Mohon tunggu...
Mahfud Achyar
Mahfud Achyar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - I am a storyteller based in Jakarta, Indonesia.

Undergraduate in Linguistics Studies, University of Padjadjaran, Bandung | Postgraduate in Corporate Communication Studies, Paramadina Graduate School of Communications, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islamic Philanthropy Sebagai Upaya Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Madani

19 Juni 2015   15:12 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:39 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai gambaran, barangkali kita bisa telisik lebih dalam persoalan pada sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Untuk masalah di sektor pendidikan, berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2010, tercatat 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus sekolah. Tingginya angka putus sekolah disebabkan salah salah satunya karena mahalnya biaya pendidikan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, seperti yang dilansir pada laman okezone.com, mengatakan pihaknya menginginkan dukungan terhadap para pelajar yang berpotensi putus sekolah lebih diintensifkan. Lebih lanjut, Anies menilai bahwa konsekuensi dari putus sekolah berimplikasi dalam aspek kesejahteraan dan permasalahan sosial lainnya.

Selanjutnya, permasalahan pada sektor kesehatan menurut guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH, seperti yang dilansir pada laman liputan6.com, yaitu mengenai program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang kurang dikelola dengan baik. Dampaknya, bila tidak diantisipasi akan menyebabkan goncangan, keluhan, eksploitasi ketidakpuasan, campur aduk politik, dan teknis kesehatan.

Sebetulnya, JKN merupakan itikad baik dari pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun permasalahan yang timbul saat ini minimnya penyediaan layanan kesehatan yang mumpuni. Fasilitas layanan kesehatan di Indonesia tidak merata dan masih terkesan terfragmentasi. Pemerintah dinilai tidak serius menangani permasalahan rasio tenaga kesehatan dan penduduk, fasilitas layanan kesehatan yang belum terstandar, dan sistem rujukan layanan kesehatan yang masih semrawut.

Sementara itu, permasalahan lain datang dari sektor perekonomian. Menteri Ketenagakerjaaan, M. Hanif Dhakiri, seperti yang dilansir laman kontan.co.id, mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2014, jumlah penggangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,24 juta orang. Angka tersebut naik dibandingkan dengan data pada Februari 2014 yang berada pada angka 7,15 juta orang. Menurut Hanif, tingginya angka pengangguran di Indonesia disebabkan krisis ekonomi global dan terjadinya bonus demografi di Indonesia.

Jika menengok ke negara tetangga seperti Thailand, tingkat pengangguran di negeri Gajah Putih tersebut hanya berkisar 0,56 persen. Bloomberg melansir bahwa Thailand merupakan negara yang memiliki tingkat pengangguran terendah di dunia. Sebetulnya, pemerintah sudah berupaya menekan jumlah penggangguran di Indonesia hingga minimal mencapai angka 5,6 persen.

Dalam cakupan yang lebih makro, kondisi perekonomian di Indonesia terus menghadapi persoalan yang berat. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Hendar mengungkapkan bahwa perekonomian dalam negeri akan dibayang-bayangi sentimen dari eksternal maupun internal. Resiko yang harus diwaspadai oleh Indonesia antara lain: kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika The Fed, semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, peningkatan utang luar negeri, dan resiko peningkatan tekanan inflasi karena kenaikan LPG (Liquified Petroleum Gas) dan TTL (Tarif Tenaga Listrik).

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengamankan kondisi perekonomian di Indonesia yaitu menaikan harga BBM bersubsidi. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah tersebut dianggap tidak pro terhadap masyarakat. Apalagi pada tahun 2015 ini, pemerintah seolah galau dalam mengambil kebijakan bila harga minyak dunia naik.

Tercatat selama bulan Maret 2015, setidaknya pemerintah sudah dua kali menaikan harga BBM, khususnya jenis premium dan solar. Dampak dari naiknya BBM bersubsidi membuat harga bahan pokok melonjak, harga tarif angkutan umum naik, dan harga kebutuhan lainnya pun juga turut merangkak naik. Kondisi demikian menyebabkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat kurang mampu semakin erat mengencangkan ikat pinggang. Lantas kapan masyarakat Indonesia dapat sejahtera dan hidup nyaman?

Berbagai upaya tentu sudah ditempuh pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Namun nyatanya, berbagai kajian yang dilahirkan oleh berbagai pakar yang mumpuni di bidangnya sangat sulit diimplementasikan. Banyak sekali faktor penghambat yang membuat Indonesia seolah sulit untuk menjadi negara yang seperti diamanahkan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Islamic Philanthropy Sebagai Solusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun