Seperti yang saya bilang karena saya dikenal kutu buku, terutama buku-buku keagamaan maka banyak yang tanya ini-itu. Saya macam Mamah Dedeh sama Cak Abdel gitu, terutama teman wanita. Lingkup pergaulan saya justeru lebih ke perempuan, tak sedikit saya "dipaksa" jadi tempat curhat. Tak hanya satu perempuan, dari yang populer sampai orang biasa hampir jadi tempat ngobrol-ngobrol gitu. Mungkin karena perempuan suka sama orang yang mau mendengarkan.
Dunia itu bagi saya, sisi lain membuat saya cepat baper, di sisi lain  saya ketagihan untuk banyak hal. Saya mulai kerajinan menulis harian, baik soal kisah cinta sampai hal kegundahan pikiran saya. Bagaimana tidak baper, kalau ada bintang kelas dikejar-kejar sama yang lain, entah kakak kelas bahkan adik kelas, lah sama saya sering ngobrol. Orang mencari kesempatan sedang bagi saya, kesempatan datang sendiri. Jadi di mata saya, spesial di mata orang belum tentu bagi saya.
Sedikit banyak membuat saya kurang fokus. Pada akhirnya saya mengakui, ternyata ada rasa di dada saya. Hanya saja saya kubur dalam-dalam, saya tahu dia dan sadar siapa dia. Ingat masa itu, kok lucu. TTM lah kami.
Puncak karir saya di sekolah itu saat pemilihan OSIS, banyak kandidat yang medaftar. Saya termasuk yang dipilih. Jujur saja, saya gak punya ekspetasi apa-apa. Dibanding yang lain, saya termasuk orang yang kurang aktif di organisasi sekolah apalagi luar sekolah. Otomatis, kepercayaan diri saya agak menciut. Introver saya tuh.
Entah kenapa pas orasi visi dan misi di antara murid satu sekolah, saya merasa paling unggul. Gagasan saya biasa tapi lebih lugas. Misalnya, kalau yang lain banyak membuat program yang agak mengawang atau mengejek program OSIS sebelumnya, saya justeru bilang "bakal melanjutkan program OSIS lama yang bagus dan memperbaiki program yang kurang tepat sasaran". Itu ditangkap histeris dengan jeritan kaum perempuan.
Dari 100% murid yang hadir, memang 70% murid perempuan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, karena dunia saya waktu itu dekat dunia perempuan maka saya tidak pusing mencari dukungan. Tiba-tiba saya punya pendukung loyalis. Masa-masa itu saya seperti selebriti di sekolah, gelar Ketu OSIS melekat di pundak saya.
Demikianlah masa itu. Hal yang saya ingat pula ketika saya kerajinan membaca buku, almarhum kakek sering menyindir saya dengan sebaris kalimat "awas jadi Muhammadiyah", saya justeru penasaran, apa itu Muhammadiyah. Emak pun sama, kadang risih melihat koleksi buku anak bujangnya, bukannya uang di tabung untuk masa depan, kenapa dihabiskan untuk membeli buku. Lah iya, siapa kita, Nak.
Saya gak peduli, buku dan penasaran membuat saya jadi pemberontak. Apa saja buku saya lahap. Buku dewasa sampai politik jadi bahan bacaan, untuk itu tiap ada ulangan pelajaran umum terutama sejarah saya gak merasa repot untuk mengisi. Ketika Emak menjanjikan akan menguliahkan anaknya saya termasuk yang paling senang.
Dan terbukti, setelah lulus sekolah saya ditawari kuliah di Jakarta sambil kerja oleh saudara bapak yang jadi dosen ekonomi di sana. Saya siap karena itu tantangan buat saya, gak peduli seberat apa pun. Tidak dengan Emak, beliau berharap saya tetap di kampung  dan lebih senang menjadi pedagang seperti bapak.
Saat itu, sakit banget perasaan saya. Kenapa Emak melarang, toh anaknya bukan main-main. Mau kuliah dan insya Allah gak bakal menyusahkan dengan biaya. Teman-temanku di kampung pada kerja ke kota, lah saya harus gimana. Semua itu hanya bisa saya pendam, apa mau di kata. Restu segalanya, saya gak mau kancolah dengan jalan hidup saya. Jadilah saya pedagang di pasar yang kemana-mana bawa buku, sok idealis!
Karena pilihan saya manut ke Emak ini banyak teman sekelas yang kurang peka mengejek saya, "Halah, si Mahyu mah gak punya masa depan. Gak punya keinginan, dengan segudang kemampuan, kok betah di kampung, gak maju!"