Istilah filantropi juga dipahami masyarakat sebagai organisasi non-profit dengan tujuan-tujuan mulia seperti mencintai (sesama umat manusia) dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan dan menaruh perhatian terhadap orang lain atau kemanusiaan. Tujuan dari aktifitas filantropi setidaknya terdiri dari empat spektrum pendekatan, yaitu (1) pendekatan kesejahteraan (welfare), (2) pendekatan pembangunan (developmentalis), (3) pendekatan pemberdayaan (empowerment), dan (4) pendekatan transformatif (transformasi sosial).
Dunia filantropi di Indonesia berkembang pesat pascareformasi. Selanjutnya, organisasi filantropi semakin diramaikan dengan kehadiran organisasi filantropi yang berbasis keagamaan, salah satunya kehadiran Islamic Philanthropy yang mulai concern pada pengelolaan dana zakat sebesar Rp 1,73 triliun pada tahun 2012.
Islamic Philanthropy dan Masyarakat Madani
Menyoal keberhasilan Islamic Philanthropy dalam mewujudkan masyarakat madani, barangkali kita dapat memetik hikmah dan pembelajaran dari kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dikenal sebagai khalifah pada penghujung abad pertama hijriyah yang sangat dicintai fakir miskin, anak yatim, janda-janda tua, dan semua lapisan masyarakat.
Menurut catatan sejarah, Umar bin Abdul Aziz lahir di kampung Hulwan, Mesir, pada tahun 63 Hijriah/681 Masehi. Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan, menjabat gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul Malik. Ibunya, Ummu Asim Laila binti Asim, merupakan cucu Khalifah Umar bin Khattab. Umar diangkat menjadi Gubernur Madinah dalam usia 24 tahun. Di bawah kepemimpinan Umar, masyarakat Madinah hidup lebih sejahtera dan lebih tentram dibandingkan era sebelumnya.
Selanjutnya, pada usia 36 tahun, Umar dinobatkan sebagai khalifah di hadapan kaum muslimin yang sedang berkumpul di masjid. Menjadi seorang khalifah tidak membuat Umar berbangga diri. Ia justru menangis khawatir ia tidak dapat menjadi pemimpin yang baik. Bagi Umar sendiri, amanah merupakan tanggung jawab yang akan ditanya oleh Allah di akhirat kelak.
Selama menjadi khalifah, Umar berupaya keras untuk untuk menyejahterakan rakyatnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Umar yaitu dengan mengotimalkan pengelolaan dana zakat yang diterima dari muzakki (orang yang wajib zakat) untuk disalurkan kepada mustahik (orang yang menerima zakat). Prinsip zakat haruslah memiliki dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah sehingga mendorong meningkatnya suplai.
Pada masanya, Umar berhasil menjalankan aktifitas Islamic Philanthropy dengan sangat baik. Bahkan, jumlah muzakki terus meningkat sementara jumlah mustahik terus berkurang. Ibnu Abdil Hakam (dalam Lukman Hakim Zuhdi: 2010) menceritakan seorang petugas zakat bernama Yahya bin Said pernah diutus Umar untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungut, Yahya bermaksud memberikan kepada orang-orang miskin dan mustahik lainnya. Namun, setelah berkeliling ke seantero negeri, Yahya tidak menjumpai satu mustahik pun karena Umar telah menjadikan semua rakyatnya hidup berkecukupan.
Bukti lain yang menguatkan bahwa Islamic Philanthropy dapat membantu mewujudkan masyarakat madani datang dari Bangladesh. Adalah Muhammad Yunus yang lahir di Chittagong, East Bengkal, kini Bangladesh pada tanggal 28 Juni 1950. Muhammad Yunus mulai menekuni bidang social entrepreneur sejak tahun 1974 dengan mengembangkan konsep kredit mikro. Program tersebut berupa pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam uang dari bank umum. Ia menamakan program tersebut dengan sebutan Grameen Bank.
Misi Muhammad Yunus melalui Grameen Bank adalah untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan di negaranya. Hasilnya, pada tahun 2006, ia menerima penghargaan nobel perdamaian berkat usahanya dalam memenangkan perperangan melawan kemiskinan. Program Grameen Bank berhasil membantu sekitar 47 ribu lebih pengemis di Bangladesh. Mereka tidak lagi berprofesi menjadi peminta-minta, namun telah berhasil menjadi pengusaha yang mandiri.
Di Indonesia sendiri, perkembangan Islamic Philanthropy menurut Dr. Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul “Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy” dalam Azyumardi Azra (Republika Online, 16 Mei 2013), sudah ada sejak awal Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa kontemporer.