Mohon tunggu...
Nisa Istiqomah
Nisa Istiqomah Mohon Tunggu... Guru -

teach, write, read, city trip

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kunti Pohon Sawo

17 Oktober 2017   23:01 Diperbarui: 19 Oktober 2017   00:00 4159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi malam kampungku geger. Kata ibu kos, ada penampakan hantu. Tepatnya di pohon sawo besar yang ada di pelataran depan kosan kami.

"Farel yang tadi malam ngeliat" kata ibu kos.

Farel? Ah ya, aku tahu. Anaknya Pak RW. Anak kecil yang suka bermain sepak bola dengan teman-temannya di pelataran kosan-ku itu. Yang suka memunguti sawo-sawo yang jatuh dari pohon dan memakannya bersama dengan teman-temannya.

Ibu kos melanjutkan ceritanya. Malam itu, Farel baru saja pulang dari tempat les. Setiap pulang dari les, kosan kami memang selalu dilewatinya. Tapi tiba-tiba saja Farel melihat hantu di pohon sawo.

"Dia melihat apa, bu?"

"Kuntilanak." Kata ibu kos setengah berbisik.

Sayangnya, kuntilanak itu tidak hanya menampakkan diri tetapi juga sempat mengejar Farel. Farel pun berlari dan teriak-teriak ketakutan. Beberapa orang juga mendengar teriakan Farel yang sangat kencang itu.

Farel sampai di rumahnya dalam keadaan terengah-engah. Dia hanya sempat bercerita sedikit tentang kuntilanak di pohon sawo yang dilihatnya. Karena setelah itu dia mengalami demam tinggi dan tidak sadarkan diri.

"Sampai sekarang Farel masih belum sadar. Kasian anak kecil itu." kata Ibu kos sambil memasukkan sesendok nasi kuning ke dalam mulutnya.

"Memangnya pohon sawo di depan itu angker ya, bu?"

Ibu kos menggeleng mantap. "Ibu sudah tinggal di sini lebih dari setengah umur Ibu. Ibu nggak pernah melihat setan atau diganggu setan." Ibu terkekeh. "Mungkin setannya malah yang takut sama ibu."

Aku sependapat dengan ibu kos. Sebagai orang yang sudah genap dua tahun tinggal di sini, aku tidak pernah merasakan hal-hal mistis. Aku bahkan hampir setiap dini hari terbangun karena mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tidak jarang pula aku baru pulang lewat tengah malam dan mau tidak mau aku melewati pohon sawo itu. Tapi toh selama ini aku merasa nyaman-nyaman saja di sini. Rasanya aneh sekali kalau tiba-tiba terjadi hal mengerikan seperti itu.

"Gara-gara itu, mereka bilang, pohon sawo depan itu akan dirobohkan."

"Mereka itu siapa, bu?"

"Pak RW, sama Pak Haji dan Mbah Dukun."

Ibu kos bercerita, selepas kejadian Farel melihat kuntilanak itu, Pak RW, ditemani Pak Haji dan Mbah dukun, bertemu dengannya. Mereka menyampaikan niatnya untuk menebang pohon sawo itu. Kata Pak Haji, pohon sawo di pelataran kosan kami, menjadi tempat tinggal bagi para makhluk halus. Untuk mengusirnya,  pohon sawo itu harus ditebang. Pernyataan Pak Haji ini didukung dengan kesaksian mbah dukun  bahwa aura makhluk gaib dalam pohon sawo itu terlalu kuat sehingga menyulitkan proses penyembuhan Farel.

"Padahal, tanah dan seisinya ini kan warisan dari embah-embahnya ibu sendiri. Ibu takut kena kualat. Apa mereka juga nggak takut kualat asal nebang pohon begitu?"

Dan dengan diplomatisnya, Pak RW mengatakan penebangan pohon sawo ini sekaligus sebagai upaya pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang.

"Ah, omong kosong, bilang saja karena yang kena masalah itu anaknya. Pake bawa-bawa istilah upaya pencegahan."

 "Terus, kalau pohonnya jadi ditebang gimana, bu?" tanyaku.

Ibu kos hanya tersenyum tipis. Dia melihat ke arah pohon sawo. "Ibu yakin mereka pun tak akan sudi." Seperti ibu percaya kalau penunggu, jin, setan atau apapun itu yang ada di pohon sawo memang ada. Semacam ibu meminta dukungan mereka.

"Memang kapan pohon itu mau ditebang, bu?"

"Besok."

"Ibu nggak berniat mencegahnya?"

"Buat apa?". Ibu lalu berjalan ke muka pintu rumah. Kembali dia menatap pohon sawo itu. "Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan." Seolah ibu kos yakin para penunggu pohon sawo itu, jika memang ada, akan menggagalkan rencana penebangan. Aku tidak pernah melihat ibu kos seyakin ini.

***

Hari eksekusi penebangan pohon sawo pun tiba. Bersama dengan beberapa warga, Pak RW, Pak Haji, dan Mbah Dukun, tiba di pelataran kosan. Mereka sudah siap dengan segala perlengkapan yang ada seperti gergaji dan tali tambang. Aku sempat mencuri dengar dari bisik-bisik mereka, katanya mereka akan mendatangkan buldozer jika pohon sawo ini susah ditebang. Ada ada saja.

Tiba-tiba pelataran kosan menjadi sangat ramai. Karena tidak hanya mereka yang berniat menebang pohon, termasuk ibu-ibu yang hanya jago ngerumpi pun hadir. Aku cukup yakin mereka sampai menunda jadwal memasak atau beres-beres rumah hanya untuk menyaksikan ini. Heran aku. Baru kali ini aku melihat kegiatan penebangan pohon menjadi ramai serasa acara 17-an.

Aku hanya duduk-duduk santai di beranda depan. Tadinya kupikir ibu kos sudah menghadang mereka sejak di halaman dan menyiapkan sejumlah sumpah serapah. Rupanya ibu kos malah sibuk mencuci baju di belakang. Sepertinya beliau memang sudah memasrahkan semuanya kepada para penghuni pohon.

"Saudara-saudara, sebelum kita menebang pohon sawo ini, marilah kita berdoa semoga kegiatan penebangan berjalan lancar, Farel bisa sembuh, dan kampung kita selamat sejahtera." Ucapan Pak Haji dibalas dengan amin-an yang panjang dari warga. Pak Haji terlihat bersemangat sekali ingin merubuhkan pohon itu. Sementara itu, Ibu kos masih saja sibuk mencuci baju di belakang. Tidak mungkin dia tidak mendengar suara Pak Haji yang setara toa masjid. Ibu kos sungguh sudah tidak peduli.

Usai Pak Haji memimpin doa yang singkat, dia segera mengayunkan gergaji besar, sebagai tanda dimulainya perobohan. Entah efek apa yang membuat warga lainnya seperti orang kesetanan. Rupanya mereka benar-benar ingin merobohkannya.

Tepat ketika ujung-ujung gergaji itu mulai menyentuh kulit batang pohon, tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Kencang sekali. Tanah-tanah pelataran seperti membentuk turbulensi, menyerang siapapun yang ada dihadapannya. Begitu juga dengan dedaunan kering yang beterbangan kesana kemari. Ranting-ranting pohon sawo menggoyangkan daun-daunnya hingga terbentuk suara mistis.

Ibu-ibu tidak berkepentingan mulai beranjak pergi dari pelataran. Ujung-ujung gergaji itu satu-persatu melepaskan diri dari pohon. Tertinggal satu ujung gergaji milik Pak Haji. Aku mendengar warga membujuk-bujuk Pak Haji untuk melepaskan gergajinya dari pohon itu. Pak Haji masih belum melepaskan ujung gergaji itu hingga seorang warga menarik tangannya. Ujung gergaji Pak Haji telah lepas dari kulit batang pohon. Dan saat itulah angin kencang berhenti.

"Wah, bagaimana ini Pak Haji? Sepertinya penunggu pohon sawo ini tidak mau pohonnya ditebang." salah seorang warga bertanya. Memecah keheningan sesaat setelah angin kencang.

Pak Haji hanya berdehem pelan.

"Lalu bagaimana dengan anak saya, Pak Haji? Bagaimana kalau dia tidak bisa bangun?" kecemasan yang hebat mulai menjalari Pak RW. Kekhawatiran Farel yang tidak akan bisa bangun.

"Kita cari solusinya bersama, Pak RW. Saya rasa pada saat sekarang ini, penunggu pohon ini memang sedang tidak ingin diganggu. Mungkin pada saat yang tepat nanti kita baru bisa mengambil tindakan menebang pohon ini. Betul kan, Mbah Dukun?"

Mbah dukun terduduk terdiam. Pandangannya kosong. Kulihat dia sudah beberapa menit seperti itu.

"Oh, maaf, Pak Haji." Mbah dukun mulai menguasai diri lagi. "Saya rasa kita tidak perlu mencoba untuk menebangnya kembali. Penunggu pohon ini memang tidak suka jika diusik. Saya pikir mungkin ada cara lain. Lagipula sebelum menebang tadi kita juga belum melakukan percakapan dengan sang penunggu."

"Lalu, kapan kita bisa bercakap atau mungkin semacam bertemu dengan mereka? Tolonglah anak saya, Mbah Dukun."

Mbah dukun menepuk bahu Pak RW sambil tertawa, "Tenang saja, Pak RW. Sebenarnya dari tadi Bapak sudah bertemu dengan mereka."

Nampak muka bingung dari para warga. Kening Pak Haji terlihat mengerut. Pak RW semakin bingung dan bertanya-tanya.

"Maksudnya bagaimana, Mbah Dukun?"

Mbah dukun hanya tersenyum tipis. Asap rokok menyembul dari mulutnya dengan mulus. Dia pun berjalan pergi meninggalkan pelataran. Orang-orang yang masih kebingungan itu juga ikut pergi meninggalkan pelataran dengan sebuah tanya yang belum terjawab.

Lega juga akhirnya orang-orang itu pergi.

***

"Tadi pagi Farel sudah sadar."

Aku baru saja sampai di pelataran kosan ketika ibu kos menyambutku dengan kalimat itu. Tampak wajahnya yang kembali berseri-seri bahagia. Aku tahu ibu kos ikut berbahagia dengan sadarnya Farel. Itu artinya pohon sawo miliknya bebas dari ancaman penebangan.

Ibu kos menatap ke arah pohon sawo. "Ibu yakin siapapun mereka yang ada disana, pasti telah mengambil langkah bijak." Pandangannya kini beralih ke arahku. "Ibu sungguh berterima kasih kepada mereka." Kembali ibu kos tampakkan seraut wajahnya yang berbahagia. Aku turut bahagia melihatnya.

"Ibu ke warung dulu ya." Ibu menyudahi pembicaraan kami.

Aku pandangi pohon sawo yang sudah hampir lebat buahnya ini. Rasanya baru kemarin pohon ini dikutuk warga sekampung. Aku tak habis pikir kepada mereka yang mengutuknya. Kalau saja mereka tahu bagaimana rasanya kehilangan barang berharga. Kalau saja mereka memahami bagaimana rasanya terusik di rumah sendiri. Sayangnya mereka tidak tahu. Mereka tidak akan pernah tahu.

Pandanganku beralih ke anak lelaki kecil yang sedang melintas di jalan depan kosan. Sambil menjilati es krim, dia berjalan dengan santainya. Anak kecil yang selama beberapa hari terakhir tidak terbangun.

"Farel,"

Farel menoleh perlahan ke arahku. Matanya yang tadi bersinar polos kini diwarnai ketakutan. Es krim di tangannya terjatuh mengotori kakinya. Tapi tampaknya dia tak peduli. Tubuhnya yang kecil terlihat gemetar hebat.

Aku berjalan mendekat ke arahnya. "Masih ingat sama aku?"

Farel mengangguk perlahan. Gemetarannya semakin hebat. Mulutnya seakan berucap sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar. Malah ada yang menetes dari celananya.

Rupanya dia masih ingat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun