 minggu ke depan akan banyak yang berubah. Andini, aku tidak bisa memanggilmu, sayang lagi.
Ketika, kita bertemu nanti, kita tidak bisa seperti dulu lagi.
Semua mimpiku menjadi kenyataan "Sayang, aku mimpi berhari-hari ini, kalau kita ga bakal ketemu lagi?". Kemudian kita berpelukan, dan kamu bilang "jangan bilang itu, Yang?".
Selamat tinggal,
nomor 208-ku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H