Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kisah Lama yang Terasa Hangat

26 Oktober 2024   00:18 Diperbarui: 26 Oktober 2024   00:29 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar kumparan.com

Sepulang dari salat jum'at, tubuh saya terasa lemas. Setelah bubar dan yang lain pulang, saya melakukan wirid seperti biasanya. Seterusnya, saya berbaring di lantai masjid melepas penat dan kantuk yang menggantung. Cuaca akhir-akhir ini memang sedang mengganas, kurang asupan gizi yang cukup, bisa diserang dehidrasi yang akut.

Stetelah berbaring 10 menit, saya pun pulang. Niatnya sedikit mau tilawah, tapi kepala terasa pening. Tubuh terasa terbang begitu, saya jadi bingung. Kebingungan itu diobati dengan tidur, semoga dengan itu pergi pusing yang lumayan nyut-nyutan. Setelah itu, hanyut di alam mimpi.

Aktivitas tidur ini mengingatkan saya pada sosok Fahri di novel Ayat-Ayat Cinta. Fahri yang mahasiswa master Al-Azhar University itu meski pun panas yang memanggang Mesir, ia semangat mencari ilmu. Talaqqi qiro'at sab'ah pada Syaikh Utsman. Ia termasuk orang Indonesia yang beruntung, dari 7 muridnya Syaikh semua dari Mesir dan hanya ia yang dari luar. Bahkan termasuk murid disayang gurunya. Bedanya sama saya, saya tidur.

Mesir dan Al-Azhar memang dua hal tak terpisahkan. Mesir bangga dengan adanya universitas kedua tertua di dunia itu. Ada banyak jutaan alumninya tersebar ke seluruh dunia, menjadi estafet perjuangan dakwah ahlu sunnah ke seantero bumi. Dengan prinsip inklusif, moderat dan toleransinya.

Entah kenapa tiba-tiba saya ingat Fahri dan segudang perjuangannya di Mesir. Saya tahu AAC memang fiksi, tapi saya percaya, 70% adalah pengalaman penulisnya yang pernah mengecup surga ilmu di negeri seribu kubah itu.

Saya ingat sekali sewaktu Aliyah dulu, karena saking nge-fans sama Fahri ke mana-mana saya suka bawa buku. Baik pas di rumah, apalagi di sekolah. Di mana ada buku di situ saya ada, saya baca apa yang saya mau. Orang kira mungkin saya memahami apa yang saya baca, tak ayal banyak teman-teman menjadikan saya "perpustakaan berjalan". Bertanya ini-itu. Ya emang saya jawab, tapi sebisanya. Sebisanya ini dianggap serba bisa.

Aslinya, ya saya hanya membaca. Tidak semua yang saya baca bisa saya pahami. Niatnya saya memang pengen baca, kesemsem sama dunia perbukuaan. Walau pun timbul masalah selanjutnya, bagaimana mencari buku sesuai yang saya mau agar mengobati rasa haus ilmu.

Saya berburu di perpus sekolahan, hampir 80% buku lawas dan buku pelajaran. Saya pergi ke perpustakaan daerah saya, koleksinya pun kurang greget. Belum lagi, ada aturan yang terkesan di buat-buat, ditambah lokasi perpus waktu itu berada tepat di belakang gedung balai budaya. Tempat asyik untuk bobo, tak jarang saya harus terkantuk-kantuk menjaga kesadaran. Belum perut keroncongan.

Selanjutnya atas saran dari bapak, saya berlangganan majalah Islami bulanan. Uangnya dari uang saku sekolah yang saya tabung, jadi jadwal nongkrong dan jajan saya kompres sangat ketat biar tiap bulan bisa beli buku dan majalah. Waktu itu aneh juga sih, yang lain koleksi ini-itu, saya koleksi majalah dan buku. Enak enggak, mudeng ya. Haha.

Di sekolah akhirnya saya dikenal kutu buku. Kalau mau mencari saya gampang, kalau tidak di kelas paling di mushola dekat pemandian umum. Ngapain di situ, pertama menjaga lingkungan pergaulan, kedua ingin menenggelamkan diri direngkuh gusti Allah. Makanya, mau ada teman atau tidak, saya gak repot. Toh, saya punya buku. Buku teman paling setia, pikir saya.

Seperti yang saya bilang karena saya dikenal kutu buku, terutama buku-buku keagamaan maka banyak yang tanya ini-itu. Saya macam Mamah Dedeh sama Cak Abdel gitu, terutama teman wanita. Lingkup pergaulan saya justeru lebih ke perempuan, tak sedikit saya "dipaksa" jadi tempat curhat. Tak hanya satu perempuan, dari yang populer sampai orang biasa hampir jadi tempat ngobrol-ngobrol gitu. Mungkin karena perempuan suka sama orang yang mau mendengarkan.

Dunia itu bagi saya, sisi lain membuat saya cepat baper, di sisi lain  saya ketagihan untuk banyak hal. Saya mulai kerajinan menulis harian, baik soal kisah cinta sampai hal kegundahan pikiran saya. Bagaimana tidak baper, kalau ada bintang kelas dikejar-kejar sama yang lain, entah kakak kelas bahkan adik kelas, lah sama saya sering ngobrol. Orang mencari kesempatan sedang bagi saya, kesempatan datang sendiri. Jadi di mata saya, spesial di mata orang belum tentu bagi saya.

Sedikit banyak membuat saya kurang fokus. Pada akhirnya saya mengakui, ternyata ada rasa di dada saya. Hanya saja saya kubur dalam-dalam, saya tahu dia dan sadar siapa dia. Ingat masa itu, kok lucu. TTM lah kami.

Puncak karir saya di sekolah itu saat pemilihan OSIS, banyak kandidat yang medaftar. Saya termasuk yang dipilih. Jujur saja, saya gak punya ekspetasi apa-apa. Dibanding yang lain, saya termasuk orang yang kurang aktif di organisasi sekolah apalagi luar sekolah. Otomatis, kepercayaan diri saya agak menciut. Introver saya tuh.

Entah kenapa pas orasi visi dan misi di antara murid satu sekolah, saya merasa paling unggul. Gagasan saya biasa tapi lebih lugas. Misalnya, kalau yang lain banyak membuat program yang agak mengawang atau mengejek program OSIS sebelumnya, saya justeru bilang "bakal melanjutkan program OSIS lama yang bagus dan memperbaiki program yang kurang tepat sasaran".  Itu ditangkap histeris dengan jeritan kaum perempuan.

Dari 100% murid yang hadir, memang 70% murid perempuan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, karena dunia saya waktu itu dekat dunia perempuan maka saya tidak pusing mencari dukungan. Tiba-tiba saya punya pendukung loyalis. Masa-masa itu saya seperti selebriti di sekolah, gelar Ketu OSIS melekat di pundak saya.

Demikianlah masa itu. Hal yang saya ingat pula ketika saya kerajinan membaca buku, almarhum kakek sering menyindir saya dengan sebaris kalimat "awas jadi Muhammadiyah", saya justeru penasaran, apa itu Muhammadiyah. Emak pun sama, kadang risih melihat koleksi buku anak bujangnya, bukannya uang di tabung untuk masa depan, kenapa dihabiskan untuk membeli buku. Lah iya, siapa kita, Nak.

Saya gak peduli, buku dan penasaran membuat saya jadi pemberontak. Apa saja buku saya lahap. Buku dewasa sampai politik jadi bahan bacaan, untuk itu tiap ada ulangan pelajaran umum terutama sejarah saya gak merasa repot untuk mengisi. Ketika Emak menjanjikan akan menguliahkan anaknya saya termasuk yang paling senang.

Dan terbukti, setelah lulus sekolah saya ditawari kuliah di Jakarta sambil kerja oleh saudara bapak yang jadi dosen ekonomi di sana. Saya siap karena itu tantangan buat saya, gak peduli seberat apa pun. Tidak dengan Emak, beliau berharap saya tetap di kampung  dan lebih senang menjadi pedagang seperti bapak.

Saat itu, sakit banget perasaan saya. Kenapa Emak melarang, toh anaknya bukan main-main. Mau kuliah dan insya Allah gak bakal menyusahkan dengan biaya. Teman-temanku di kampung pada kerja ke kota, lah saya harus gimana. Semua itu hanya bisa saya pendam, apa mau di kata. Restu segalanya, saya gak mau kancolah dengan jalan hidup saya. Jadilah saya pedagang di pasar yang kemana-mana bawa buku, sok idealis!

Karena pilihan saya manut ke Emak ini banyak teman sekelas yang kurang peka mengejek saya, "Halah, si Mahyu mah gak punya masa depan. Gak punya keinginan, dengan segudang kemampuan, kok betah di kampung, gak maju!"

Sebenarnya, hati saya perih banget. Kenapa saya harus suka baca, bukankah teman lain yang tidak suka baca lebih sukses dari saya. Kuliah ke tempat yang cukup dikenal, sedangkan saya harus hanyut mengumpulkan rupiah demi rupiah. Berangkat pagi pulang sore, begitu seterusnya.

Kendati begitu, hati saya menguatkan pasti ada hikmahnya. Saya niatkan tabarukkan ke orang tua. Saya coba nikmati apa yang saya miliki, mimpi saya biarkan itu jadi kenangan saya. Kalau kata peribahasa Arab, Usfurun fil yadi khoiron fil jawwa, sedikit di tangan lebih  bagus daripada banyak di khayalan. Ya sudah, mungkin takdir saya tidak di sana.

Dan sekarang, kenangan itu masih lekat. Rentan waktu 13 tahun lalu. Ah Fahri, kenapa Kang Abik begitu hebat mencipta tokoh sepertimu. Mahasiswa miskin dari Indonesia, cinta ilmu dan kemudian bertemu dengan Maria, Aisha dan Yasmin. Jadi konglomerat karena menikahi Aisha, jadi dilema dicintai Maria yang berbeda agama, dan konflik karena terkena badai cemburu cinta Yasmin yang bukan siapa-siapa.

Sampai kini aku justeru masih menerka, akan kemana takdirku. Sekian lama memupuk mimpi, akankah mimpi itu tercapai seperti sinar lembut rembulan malam ini. Atau hanya jadi coretan saja di sejarah hidupku yang biasa-biasa saja. Bertarung dengan bengisnya kenyataan. Bersabar dan terus belajar memahami, Allah bersama orang-orang sabar. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 25 Oktober 2024    23.54

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun