“Yah!” M@cver menarik napas panjang.
Aku mengerti, dia sangat kecewa. Dia kadang-kadang iri juga pada teman-teman yang terbaring di pekuburan sana. Setiap tahun ribuan orang menghormati mereka. Entah karena kesadaran, atau merasa terpaksa karena status mereka sebagai tokoh masyarakat sepertiku.
Bagiku kegiatan rutin tahunan ini lumayan juga manfaatnya. Paling tidak, setahun sekali anak-anak bangsa ini teringat pada para pejuang kemerdekaan. Karena berkat pengorbanan para pejuang itulah mereka-mereka itu dapat hidup sejahtera seperti sekarang.
Para remaja pembawa obor dan regu paduan suara itu dapat sekolah dengan lancar. Para tokoh masyarakat sepertiku dapat duduk di kursi empuk. Dapat berteriak “interupsi!” dengan keras dalam musyawarah desa mengatasnamakan suara rakyat. Tepuk tangan hadirin bergemuruh mendukung gagasan-gagasannya. Coba kalau hanya sebagai rakyat biasa, apakah ada yang mau mendengar jeritannya?
“Sudah berapa lama kita merdeka?” tanya M@cver mengiris lamunanku.
“Oh, tujuh puluh tahun.”
“He..he.. sudah lama juga rupanya. Apa yang paling berkesan bagimu dalam perjuangan dulu?”
Aku merenung sejenak.
“Kurasa yang paling berkesan saat bertempur dengan tentara Jepang di perbatasan Puding Besar.”
“Kurasa juga begitu. Tembak-menembak waktu itu seperti dalam adegan film saja.”
“Saat itu lengan kananmu terserempet peluru musuh,” aku mengenang. “Untunglah waktu itu kita ditemani seorang gadis anggota palang merah. Dengan penuh kasih dia membalut lukamu, sehingga kita dapat meneruskan pertempuran dan memaksa musuh mundur sampai ke Mentok.”