Sebenarnya, hati saya perih banget. Kenapa saya harus suka baca, bukankah teman lain yang tidak suka baca lebih sukses dari saya. Kuliah ke tempat yang cukup dikenal, sedangkan saya harus hanyut mengumpulkan rupiah demi rupiah. Berangkat pagi pulang sore, begitu seterusnya.
Kendati begitu, hati saya menguatkan pasti ada hikmahnya. Saya niatkan tabarukkan ke orang tua. Saya coba nikmati apa yang saya miliki, mimpi saya biarkan itu jadi kenangan saya. Kalau kata peribahasa Arab, Usfurun fil yadi khoiron fil jawwa, sedikit di tangan lebih  bagus daripada banyak di khayalan. Ya sudah, mungkin takdir saya tidak di sana.
Dan sekarang, kenangan itu masih lekat. Rentan waktu 13 tahun lalu. Ah Fahri, kenapa Kang Abik begitu hebat mencipta tokoh sepertimu. Mahasiswa miskin dari Indonesia, cinta ilmu dan kemudian bertemu dengan Maria, Aisha dan Yasmin. Jadi konglomerat karena menikahi Aisha, jadi dilema dicintai Maria yang berbeda agama, dan konflik karena terkena badai cemburu cinta Yasmin yang bukan siapa-siapa.
Sampai kini aku justeru masih menerka, akan kemana takdirku. Sekian lama memupuk mimpi, akankah mimpi itu tercapai seperti sinar lembut rembulan malam ini. Atau hanya jadi coretan saja di sejarah hidupku yang biasa-biasa saja. Bertarung dengan bengisnya kenyataan. Bersabar dan terus belajar memahami, Allah bersama orang-orang sabar. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 25 Oktober 2024 Â Â 23.54
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H