"Besok."
"Ibu nggak berniat mencegahnya?"
"Buat apa?". Ibu lalu berjalan ke muka pintu rumah. Kembali dia menatap pohon sawo itu. "Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan." Seolah ibu kos yakin para penunggu pohon sawo itu, jika memang ada, akan menggagalkan rencana penebangan. Aku tidak pernah melihat ibu kos seyakin ini.
***
Hari eksekusi penebangan pohon sawo pun tiba. Bersama dengan beberapa warga, Pak RW, Pak Haji, dan Mbah Dukun, tiba di pelataran kosan. Mereka sudah siap dengan segala perlengkapan yang ada seperti gergaji dan tali tambang. Aku sempat mencuri dengar dari bisik-bisik mereka, katanya mereka akan mendatangkan buldozer jika pohon sawo ini susah ditebang. Ada ada saja.
Tiba-tiba pelataran kosan menjadi sangat ramai. Karena tidak hanya mereka yang berniat menebang pohon, termasuk ibu-ibu yang hanya jago ngerumpi pun hadir. Aku cukup yakin mereka sampai menunda jadwal memasak atau beres-beres rumah hanya untuk menyaksikan ini. Heran aku. Baru kali ini aku melihat kegiatan penebangan pohon menjadi ramai serasa acara 17-an.
Aku hanya duduk-duduk santai di beranda depan. Tadinya kupikir ibu kos sudah menghadang mereka sejak di halaman dan menyiapkan sejumlah sumpah serapah. Rupanya ibu kos malah sibuk mencuci baju di belakang. Sepertinya beliau memang sudah memasrahkan semuanya kepada para penghuni pohon.
"Saudara-saudara, sebelum kita menebang pohon sawo ini, marilah kita berdoa semoga kegiatan penebangan berjalan lancar, Farel bisa sembuh, dan kampung kita selamat sejahtera." Ucapan Pak Haji dibalas dengan amin-an yang panjang dari warga. Pak Haji terlihat bersemangat sekali ingin merubuhkan pohon itu. Sementara itu, Ibu kos masih saja sibuk mencuci baju di belakang. Tidak mungkin dia tidak mendengar suara Pak Haji yang setara toa masjid. Ibu kos sungguh sudah tidak peduli.
Usai Pak Haji memimpin doa yang singkat, dia segera mengayunkan gergaji besar, sebagai tanda dimulainya perobohan. Entah efek apa yang membuat warga lainnya seperti orang kesetanan. Rupanya mereka benar-benar ingin merobohkannya.
Tepat ketika ujung-ujung gergaji itu mulai menyentuh kulit batang pohon, tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Kencang sekali. Tanah-tanah pelataran seperti membentuk turbulensi, menyerang siapapun yang ada dihadapannya. Begitu juga dengan dedaunan kering yang beterbangan kesana kemari. Ranting-ranting pohon sawo menggoyangkan daun-daunnya hingga terbentuk suara mistis.
Ibu-ibu tidak berkepentingan mulai beranjak pergi dari pelataran. Ujung-ujung gergaji itu satu-persatu melepaskan diri dari pohon. Tertinggal satu ujung gergaji milik Pak Haji. Aku mendengar warga membujuk-bujuk Pak Haji untuk melepaskan gergajinya dari pohon itu. Pak Haji masih belum melepaskan ujung gergaji itu hingga seorang warga menarik tangannya. Ujung gergaji Pak Haji telah lepas dari kulit batang pohon. Dan saat itulah angin kencang berhenti.