Mohon tunggu...
Surtam A Amin
Surtam A Amin Mohon Tunggu... Freelancer - Peminat budaya

Kualitas nalar lebih penting daripada kuantitas gelar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Malam Renungan Suci

16 Agustus 2014   21:43 Diperbarui: 14 Agustus 2015   21:12 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Arlojiku menunjukkan pukul dua belas malam. Lampu-lampu yang menghiasi pekuburan serentak mati. Bukan karena sudah kedaluwarsa atau kelelahan. Bukan pula terkena giliran pemadaman oleh PLN yang tak kunjung usai. Malam ini, tanggal 17 Agustus seperti tahun-tahun sebelumnya, anak-anak desa kami yang menghargai jasa para pahlawannya mengadakan renungan suci.

Di desa kami acara renungan suci bukanlah acara resmi kenegaraan. Acara ini dilaksanakan semata-mata untuk merenung makna kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pahlawan, termasuk yang tidak dikenal sebagai pahlawan. Melalui acara ini para pemuda desa mencoba mengevaluasi perkembangan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan.

Tiba-tiba, seperti sudah diatur sebelumnya, ratusan remaja menyalakan obor masing-masing. Embusan angin malam, aroma bunga kemboja, dan keremangan cahaya obor membuat suasana pekuburan dan sekitarnya terasa bertaburan magis.

Sejenak hati anak-anak dan cucu-cucu bangsa itu hanyut dalam alunan lagu Gugur Bunga ciptaan Ismail Marzuki. Beberapa remaja anggota paduan suara itu sempat menitikkan air mata pada saat menyanyikan bait :

Siapakah kini pahlawan hati

Pembela bangsa sejati.

Telah gugur pahlawanku

Tunai sudah janji bakti.

Gugur satu, tumbuh…

Aku tak sanggup lagi mendengar kelanjutan syair lagu itu. Aku malu, setelah gugur satu pejuang, masih adakah sekarang orang berjuang tanpa pamrih seperti mereka? Masih adakah orang berjuang tanpa berharap agar diakui sebagai pejuang? Agar mendapat fasilitas dan prioritas dalam mengisi kemerdekaan?

Aku teringat pada M@cver, sahabat sejatiku. Pada tanggal 5 Oktober, sebagai mantan anggota barisan sukarela Pembela Negeri (Peri), kami sama-sama dilantik menjadi anggota tentara keamanan (TK). Ketika TK berubah menjadi Tentara Republik (TR) pada tanggal 24 Januari, aku, M@cver, dan beberapa teman pejuang lainnya tidak dipakai lagi.

Sebagai penghargaan terhadap para pejuang kemerdekaan, pada tahun 1962 kami menerima Surat Keputusan Menteri Urusan Veteran. Berdasarkan surat keputusan tersebut kami diakui dan disahkan sebagai “Veteran Pejuang Kemerdekaan”. Hanya sekadar pengakuan dan pengesahan! Anggota veteran yang rajin berurusan, kemudian mendapat tunjangan veteran dari pemerintah. Anak-anaknya mendapat fasilitas pendidikan. Sementara aku dan M@cver, karena malas berurusan harus puas dengan selembar kertas itu saja.

Selama bertahun-tahun kami hanya sebagai penonton drama pengisian kemerdekaan. Beberapa aktor pendatang baru tiba-tiba muncul mengaku sebagai pejuang. Berkat kemahiran mereka berakting di muka publik, mereka berhasil menguasai republik ini dan mereguk madu kemerdekaan sampai tersedak. Sedangkan M@cver dan beberapa teman lainnya kuburnya pun nyaris tak dikenal. Tidak ada yang mengakuinya sebagai pahlawan!

Aku lebih beruntung. Putriku yang cantik berhasil memikat hati putra seorang pejabat. Status sebagai besan seorang pejabat mengantarku menjadi salah seorang pengusaha sukses di negeri ini.

Diam-diam aku menyelinap, menghilang dari barisan peserta renungan suci. Kakiku terasa diseret kekuatan gaib. Aku segera meluncur ke pekuburan lain di ujung desa, tempat M@cver beristirahat untuk selamanya.

Pekuburan ujung desa tampak gelap. Malam ini, di sini terkena giliran pemadaman listrik oleh PLN. Dengan menggunakan cahaya dari pesawat telepon seluler aku mencari kubur M@cver. Karena sudah biasa, aku tidak kesulitan menemukan kubur sahabat sejatiku itu.

Pelan-pelan kuketuk kubur M@cver. Dia membuka pintu kuburnya. Rupanya dia belum tidur.

“Maaf, aku mengganggumu malam-malam begini!” kataku berbasa-basi.

“Ah, kamu! Aku sudah menunggumu sejak tadi. Seperti biasa aku ingin mengenang masa lalu bersamamu. Mengapa kamu terlambat?”

“Tadi aku harus mengikuti acara renungan suci bersama para pemuda.”

“Mengapa harus di sana?”

“Maafkan aku, Bat! Sejak menjadi tokoh masyarakat, aku harus mengikuti kegiatan yang dilaksanakan warga. Tidak ada niatku untuk melupakanmu. Kumohon kamu maklum.”

“Yah!” M@cver menarik napas panjang.

Aku mengerti, dia sangat kecewa. Dia kadang-kadang iri juga pada teman-teman yang terbaring di pekuburan sana. Setiap tahun ribuan orang menghormati mereka. Entah karena kesadaran, atau merasa terpaksa karena status mereka sebagai tokoh masyarakat sepertiku.

Bagiku kegiatan rutin tahunan ini lumayan juga manfaatnya. Paling tidak, setahun sekali anak-anak bangsa ini teringat pada para pejuang kemerdekaan. Karena berkat pengorbanan para pejuang itulah mereka-mereka itu dapat hidup sejahtera seperti sekarang.

Para remaja pembawa obor dan regu paduan suara itu dapat sekolah dengan lancar. Para tokoh masyarakat sepertiku dapat duduk di kursi empuk. Dapat berteriak “interupsi!” dengan keras dalam musyawarah desa mengatasnamakan suara rakyat. Tepuk tangan hadirin bergemuruh mendukung gagasan-gagasannya. Coba kalau hanya sebagai rakyat biasa, apakah ada yang mau mendengar jeritannya?

“Sudah berapa lama kita merdeka?” tanya M@cver mengiris lamunanku.

“Oh, tujuh puluh tahun.”

“He..he.. sudah lama juga rupanya. Apa yang paling berkesan bagimu dalam perjuangan dulu?”

Aku merenung sejenak.

“Kurasa yang paling berkesan saat bertempur dengan tentara Jepang di perbatasan Puding Besar.”

“Kurasa juga begitu. Tembak-menembak waktu itu seperti dalam adegan film saja.”

“Saat itu lengan kananmu terserempet peluru musuh,” aku mengenang. “Untunglah waktu itu kita ditemani seorang gadis anggota palang merah. Dengan penuh kasih dia membalut lukamu, sehingga kita dapat meneruskan pertempuran dan memaksa musuh mundur sampai ke Mentok.”

“Ah, jangan teruskan ceritamu!”

Kulihat wajah M@cver tampak sedih ketika aku menyebut gadis anggota palang merah itu. Dia menyimpan banyak kenangan dengan gadis itu. Mereka sangat cocok sebenarnya. Tetapi malang bagi M@cver, ketika dia melamar gadis itu, dia ditolak. Orang tua gadis itu tidak setuju karena M@cver belum memiliki pekerjaan tetap. Padahal saat itu para orang tua selalu mendambakan seorang menantu bekerja sebagai karyawan tambang timah. Ungkapan “tak usah ye menggonde, kalau tidak kerje tetebe” sangat popular waktu itu. Tetebe merupakan singkatan Tambang Timah Bangka (TTB).

“Maafkan aku, Bat! Aku tidak bermaksud menyayat luka baru di atas duka lama.”

“Itu lagu Ebit G Ade!”

“Ha..ha..ha…”

M@cver merangkulku. Kami berpelukan. Berpelukan, seperti teletubis!

“Bagaimana usahamu sekarang?” tanya M@cver kemudian. “Kudengar kamu jadi orang hebat sekarang.”

“Biasalah, Bat. Usahaku memang cukup maju. Tetapi sekarang iklimnya berubah.”

“Berubah bagaimana?”

“Kamu tahu sendiri, aku berhasil menjadi pengusaha sukses itu karena berbesan dengan seorang pejabat. Banyak order-order yang kuterima karena sentuhan tangan dingin besanku itu. Sekarang sudah sulit.”

“Masa iya?!”

“Sekarang orde reformasi, Bat! Semua mata menatap curiga pada kita. Jangankan berbuat salah, berbuat benar pun digugat orang, terutama oleh para pemuda yang heroik seperti kita dulu.”

“Hebat, kalau begitu. Para pemuda sekarang tentu lebih cerdas, lebih kritis, kreatif, inovatif, dan berdisiplin tinggi. Kesempatan mereka menuntut ilmu lebih terbuka, sebagai buah dari kemerdekaan.”

“Ya.”

“Mereka pasti lebih pintar bicara, lebih lancar berpidato tentang segala hal. Tentang keindahan masa depan. Bagaimana tentang penghargaan mereka terhadap para pahlawan?”

“Wah, luar biasa! Setiap tahun para pemuda kita selalu menjadi pelopor dalam memperingati hari ulang tahun kemerdekaan. Tanpa diundang, dengan kesadaran sendiri barisan pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda selalu memenuhi lapangan upacara.”

“Ccckkk!”

“Seperti tadi yang baru aku hadiri, acara renungan suci di pekuburan umum kampung kita, semuanya dilaksanakan oleh para pemuda.”

“Mereka benar-benar sesuai dengan harapan kita. Harapan para pejuang kemerdekaan. Untuk mereka itulah sebenarnya kita berjuang dulu, Bat. Tapi apakah laporanmu itu benar? Kamu jangan memanipulasi data. Ingat, Belanda berhasil menjajah Indonesia selama tiga setengah abad karena mereka mampu memanipulasi data. Masyarakat dunia mengira rakyat di negeri jajahannya itu hidup makmur, semakmur negeri Belanda yang mereka lihat. Jangan-jangan dengan melihat perutmu yang semakin buncit, orang luar negeri mengira di negeri ini tidak ada lagi program raskin!”

Aku tersenyum-senyum sendiri mendengar pertanyaan M@cver. Dalam hati aku berkata: “Mencari kebenaran dan kejujuran sekarang ini lebih sulit daripada mencari jarum di tengah lapangan sepakbola.”

Suara M@cver tidak terdengar lagi, karena aku sudah mengantuk. Aku terkejut ketika dari setiap kendaraan yang lewat di depan pekuburan terdengar suara sirene meraung-raung. Entah karena gembira, ataukah karena semakin beratnya beban yang dipikulnya selama ini. Rupanya masyarakat ramai-ramai memperingati detik-detik proklamasi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun