Mohon tunggu...
Nurul MahruzahYulia
Nurul MahruzahYulia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Ordinary Girl

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Persimpangan Jalan

30 Agustus 2020   22:15 Diperbarui: 30 Agustus 2020   22:37 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seseorang terkadang singgah hanya untuk berbagi beban, untuk membebaskan diri dari kepenatan, dengan bercakap-cakap bersama seorang yang dipercaya. Meluapkan apa yang menjadi nodul-dodul di hatinya. Seperti sore itu,  saat awan tampak murung. Mega-mega matahari sedang bersembunyi di balik awan-awan hitam yang berderet, siap melesatkan rentetan air hujan. 

Sesosok perempuan mengetuk pintu rumahku, tepat ketika tetesan air hujan menderu, berjatuhan di atas dedaunan yang seketika berubah, lebih segar dari biasanya. Yang percikannya mengalun, mengetuk-ngetuk atap rumah, membentuk sebuah irama yang cukup merdu.

“Assalamu’alaikum,” ucap perempuan itu di depan daun pintu yang sedikit tertutup.

“Wa’alaikum salam warahmatullah,” sahutku dengan seulas senyum dengan mata yang tampak sayu karena rasa kantuk.

“Apa aku mengganggumu?” ucapnya setengah ragu.

“Nggak, masuk ajah, suasananya memang bikin ngantuk-ngantuk gimana gitu,” jawabku seraya masuk ruang tengah, mencari sesuatu yang bisa kuhidangkan.

Lulu kukeluarkan beberapa kue dan teh hangat di atas meja. Aku mengenal perempuan ini sejak aku belum mampu membersihkan ingusku dengan tisu. Yah, sejak kami duduk di bangku TK. Rumah kami berjarak cukup jauh, berbeda desa, satu kecamatan. Tapi takdir kami cukup dekat. Sejak TK sampai SMP kami bersekolah di tempat dan kelas yang sama. Dan hampir selama itu pula kami duduk bersebelahan, teman sebangku.

“Apa kabar?” tanyaku berbasa-basi setelah meletakkan beberapa hidangan.

“Aku mau pergi, Ndut,” Jawab datar perempuan cantik yang ada di depanku.

“loh, kan baru datang, belum diminum juga,” sahutku memaksa polos.

“Ndut, jangan bercanda, nggak lucu,” jawabnya sembari melotot.

Yah, aku paham arah pembicaraan perempuan cantik di depanku ini, hanya saja aku berusaha sedikit nonsense, agar suasana tidak terlalu mencekam.

“Eh, iya-iya, kenapa tiba-tiba?” jawabku setengah meringis semanis mungkin.

“Aku udah nggak kuat ndut, aku udah cukup sakit”

Dia menghela napas dengan berat, matanya menatap langit-langit rumah ini. Perlahan dia mengambil gelas teh di meja dan menyesapnya sedikit.

“Lalu bagaimana dengan Rey?” Tanyaku sedikit pelan.

“Entahlah,” ia mencoba mengalihkan pandangan ke sudut ruang tamuku. Dengan perlahan ia meraih tisu yang terletak di samping tehnya. Lalu mengusapkannya di atas rona pipi dan sudut matanya. Dan di saat itu pula terdengar suara yang cukup nyaring dari kamar sebelah ruang tamu. Dentuman bas dan sedikit gendang cukup mewarnai pembicaraan kami.

“Sepupuku, yang takut hujan itu loh, ” jelasku untuk menjawab sorotan matanya yang menyiratkan tanya.

“Aku lelah, beradu pendapat dengan Mas Bram. Ia semakin kuat mengajak kami pindah. Padahal, kamu tahukan, kenapa aku tidak bisa pindah ke rumah orang tuanya? Tapi Mas Bram, seperti tak mau mengerti” tuturnya lagi dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kamu sudah coba lagi? Siapa tahu itu cuma perasaan saat itu ajah,” tanyaku setengah meyakinkan.

“Nggak Ndut, tiap kali aku ke sana, semua ingatan itu kembali muncul. Apalagi saat malam hari, aku nggak bisa tenang di kamar, sesak, aku kembali mendengarkan teriakan-teriakan ku sendiri di masa itu, ” ia menghela napasnya dengan cukup dalam.

“Ehm, begitu yah,” timpalku yang bingung harus merespon apa. Beberapa hari yang lalu, aku memang berhasil mencegahnya. Tapi nyatanya, rumus yang pernah kuberikan, tidak mampu menyelesaikan soal yang ia hadapi.

“Mas Bram kini jarang pulang ke rumah, entah apa yang ia lakukan di luar sana. jika kami menginap di rumah mertua, ia selalu pulang dini hari. Ia tak tahu dan tak mau tahu apa yang aku rasakan tiap malamnya. Padahal ia tahu, psikolog mengharuskan ia tetap mendapingiku di setiap malam, juga di saat-saat kami berkumpul dengan keluarga besarnya. Agar agoraphobiaku bisa sembuh. Namun nyatanya, Mas Bram bukanlah support sistemku. Aku semakin takut berinteraksi dengan orang baru. Apalagi secara fisik. Sentuhan-sentuhan dari orang baru membuatku sesak,” terangnya panjang lebar.

“Separah itukah akibatnya?” selidikku.

“Interaksi antara aku dan Mas Bram, seringkali bukan sebuah komunikasi. Mas Bram lebih sering membentak, dan aku tak jarang berteriak. Yang aku takutkan sekarang bukan hanya kondisiku. Aku juga takut, apa yang terjadi di antara kami akan mempengaruhi perkembangan Rey,” tuturnya yang tak dapat kusela.

“Semua pilihan ada di tanganmu Nok. tapi jika kamu masih ingin mendengar saran, satu kalimat untukmu, jangan menghilang, yang dimulai baik-baik juga harus diakhiri secara baik-baik,” ucapku seraya menepuk bahunya.

“Kamu lupa,” dengan sedikit memaksa tersenyum ia melepaskan tanganku.

“Hubungan kami tidak dimulai dengan baik-baik ndut,” tuturnya lagi untuk menjawab kebingunganku. Dan seketika itu, aku reflek ikut tertawa lemah. Kembali teringat masa lalu.

“Ya ya ya, hidupmu memang selalu menakjubkan. Banyak kejutannya,” jawabku setengah menggoda.

“Nanti, tiap kali kamu bertemu dengan Rey, sampaikan ciuman hangatku untuknya yah,” ucapnya setelah selesai mengunyah kue.

“Kamu yakin meninggalkannya bersama Mas Bram?” tanyaku setengah tidak percaya dengan keputusannya.

Perempuan itu terdiam, hanya mampu menjawab dengan anggukan lemahnya. Aku tahu, ia masih ragu untuk pilihan di nomor ini. Ia takut, mendiskusikan persoalan ini denganku akan mempengaruhi langkahnya.

Kami kembali bercakap-cakap santai selama beberapa menit sebelum hari lebih petang dan hujan kian membombardir bumi, dengan air-air penuh berkah.

Ketika adzan Asar berhenti berkumandang, dia berpamitan. Aku tak mampu mencegahnya untuk kembali berteduh ataupun sekedar menyantap makan berat, untuk menambah energinya, karena ia memaksa pamit. Aku mengantarkan kepergiannya hingga teras rumahku. Perempuan yang datang di senja hari itu, membuka payungnya. Menoleh sedikit untuk melemparkan senyum, lalu berjalan pelan penuh keraguan.

Aku duduk di kursi kayu yang terpasang di teras, masih menatap kepergiannya dengan nanar. Mengamati punggung wanita itu yang kian menjauh. Rasanya, hidup telah mendidiknya lebih keras. Bertahun-tahun melewati pesakitan yang terus ia tahan.

Pesakitan itu menjadi bagian baru di kehidupannya, selepas ia menetapkan sebuah pilihan besar. Yah, bagi sebagian perempuan, prosesi akad adalah penanda batas kehidupannya yang baru. Setelah kata qobiltu dideklarasikan, ia seperti terlahir kembali. Setelah kata sah diucapkan, hidupnya berubah. Takdirnya direstart. Ada yang tampak lebih bahagia, ada lebih banyak pula yang terpaksa menderita.

Dan perempuan berpayung merah itu, harus lebih menghargai air mata. Karena setiap tetesnya tak mampu melarutkan kelamnya kesedihan. Pikiranku tiba-tiba berlari, “andai dulu dia memilih mas…”

Belum selesai aku menuntaskan pengandaian itu, tiba-tiba tangan kekar memelukku dari samping, dan berkata pelan, “Dia pasti kuat, dia akan terus dan harus bertahan, sebab baginya, kisah yang ia tulis belum selesai. Kini ia sedang menemui persimpangan jalan, ragu untuk membuat pilihan.”

Aku mengangguk dalam pelukannya, dan bertanya lirih, “Mas tadi dengar obrolan kita?”

Ia mengangguk dan mengeratkan pelukannya. “Kenapa nggak ikut keluar aja”, tanyaku seraya tersenyum.

“Urusan wanita, nanti kehadiranku malah merusak suasana,” balasnya dengan seutas senyum manja mirip Lee Min Hoo.

Kami tenggelam dalam pelukan dan bisikan-bisikan manis, hingga tak sadar kehadiran angin kencang, juga kilat cahaya yang menyambar dan langit semakin gelap. Suara dentuman pintu dan cendela yang baradu, menyadarkan kami. Cepat-cepat aku melepas pelukannya dan mengedarkan pandangan mencari sosok perempuan berpayung merah.

“Bruaaaakkkk”. Suara sekaligus dentuman itu menggelegar sesaat setelah sambaran petir yang tak kalah kerasnya. Seketika akku jongkok dan menutup mata. Aku tak sanggup menyaksikan kebenaran hipotesis otakku di detik berikutnya. Karena ekor mataku sempat melirik, keberadaan perempuan berpayung merah itu, tepat berada di bawah pohon mangga di depan rumahku.

Lalu kukuatkan diriku, untuk membuka mata. Kuedarkan pandanganku ke sekitar halaman depan rumahku. Kulihat onggokan pohon yang tumbang, dan dua manusia sedang tidur berpelukan dihantami hujan. Pohon itu menelan korban, sebuah payung merah yang tak berbentuk, dan menyisakan dua manusia yang tampak menggigil di tengah guyuran hujan.

Menyadari mereka selamat, aku hendak berlari menerjang hujan. Memastikan mereka baik-baik saja, atau sebenarnya aku yang tidak baik-baik saja, karena menyaksikan pertunjukan itu. Pikiranku terlalu sempit dan takut, ada api-api yang kembali membara. Baru selangkah kakiku bergeser, tanganku ditahan oleh tangan kekar, yang beberapa menit lalu memelukku. “Loh, Mas kog ada di sini?” tanyaku kaget.

“Memang dari tadi mas di sini,” jawabnya santai.

“lalu yang sama Reni?” tanyaku setengah bingung dan mencoba kembali menatap sepasang manusia yang tetap dalam posisi terakhir kulihat.

“Agus,” jawabnya setengah tak percaya.

“Guuus, Aguuuuss!” Aku berteriak untuk mengkonfirmasi lelaki yang hanya terlihat punggungnya itu. Dan hanya di jawab oleh lambaian tangan objek yang kumaksud.

Kedua insan itu berusaha bangkit dan dengan perlahan keduanya berjalan menuju pintu utama rumah ini. Agus dengan senyumnya memapah Reni yang tampak masih shock dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Dan aku masih tak percaya, Agus mampu berlari dengan gagah di tengah sambaran petir. Padahal, Agus yang selama ini kukenal adalah lelaki yang akan tak mampu menikmati hujan, bahkan jika harus terpaksa mendengar rintihan air itu, ia akan terus bersembunyi di ketiak orang-orang di sampingnya atau menyalakan musik dengan frekuensi lebih keras dari speaker kondangan.

Sadar atau tidak, keduanya telah berhasil berjuang. Satu dengan Astraphobianya dan satunya lagi dengan agoraphobia. Dan keduanya juga berhasil menemukan seutas cahaya di persimpangan jalan masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun