“Mas Bram kini jarang pulang ke rumah, entah apa yang ia lakukan di luar sana. jika kami menginap di rumah mertua, ia selalu pulang dini hari. Ia tak tahu dan tak mau tahu apa yang aku rasakan tiap malamnya. Padahal ia tahu, psikolog mengharuskan ia tetap mendapingiku di setiap malam, juga di saat-saat kami berkumpul dengan keluarga besarnya. Agar agoraphobiaku bisa sembuh. Namun nyatanya, Mas Bram bukanlah support sistemku. Aku semakin takut berinteraksi dengan orang baru. Apalagi secara fisik. Sentuhan-sentuhan dari orang baru membuatku sesak,” terangnya panjang lebar.
“Separah itukah akibatnya?” selidikku.
“Interaksi antara aku dan Mas Bram, seringkali bukan sebuah komunikasi. Mas Bram lebih sering membentak, dan aku tak jarang berteriak. Yang aku takutkan sekarang bukan hanya kondisiku. Aku juga takut, apa yang terjadi di antara kami akan mempengaruhi perkembangan Rey,” tuturnya yang tak dapat kusela.
“Semua pilihan ada di tanganmu Nok. tapi jika kamu masih ingin mendengar saran, satu kalimat untukmu, jangan menghilang, yang dimulai baik-baik juga harus diakhiri secara baik-baik,” ucapku seraya menepuk bahunya.
“Kamu lupa,” dengan sedikit memaksa tersenyum ia melepaskan tanganku.
“Hubungan kami tidak dimulai dengan baik-baik ndut,” tuturnya lagi untuk menjawab kebingunganku. Dan seketika itu, aku reflek ikut tertawa lemah. Kembali teringat masa lalu.
“Ya ya ya, hidupmu memang selalu menakjubkan. Banyak kejutannya,” jawabku setengah menggoda.
“Nanti, tiap kali kamu bertemu dengan Rey, sampaikan ciuman hangatku untuknya yah,” ucapnya setelah selesai mengunyah kue.
“Kamu yakin meninggalkannya bersama Mas Bram?” tanyaku setengah tidak percaya dengan keputusannya.
Perempuan itu terdiam, hanya mampu menjawab dengan anggukan lemahnya. Aku tahu, ia masih ragu untuk pilihan di nomor ini. Ia takut, mendiskusikan persoalan ini denganku akan mempengaruhi langkahnya.
Kami kembali bercakap-cakap santai selama beberapa menit sebelum hari lebih petang dan hujan kian membombardir bumi, dengan air-air penuh berkah.