Lega juga akhirnya orang-orang itu pergi.
***
"Tadi pagi Farel sudah sadar."
Aku baru saja sampai di pelataran kosan ketika ibu kos menyambutku dengan kalimat itu. Tampak wajahnya yang kembali berseri-seri bahagia. Aku tahu ibu kos ikut berbahagia dengan sadarnya Farel. Itu artinya pohon sawo miliknya bebas dari ancaman penebangan.
Ibu kos menatap ke arah pohon sawo. "Ibu yakin siapapun mereka yang ada disana, pasti telah mengambil langkah bijak." Pandangannya kini beralih ke arahku. "Ibu sungguh berterima kasih kepada mereka." Kembali ibu kos tampakkan seraut wajahnya yang berbahagia. Aku turut bahagia melihatnya.
"Ibu ke warung dulu ya." Ibu menyudahi pembicaraan kami.
Aku pandangi pohon sawo yang sudah hampir lebat buahnya ini. Rasanya baru kemarin pohon ini dikutuk warga sekampung. Aku tak habis pikir kepada mereka yang mengutuknya. Kalau saja mereka tahu bagaimana rasanya kehilangan barang berharga. Kalau saja mereka memahami bagaimana rasanya terusik di rumah sendiri. Sayangnya mereka tidak tahu. Mereka tidak akan pernah tahu.
Pandanganku beralih ke anak lelaki kecil yang sedang melintas di jalan depan kosan. Sambil menjilati es krim, dia berjalan dengan santainya. Anak kecil yang selama beberapa hari terakhir tidak terbangun.
"Farel,"
Farel menoleh perlahan ke arahku. Matanya yang tadi bersinar polos kini diwarnai ketakutan. Es krim di tangannya terjatuh mengotori kakinya. Tapi tampaknya dia tak peduli. Tubuhnya yang kecil terlihat gemetar hebat.
Aku berjalan mendekat ke arahnya. "Masih ingat sama aku?"