Mohon tunggu...
Mahadi Abdullah
Mahadi Abdullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Hai konten dalam blog ini akan berisi seputar isu-isu hukum dan akan diselingi dengan catatan-catatan perjalanan saya dalam melakukan perjalanan-perjalanan ke tempat-tempat indah di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perluasan Makna Asas Legalitas dan Pidana Adat dalam Pasal 2 KUHP Nasional

27 Maret 2023   16:03 Diperbarui: 27 Maret 2023   16:12 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Proses pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia telah berlangsung lama, langkah tersebut dimulai sejak Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963 kemudian disahkan pada 6 Desember 2022 dan diundangkan pada 2 Januari 2023. 

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak hanya melahirkan tindak pidana baru, melainkan berdampak juga terhadap norma-norma baru yang berbeda dengan KUHP Kolonial yang berlaku saat ini. Meski telah disahkan dan diundangkan, masih terdapat perdebatan mengenai muatan-muatan Pasal yang ada dalam KUHP Nasional, seperti Pasal 2 KUHP yang mengatur mengenai hukum yang hidup di masyarakat. Pasal 2 KUHP berbunyi:

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.

(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jika kita menilik rumusan yang ada dalam Pasal 2 KUHP Nasional dapat ditarik kesimpulan bahwa selain hukum tertulis yang diakui oleh sistem hukum Pidana Indonesia terdapat sumber hukum lain yang diakui, yakni hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini sejalan pada bagian menimbang huruf c yang berbunyi:

"bahwa materi hukum pidana nasional juga harus mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara dan kepentingan individu, antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia."

Penjelasan Pasal 2 KUHP Nasional membatasi makna hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu dapat dipidana. Pasal 2 KUHP Nasional sejalan dengan arah politik hukum pidana Indonesia yang terdapat dalam bagian menimbang huruf a, yakni tujuan penyusunan hukum pidana nasional untuk mengganti KUHP warisan kolonial Hindia Belanda.

Selain latar belakang politik hukum tersebut terdapat latar belakang lain, yakni di beberapa daerah di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan dan dijadikan dasar untuk penjatuhan hukuman pidana terhadap pelanggaran aturan di daerah tersebut.

Paling tidak terdapat dua kelompok yang memperdebatkan Pasal 2 KUHP Nasional ini, kelompok yang menyetujui pasal ini beralasan bahwa di beberapa wilayah di Indonesia terdapat hukum yang tidak tertulis dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut yang memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan kelompok yang tidak menyetujui pasal ini beralasan bahwa Pasal 2 KUHP bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 KUHP yang memuat mengenai asas legalitas, serta dapat mencederai kepastian hukum yang ada di Indonesia.

Sebelum menuju pembahasan yang lebih mendalam, alangkah baiknya kita mengenal apa itu asas legalitas. Paul Johan Anselm von Feuerbach (1775-1833), merupakan orang yang mengemukakan asas legalitas. Dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht asas legalitas dirumuskan dalam bahasa latin, yang berbunyi: (Hiariej, 2015)

1. nulla poena sine lege, artinya setiap hukuman yang dijatuhkan haruslah didasari pada suatu undang-undang.

2. nulla poena sine crimine, artinya suatu penjatuhan hukuman hanya dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut telah diancam dengan hukuman oleh suatu undang-undang.

3. nullum crimen sine poena legali, artinya perbuatan yang telah diancam hukuman oleh undang-undang apabila dilanggar berakibat hukuman seperti yang diancamkan oleh undang-undang.

Ketiga frasa tersebut kemudian menjadi adagium  nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali yang berarti tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu.

Menurut Moeljatno terdapat 3 pengertian yang ada dalam asas legalitas:

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias)

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. (Moeljatno, 2008)

Apakah perluasan makna asas legalitas tidak bertentangan dengan asas legalitas itu sendiri?

Asas legalitas dalam KUHP Kolonial diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. KUHP Nasional masih mempertahankan asas legalitas sebagai asas yang fundamental, terbukti dari penempatannya yang masih berada pada Pasal 1. Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional berbunyi: "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapet dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan-perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan". 

Sebagaimana bunyi ayat tersebut, ini mengindikasikan bahwa ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan digolongkan sebagai tindak pidana apabila sudah ditentukan dalam Undang-Undang. Penggunaan asas tersebut dikarenakan asas legalitas merupakan asas yang bersifat pokok dalam hukum pidana. Okeh karena itu ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini juga berarti ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut

Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) menentukan dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Larangan penggunaan analogi dalam menetapkan tindak pidana adalah konsekuensi logis dari penggunaan asas legalitas seperti yang telah dijelaskan pengertian asas legalitas menurut Moeljatno di atas. Penafsiran analogi berarti apabila suatu perbuatan bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur dalam Undang-Undang, tetapi perbuatan tersebut diterapkan ketentuan pidana lain yang memiliki sifat dan bentuk yang serupa.

Namun ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Penjelasan ayat ini menyebutkan yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. 

Adanya Pasal 2 ini memberikan penegasan terhadap berlakunya hukum pidana adat, hal tersebut juga disampaikan oleh Prof Barda Nawawi Arief yang berpendapat "Masalah kriminalitas dan dekriminalisasi suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat" (Barda Nawawi Arief, 2011). 

Berlakunya Pasal 2 ayat (1) ini mengindikasikan perluasan makna asas legalitas yang dalam KUHP Kolonial hanya memuat asas legalitas formil, kini diperluas dengan penambahan asas legalitas materill. Asas legalitas formil lebih mengedepankan kepastian hukum di atas keadilan, sedangkan asas legalitas materill lebih mengedepankan keadilan di atas kepastian hukum.

Asas legalitas formil mengendaki adanya peraturan lebih dahulu sebelum perbuatan yang dianggap melanggar hukum dilakukan, dengan kata lain mengedepankan kepastian hukum. Asas legalitas materill mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) sebagai hukum yang tidak tertulis mengedepankan keadilan di atas kepastian hukum. Asas legalitas menghendaki peraturan yang ditulis dalam undang-undang dirumuskan secara jelas (lex certa), tidak berlaku surut (non retroaktif), dan larangan penggunaan analogi. 

Sedangkan hukum adat tidak tertulis sehingga tidak mempunyai rumusan yang jelas. Masyarakat seharusnya sudah mengetahui apakah perbuatan yang ia lakukan merupakan tindak pidana atau bukan, oleh karena itu asas legalitas juga melarang ketentuan hukum yang berlaku surut, hal ini merupakan bentuk upaya penegakan kepastian hukum di masyarakat. Dari uraian di atas jelas bahwa perluasan makna asas legalitas bertentangan dengan asas legalitas itu sendiri, namun Pasal 2 ayat (3) KUHP Nasional menjadikan penyimpangan asas legalitas tidak semakin jauh.

Peraturan Daerah Provinsi ataukah Peraturan Daerah Kabupaten yang nantinya berwenang dalam tata cara dan kriteria penetapan hukum pidana adat? 

Pasal 2 ayat (3) menentukan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan peraturan pemerintah. Penjelasan ayat ini menyebutkan peraturan pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah. Penjelasan ayat ini tidak menyebutkan secara jelas Peraturan Daerah mana yang nantinya berwenang dalam tata cara dan kriteria penetapan hukum pidana adat, untuk menjawab hal ini perlu menggunakan pendekatan Hukum Administrasi Negara.

Pembagian kewenangan daerah otonom yang dalam hal ini ialah Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 13 ayat (3) dan (4) UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi:

(3)Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:

1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;

2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;

3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau

4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.

(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah:

1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;

2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;

3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau

4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Dari dua ayat tersebut dapat ditarik 4 kaidah, yaitu:

1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi, sedangkan yang ada dalam Daerah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

2. Urusan Pemerintahan yang penggunaanya lintas Daerah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi sedangkan yang ada di dalam Daerah Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi sedangkan apabila di dalam Daerah Kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Pemerintahan Provinsi menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi  sedangkan jika lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintahan Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/kota

Berdasarkan kaidah 1 dan 2 tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa:

1. Pada dasarnya yanh berwenang mengatur hukum pidana adat berada di Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, namun jika ternyata kota atau kabupaten yang bersangkutan bukan merupakan daerah otonom seperti kota/kabupaten di Provinsi DKI Jakarta maka kewenangannya berada pada Peraturan Daerah Provinsi

Contoh: Pidana adat untuk masyarakat adat yang mendiami wilayah kabupaten A maka menjadi kewenangan Peraturan Daerah Kabupaten A untum mengatur pidana adatnya

2. Hukum Pidana Adat yang dianut oleh masyarakat adat yang wilayah hukumnya meliputi lintas kota/kabupaten dalam satu provinsi yang sama maka kewenangan pengaturan pidana adatnya berada pada Peraturan Daerah Provinsi

Contoh: Pidana adat untuk masyarakat yang mendiami kabupaten A dan kota B pada provinsi C, maka kewenangan untun mengatur pidana adatnya berada pada Peraturan Daerah Provinsi C

3. Hukum Pidana Adat yang dianut oleh masyarakat adat yang wilayah hukumnya meliputi lintas kabupaten/kota dalam provinsi yang berbeda (bukan dalam satu provinsi), maka kewenangan pengaturannya ada pada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Contoh: Pidana adat untuk masyarakat adat yang mendiami Kabupaten A di Provinsi B dengan masyarakat adat yang mendiami Kabupaten C di Provinsi D, maka menjadi kewenangan Peraturan Daerah Kabupaten A dan Peraturan Daerah Kabupaten C untuk mengatur pidana adatnya

4. Hukum Pidana Adat yang dianut oleh masyarakat adat yang wilayah hukumnya meliputi lintas kabupaten/kota dalam provinsi yang berbeda dengan melibatkan  wilayah hukum kota/kabupaten dalam satu provinsi, maka pengaturannya berada pada Peraturan Daerah Provinsi

Contoh: pidana adat untuk masyarakat kota A dan Kabupaten B dalam Provinsi C dan melibatkan Kabupaten D dalam Provinsi E, maka menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi C untuk mengatur pidana adat Kota A dan Kabupaten B, sedangkan untuk Kabupten D diatur oleh Pemerintah Daerah Kabupaten D untuk mengatur pidana adatnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun