Aku sependapat dengan ibu kos. Sebagai orang yang sudah genap dua tahun tinggal di sini, aku tidak pernah merasakan hal-hal mistis. Aku bahkan hampir setiap dini hari terbangun karena mengerjakan tugas-tugas kuliah. Tidak jarang pula aku baru pulang lewat tengah malam dan mau tidak mau aku melewati pohon sawo itu. Tapi toh selama ini aku merasa nyaman-nyaman saja di sini. Rasanya aneh sekali kalau tiba-tiba terjadi hal mengerikan seperti itu.
"Gara-gara itu, mereka bilang, pohon sawo depan itu akan dirobohkan."
"Mereka itu siapa, bu?"
"Pak RW, sama Pak Haji dan Mbah Dukun."
Ibu kos bercerita, selepas kejadian Farel melihat kuntilanak itu, Pak RW, ditemani Pak Haji dan Mbah dukun, bertemu dengannya. Mereka menyampaikan niatnya untuk menebang pohon sawo itu. Kata Pak Haji, pohon sawo di pelataran kosan kami, menjadi tempat tinggal bagi para makhluk halus. Untuk mengusirnya,  pohon sawo itu harus ditebang. Pernyataan Pak Haji ini didukung dengan kesaksian mbah dukun  bahwa aura makhluk gaib dalam pohon sawo itu terlalu kuat sehingga menyulitkan proses penyembuhan Farel.
"Padahal, tanah dan seisinya ini kan warisan dari embah-embahnya ibu sendiri. Ibu takut kena kualat. Apa mereka juga nggak takut kualat asal nebang pohon begitu?"
Dan dengan diplomatisnya, Pak RW mengatakan penebangan pohon sawo ini sekaligus sebagai upaya pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang.
"Ah, omong kosong, bilang saja karena yang kena masalah itu anaknya. Pake bawa-bawa istilah upaya pencegahan."
 "Terus, kalau pohonnya jadi ditebang gimana, bu?" tanyaku.
Ibu kos hanya tersenyum tipis. Dia melihat ke arah pohon sawo. "Ibu yakin mereka pun tak akan sudi." Seperti ibu percaya kalau penunggu, jin, setan atau apapun itu yang ada di pohon sawo memang ada. Semacam ibu meminta dukungan mereka.
"Memang kapan pohon itu mau ditebang, bu?"