Ketika adzan Asar berhenti berkumandang, dia berpamitan. Aku tak mampu mencegahnya untuk kembali berteduh ataupun sekedar menyantap makan berat, untuk menambah energinya, karena ia memaksa pamit. Aku mengantarkan kepergiannya hingga teras rumahku. Perempuan yang datang di senja hari itu, membuka payungnya. Menoleh sedikit untuk melemparkan senyum, lalu berjalan pelan penuh keraguan.
Aku duduk di kursi kayu yang terpasang di teras, masih menatap kepergiannya dengan nanar. Mengamati punggung wanita itu yang kian menjauh. Rasanya, hidup telah mendidiknya lebih keras. Bertahun-tahun melewati pesakitan yang terus ia tahan.
Pesakitan itu menjadi bagian baru di kehidupannya, selepas ia menetapkan sebuah pilihan besar. Yah, bagi sebagian perempuan, prosesi akad adalah penanda batas kehidupannya yang baru. Setelah kata qobiltu dideklarasikan, ia seperti terlahir kembali. Setelah kata sah diucapkan, hidupnya berubah. Takdirnya direstart. Ada yang tampak lebih bahagia, ada lebih banyak pula yang terpaksa menderita.
Dan perempuan berpayung merah itu, harus lebih menghargai air mata. Karena setiap tetesnya tak mampu melarutkan kelamnya kesedihan. Pikiranku tiba-tiba berlari, “andai dulu dia memilih mas…”
Belum selesai aku menuntaskan pengandaian itu, tiba-tiba tangan kekar memelukku dari samping, dan berkata pelan, “Dia pasti kuat, dia akan terus dan harus bertahan, sebab baginya, kisah yang ia tulis belum selesai. Kini ia sedang menemui persimpangan jalan, ragu untuk membuat pilihan.”
Aku mengangguk dalam pelukannya, dan bertanya lirih, “Mas tadi dengar obrolan kita?”
Ia mengangguk dan mengeratkan pelukannya. “Kenapa nggak ikut keluar aja”, tanyaku seraya tersenyum.
“Urusan wanita, nanti kehadiranku malah merusak suasana,” balasnya dengan seutas senyum manja mirip Lee Min Hoo.
Kami tenggelam dalam pelukan dan bisikan-bisikan manis, hingga tak sadar kehadiran angin kencang, juga kilat cahaya yang menyambar dan langit semakin gelap. Suara dentuman pintu dan cendela yang baradu, menyadarkan kami. Cepat-cepat aku melepas pelukannya dan mengedarkan pandangan mencari sosok perempuan berpayung merah.
“Bruaaaakkkk”. Suara sekaligus dentuman itu menggelegar sesaat setelah sambaran petir yang tak kalah kerasnya. Seketika akku jongkok dan menutup mata. Aku tak sanggup menyaksikan kebenaran hipotesis otakku di detik berikutnya. Karena ekor mataku sempat melirik, keberadaan perempuan berpayung merah itu, tepat berada di bawah pohon mangga di depan rumahku.
Lalu kukuatkan diriku, untuk membuka mata. Kuedarkan pandanganku ke sekitar halaman depan rumahku. Kulihat onggokan pohon yang tumbang, dan dua manusia sedang tidur berpelukan dihantami hujan. Pohon itu menelan korban, sebuah payung merah yang tak berbentuk, dan menyisakan dua manusia yang tampak menggigil di tengah guyuran hujan.