Yah, aku paham arah pembicaraan perempuan cantik di depanku ini, hanya saja aku berusaha sedikit nonsense, agar suasana tidak terlalu mencekam.
“Eh, iya-iya, kenapa tiba-tiba?” jawabku setengah meringis semanis mungkin.
“Aku udah nggak kuat ndut, aku udah cukup sakit”
Dia menghela napas dengan berat, matanya menatap langit-langit rumah ini. Perlahan dia mengambil gelas teh di meja dan menyesapnya sedikit.
“Lalu bagaimana dengan Rey?” Tanyaku sedikit pelan.
“Entahlah,” ia mencoba mengalihkan pandangan ke sudut ruang tamuku. Dengan perlahan ia meraih tisu yang terletak di samping tehnya. Lalu mengusapkannya di atas rona pipi dan sudut matanya. Dan di saat itu pula terdengar suara yang cukup nyaring dari kamar sebelah ruang tamu. Dentuman bas dan sedikit gendang cukup mewarnai pembicaraan kami.
“Sepupuku, yang takut hujan itu loh, ” jelasku untuk menjawab sorotan matanya yang menyiratkan tanya.
“Aku lelah, beradu pendapat dengan Mas Bram. Ia semakin kuat mengajak kami pindah. Padahal, kamu tahukan, kenapa aku tidak bisa pindah ke rumah orang tuanya? Tapi Mas Bram, seperti tak mau mengerti” tuturnya lagi dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu sudah coba lagi? Siapa tahu itu cuma perasaan saat itu ajah,” tanyaku setengah meyakinkan.
“Nggak Ndut, tiap kali aku ke sana, semua ingatan itu kembali muncul. Apalagi saat malam hari, aku nggak bisa tenang di kamar, sesak, aku kembali mendengarkan teriakan-teriakan ku sendiri di masa itu, ” ia menghela napasnya dengan cukup dalam.
“Ehm, begitu yah,” timpalku yang bingung harus merespon apa. Beberapa hari yang lalu, aku memang berhasil mencegahnya. Tapi nyatanya, rumus yang pernah kuberikan, tidak mampu menyelesaikan soal yang ia hadapi.