Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) menentukan dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. Larangan penggunaan analogi dalam menetapkan tindak pidana adalah konsekuensi logis dari penggunaan asas legalitas seperti yang telah dijelaskan pengertian asas legalitas menurut Moeljatno di atas. Penafsiran analogi berarti apabila suatu perbuatan bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur dalam Undang-Undang, tetapi perbuatan tersebut diterapkan ketentuan pidana lain yang memiliki sifat dan bentuk yang serupa.
Namun ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Penjelasan ayat ini menyebutkan yang dimaksud dengan "hukum yang hidup dalam masyarakat" adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana.Â
Adanya Pasal 2 ini memberikan penegasan terhadap berlakunya hukum pidana adat, hal tersebut juga disampaikan oleh Prof Barda Nawawi Arief yang berpendapat "Masalah kriminalitas dan dekriminalisasi suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat" (Barda Nawawi Arief, 2011).Â
Berlakunya Pasal 2 ayat (1) ini mengindikasikan perluasan makna asas legalitas yang dalam KUHP Kolonial hanya memuat asas legalitas formil, kini diperluas dengan penambahan asas legalitas materill. Asas legalitas formil lebih mengedepankan kepastian hukum di atas keadilan, sedangkan asas legalitas materill lebih mengedepankan keadilan di atas kepastian hukum.
Asas legalitas formil mengendaki adanya peraturan lebih dahulu sebelum perbuatan yang dianggap melanggar hukum dilakukan, dengan kata lain mengedepankan kepastian hukum. Asas legalitas materill mengakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) sebagai hukum yang tidak tertulis mengedepankan keadilan di atas kepastian hukum. Asas legalitas menghendaki peraturan yang ditulis dalam undang-undang dirumuskan secara jelas (lex certa), tidak berlaku surut (non retroaktif), dan larangan penggunaan analogi.Â
Sedangkan hukum adat tidak tertulis sehingga tidak mempunyai rumusan yang jelas. Masyarakat seharusnya sudah mengetahui apakah perbuatan yang ia lakukan merupakan tindak pidana atau bukan, oleh karena itu asas legalitas juga melarang ketentuan hukum yang berlaku surut, hal ini merupakan bentuk upaya penegakan kepastian hukum di masyarakat. Dari uraian di atas jelas bahwa perluasan makna asas legalitas bertentangan dengan asas legalitas itu sendiri, namun Pasal 2 ayat (3) KUHP Nasional menjadikan penyimpangan asas legalitas tidak semakin jauh.
Peraturan Daerah Provinsi ataukah Peraturan Daerah Kabupaten yang nantinya berwenang dalam tata cara dan kriteria penetapan hukum pidana adat?Â
Pasal 2 ayat (3) menentukan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan peraturan pemerintah. Penjelasan ayat ini menyebutkan peraturan pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah. Penjelasan ayat ini tidak menyebutkan secara jelas Peraturan Daerah mana yang nantinya berwenang dalam tata cara dan kriteria penetapan hukum pidana adat, untuk menjawab hal ini perlu menggunakan pendekatan Hukum Administrasi Negara.
Pembagian kewenangan daerah otonom yang dalam hal ini ialah Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 13 ayat (3) dan (4) UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi:
(3)Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:
1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;