Sepulang dari salat jum'at, tubuh saya terasa lemas. Setelah bubar dan yang lain pulang, saya melakukan wirid seperti biasanya. Seterusnya, saya berbaring di lantai masjid melepas penat dan kantuk yang menggantung. Cuaca akhir-akhir ini memang sedang mengganas, kurang asupan gizi yang cukup, bisa diserang dehidrasi yang akut.
Stetelah berbaring 10 menit, saya pun pulang. Niatnya sedikit mau tilawah, tapi kepala terasa pening. Tubuh terasa terbang begitu, saya jadi bingung. Kebingungan itu diobati dengan tidur, semoga dengan itu pergi pusing yang lumayan nyut-nyutan. Setelah itu, hanyut di alam mimpi.
Aktivitas tidur ini mengingatkan saya pada sosok Fahri di novel Ayat-Ayat Cinta. Fahri yang mahasiswa master Al-Azhar University itu meski pun panas yang memanggang Mesir, ia semangat mencari ilmu. Talaqqi qiro'at sab'ah pada Syaikh Utsman. Ia termasuk orang Indonesia yang beruntung, dari 7 muridnya Syaikh semua dari Mesir dan hanya ia yang dari luar. Bahkan termasuk murid disayang gurunya. Bedanya sama saya, saya tidur.
Mesir dan Al-Azhar memang dua hal tak terpisahkan. Mesir bangga dengan adanya universitas kedua tertua di dunia itu. Ada banyak jutaan alumninya tersebar ke seluruh dunia, menjadi estafet perjuangan dakwah ahlu sunnah ke seantero bumi. Dengan prinsip inklusif, moderat dan toleransinya.
Entah kenapa tiba-tiba saya ingat Fahri dan segudang perjuangannya di Mesir. Saya tahu AAC memang fiksi, tapi saya percaya, 70% adalah pengalaman penulisnya yang pernah mengecup surga ilmu di negeri seribu kubah itu.
Saya ingat sekali sewaktu Aliyah dulu, karena saking nge-fans sama Fahri ke mana-mana saya suka bawa buku. Baik pas di rumah, apalagi di sekolah. Di mana ada buku di situ saya ada, saya baca apa yang saya mau. Orang kira mungkin saya memahami apa yang saya baca, tak ayal banyak teman-teman menjadikan saya "perpustakaan berjalan". Bertanya ini-itu. Ya emang saya jawab, tapi sebisanya. Sebisanya ini dianggap serba bisa.
Aslinya, ya saya hanya membaca. Tidak semua yang saya baca bisa saya pahami. Niatnya saya memang pengen baca, kesemsem sama dunia perbukuaan. Walau pun timbul masalah selanjutnya, bagaimana mencari buku sesuai yang saya mau agar mengobati rasa haus ilmu.
Saya berburu di perpus sekolahan, hampir 80% buku lawas dan buku pelajaran. Saya pergi ke perpustakaan daerah saya, koleksinya pun kurang greget. Belum lagi, ada aturan yang terkesan di buat-buat, ditambah lokasi perpus waktu itu berada tepat di belakang gedung balai budaya. Tempat asyik untuk bobo, tak jarang saya harus terkantuk-kantuk menjaga kesadaran. Belum perut keroncongan.
Selanjutnya atas saran dari bapak, saya berlangganan majalah Islami bulanan. Uangnya dari uang saku sekolah yang saya tabung, jadi jadwal nongkrong dan jajan saya kompres sangat ketat biar tiap bulan bisa beli buku dan majalah. Waktu itu aneh juga sih, yang lain koleksi ini-itu, saya koleksi majalah dan buku. Enak enggak, mudeng ya. Haha.
Di sekolah akhirnya saya dikenal kutu buku. Kalau mau mencari saya gampang, kalau tidak di kelas paling di mushola dekat pemandian umum. Ngapain di situ, pertama menjaga lingkungan pergaulan, kedua ingin menenggelamkan diri direngkuh gusti Allah. Makanya, mau ada teman atau tidak, saya gak repot. Toh, saya punya buku. Buku teman paling setia, pikir saya.