“Assalamualaikum Ka’dinto Alvin” Perlahan adikku mengawali kata, sembari ia mengumpat rasa kantuknya.
“Deni bede.?” Deni adiknya Doni itu .!” Pria yang penuh karisma itu mengalunkan suara khasnya.Ketegasannya yang terpancar dari logat bicara beliau berbicara, membuat tenang orang lain yang mendengarnya.
Deg ....!
Denyut nadiku seakan berhenti, nafasku terengah, hanya terpintas dalam benakku “Apa salahku, apa dosa yang telah aku perbuat terhadap beliau, sehingga diriku ditanya keberadaannya.Ya Allah ... ampunilah kesalahan yang telah aku perbuat terhadap kiyai.”gumanku denagan penuh harap dan penyesalan yang tercampur aduk jadi satu dengan penuh rasa keheranan.Reflek aku ingat sepatah kata “Syaikh Imam Zarnuji “dalam kitabnya yang monumental itu “Waa min ta’dzimil ilmi ,ta’dzimul ustadz” rasa takut itu terus menghantui fikiranku, sebab dosa yang kian hari terus menggunung terhadap masyaikh. Masih minim rasanya untuk aku tebus dengan kata maaf, layaknya bermaaf – maafan dengan teman sebayaku.
“iya....! ada dia lagi sama saya sekarang kiyai,?” suara adikku Alvin sukses memecahkan lamunanku yang entah sudah sampai kemana.
“ Kamu tahu rumahnya H. Hasan Kades Bajuran .?” Dengan nada bertanya seakan berharap akan jawaban dari adikku.Sedang adikku hanya bisa berkata iya denga penuh rasa hormat dan ta’dzim.
“Kamu antar Deni ke H. Hasan..! ingat jangan lupa bilang sama H. Hasan kalau Deni lah orang yang di maksud kiyai ,satu lagi jangan lupa tawassul kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan pendiri Ponpes ini K.H.Syamsul Arifin “Tegas beliau memastikan adikku dapat mencerna dan memahami dawuh beliau.
*****_____________*****
Sayup – sayup semilir angin menyapa kulitku yang masih meriang.tidak percaya dengan semua itu, ku ambil air wudlu’untuk mengusir rasa kantuk dan ego yang tidak lagi bersahabat dengan perasaanku.Ku pakai baju kokohku warna cokelat berpaduan warna gold, dan sarung wadimor senada terlipat rapi, dan songkok putih yang tidak lupa bertengger diatas kepalaku yang masih basah bekas air wudlu’ yang aku ambil tadi, seakan menunjukkan kesederhanaanku layaknya para santri pada umumnya.
Perlahan ku langkahkan kakiku denag penuh percaya diri, ku lewati kamar mandi dan masjid yang masih di penuhi santri junior untuk muthola’a kitab dan beberapa pelajaran yang mereka dapat dari ustadz di Madin tadi sore.Sedang adikku mengambil motor kiyai yang nantinya akan digunakan untuk mengantar aku pada H. Hasan.Dibalik pilar gerbang bercat putih salju itu aku masih tertunduk dan tidak lupa mulutktu sibuk dengan mengirimkan tawassul kepada Nabi Muhammad dan pendiri pesantren ini sebelum akhirnya aku dan adikku berangkat menuju tempat yang kami tuju, Desa Bajuran.
Sebenarnya rasa tidak nyaman itu menyirami rohaniku, sebab yang aku tunggangi sekarang bukanlah motor orang biasa pada umumnya, melainkan milik kiyai ku.Adikku menjadi sopir sedang aku naik di belakangnya, bak kiyai dengan khaddamnya.” YaAllah ...ampunilah hambamu yang tidak bisa mengontrol fikiran hambamu ini”.