Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mastani

9 Februari 2022   10:27 Diperbarui: 9 Februari 2022   10:28 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber :  artranked.com

"Kau tenang saja. aku akan bertanggungjawab atas semua ini. Aku akan menikahimu. Orang tuaku kaya. Semua kebutuhan hidupmu akan aku penuhi."

"Bahkan jika kau mati kau tidak akan mengingkari janjimu?"

"Ya, aku janji padamu Mastaniku."

Dua remaja itu hanyut dalam lautan kenikmatan. Napas mereka saling beradu di udara. Panas membara beradu dengan matahari yang bersinar cukup terik. Kulit-kulit jagung kering terlihat berserakan di tanah. Menjadi saksi percintaan kedua remaja yang sedang dimabuk asmara itu.

"Nehal, apa kau tidak mencium sesuatu? Seperti bau busuk."

"Tidak Mastani, yang aku rasakan hanyalah bau tubuhmu yang wangi. Biarkan aku menikmatinya." Nehal berbisik pelan di balik daun telinga kanan Mastani.

"Nehal oh Nehal..." desah Mastani menikmati cumbuan lelaki muda itu.

Tanpa mereka sadari, dua pasang mata sedang mengamati gerakan-gerakan erotis yang mereka buat. Kerongkongannya bergerak naik turun. Air liurnya menerjang masuk ke dalam. Berkejar-kejaran dengan degup jantungnya yang tidak karuan. Ia sangat menikmati apa yang sedang ia lihat. Sejurus kemudian celananya telah basah.

Kejadian itu tidak berlangsung lama. Nehal lalu merapikan celananya. Sedangkan Mastani pulang dalam keadaan lusuh dengan sari penuh noda lumpur kering. Langkahnya sedikit gontai. Perlahan ia melangkah sambil menyingkap gaunnya. Lalu ia berhenti sejenak.

"Jangan lupa janjimu Nehal." ucap Mastani sambil menoleh ke belakang.

"Tentu Mastani. Aku tidak akan lupa."

Mastani tersenyum. Lalu ia menghilang diantara rimbunnya pohon jagung. Seorang remaja lelaki muncul keluar dari sisi yang lain. Remaja itu berjalan mengendap-endap menghampiri Nehal.

"Apa kau yakin dengan ucapanmu barusan?"

"Tentu saja tidak Vishal, aku bisa dibunuh oleh ayahku. Mana mungkin seorang pria Ksatria menikahi gadis Sudra. Ayahku tidak akan pernah menyetujuinya."

"Tapi gadis itu..."

"Kita melakukannya tanpa paksaan, suka sama suka. Awalnya ia menolak dan mencekik leherku, tapi setelah aku mengatakan akan bertanggungjawab, ia menerima dan menikmati persetubuhan itu."

"Kau kenal dia?"

"Dia Mastani. Seorang gadis Uttar Pradesh. Tetangga desaku. Aku sudah mengenalnya cukup lama. Jauh sebelum kau menjadi pelayanku."

***

Nehal Sharma dan Vishal kemudian melanjutkan perjalanannya menuju desa berikutnya. Perkenalan Nehal Sharma dengan Mastani sudah berjalan cukup lama. Remaja 21 tahun itu sering melihat Mastani berada di kebun jagung yang ia lewati. Sekali dua kali ia membunyikan klakson truk miliknya hanya untuk merebut perhatian Mastani. Gayung bersambut. Sejak saat itu Nehal dan Mastani pasti bertemu ketika Nehal mengirim gandum ke desa sebelah. Rasa suka bersemi di hati Mastani. Seorang gadis desa yang terpesona oleh ketampanan Nehal Sharma.

"Kau cantik sekali Mastani." ucap Nehal sambil membelai rambut panjang Mastani yang terurai.

"Terimakasih Nehal, aku akan selalu menunggumu di sini. Di ladang sepi ini."

"Tentu Mastani, aku pasti datang untukmu."

Nehal menepati janji manisnya itu kepada Mastani. Dalam seminggu, mereka bisa bertemu dua hingga tiga kali. Di ladang jagung. Diantara rimbun dan tingginya pohon jagung yang kecoklatan itu. Tentunya itu bukan pertemuan biasa. Tapi pertemuan melepas kerinduan.

"Jadi kapan kamu datang kembali?" tanya Mastani sambil menutupi sebagian tubuh indahnya dengan kain sari.

"Tiga hari lagi sayang, aku pasti datang." jawab Nehal.

Setelah tubuh Mastani tertutup seluruhnya dengan kain sari, ia memeluk tubuh Nehal yang bertelanjang dada. Ia menciumi leher remaja tampan itu dari belakang.

"Jangan lupakan janjimu padaku." bisik Mastani.

"Tentu sayang."

***

Sudah tiga hari ini Mastani tidak pergi ke ladang jagung seperti biasa. Ibunya memaklumi perilaku gadis itu.

"Mungkin Mastani kelelahan. Ia butuh istirahat." gumam ibunya saat melihat anak gadisnya dari balik tirai tirai kamar.

Di hari keempat, kecurigaan mulai terasa. Mastani yang biasanya berteriak meminta makanan atau minuman, kini sudah tidak terdengar lagi. Gulika sang ibu akhirnya memberanikan diri untuk memasuki kamar dan mendekati Mastani.

"Ibu jangan masuk. Tolong ibu. Jangan masuk." teriak Mastani dengan suara parau.

Gulika tidak peduli. Kali ini ia tidak membiarkan Mastani untuk mengambil makanan dan minumnya sendiri seperti biasanya. Gulika melangkah masuk dengan penuh rasa penasaran.

Bau anyir menyeruak ke udara. Gulika berusha menutup hidung dengan kain sarinya. Ia melihat Mastani menekan-nekan perutnya. Tanpa berpikir panjang, Gulika menyibak selimut gadis itu.

Betapa kaget Gulika melihat pemandangan di depannya. Nampan berisi semangkuk kari dan tiga lembar roti canai jatuh berhamburan di lantai kamar.

Gulika menatap nanar Mastani.

"Ibu....." ucap Mastani lemah.

Bau anyir makin tajam. Menyeruak ke udara. Menimbulkan rasa kurang nyaman bagi Gulika.

Dari alat kemaluan Mastani keluar cairan bening. Cairan itu tidak berwarna. Membuat kasur Mastani lembab. Namun bukan cairan itu yang membuat Gulika kaget.

"Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu anakku?" suara tangis Gulika lirih terdengar.

Wanita tua itu dengan sabar membersihkan kemaluan Mastani dengan kain bersih. Ia memungut satu persatu hewan kecil berwarna putih yang bergerak-gerak itu. Sekelompok belatung yang merayap-rayap di atas paha Mastani.

"Tidurlah anakku. Malam ini berdoalah kepada Dewa agar kau lekas diberi kesembuhan." bisik Gulika.

***

Sudah hampir seminggu ini Nehal melintasi ladang jagung tempat ia biasa bertemu Mastani. Sayangnya ia tidak melihat gadis itu. Ladang jagung itu sepi. Namun Nehal tidak berputus asa. Ia turun dari truk.

"Aku pergi sebentar. Kamu tunggu di sini." ucap Nehal kepada Vishal.

Ia lalu berjalan menyibak batang-batang pohon jagung yang mulai mengering dan tinggi. Menuju ke suatu tempat dimana ia sering bercinta di sana dengan Mastani. Sayangnya, ia hanya menemukan tumpukan daun jagung kering berserakan ditiup angin.

"Dimana Mastani?" gumam Nehal dalam hati.

Mata Nehal menyapu bersih tempat itu. Berharap ia bisa menemukan gadis yang ia cari. Tiba-tiba mata Nehal tertuju pada sesuatu di balik tumpukan daun jagung kering. Tepat dimana ia bercinta dengan Mastani beberapa hari lalu. Nehal berjalan menuju tumpukan daun jagung kering itu. Ia menyibak-nyibak dedaunan itu dengan sebatang kayu kering. Ia tersentak kaget. Ia melihat seekor tikus yang telah menjadi bangkai kering.

"Nehal, apa kau tidak mencium sesuatu? Seperti bau busuk."

Nehal teringat ucapan Mastani. Ia lalu menutup bangkai tikus dengan daun jagung. Melempar kayu yang dipegangnya. Sesekali ia ingin muntah. Tapi ia tahan. Sejurus kemudian Nehal pergi meninggalkan ladang jagung yang sepi itu.

"Apa kau menemukan Mastani?"

"Tidak Vishal. Dia tidak ada di sana. Mungkin ia sudah bosan bercinta denganku. Atau bisa jadi ia sudah menemukan lelaki lain yang bisa memuaskan hasratnya. Aku akan mencoba menemuinya besok. Jika ia tidak datang, aku akan melupakannya untuk selamanya." jawab Nehal singkat.

Vishal diam. Pandangan matanya jauh menatap ke jalanan yang sepi membentang di depan.

***

Hari itu sangat panas. Gulika belum siap. Ia tidak rela ditinggal pergi oleh Mastani untuk selamanya. Malam sebelum kematian Mastani, Gulika sempat berbicara kepada anak gadisnya. Dalam rintihannya menahan perih atas sakit yang dirasakan, Mastani berbisik untuk terakhir kali.

"Ibu... Nehal... Ladang jagung." ucap Mastani lirih terbata-bata.

"Siapa Nehal? Katakan pada ibu nak?"

Malam itu kemudian sepi. Tidak terdengar lagi suara parau Mastani.

"Mastani... Mastani..." ucap Gulika dengan berlinang air mata sambil mengguncang-guncang tubuh kaku yang dingin itu.

Seorang pendeta telah datang. Upacara pembakaran mayat Mastani digelar. Hanya beberapa anggota keluarga saja yang hadir. Gulika tak kuasa menahan tangis. Beberapa kali ia mengusap air mata di pipinya. Hati gulika benar-benar tercabik. Putrinya pergi dengan cara yang tidak wajar.

Keesokan harinya, Gulika berangkat menuju ladang tempat Mastani biasa bekerja. Pagi-pagi sekali ia berangkat. Dengan membawa bekal makan seperlunya, ia melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.

"Aku turut berduka atas kematian anak gadismu Gulika."

"Terimakasih. Aku minta maaf apabila Mastani pernah berbuat salah kepadamu selama ini."

"Tentu aku maafkan Gulika. Semoga ia tenang di sana."

"Iya, untuk itulah aku datang kemari."

"Maksudmu?"

"Aku harus menyelesaikan permintaan terakhir Mastani."

Gulika dan wanita itu lantas melanjutkan makan siang mereka. Sesekali mereka berbicara singkat seperlunya. Keduanya terlihat sangat akrab. Tiba-tiba terdengar deru mesin mobil dari kejauhan.

"Siapa sopir truk itu? Aku belum pernah melihat ia sebelumnya." tanya Gulika.

"Dia putra Suraj Sharma. Seorang saudagar kaya dari Uttar Pradesh."

"Nehal kah namanya?" tanya Gulika penasaran menyelidik.

"Nehal Sharma. Kau benar." ucap wanita tua itu sambil membetulkan letak kerudungnya. "Bagaimana kau tahu namanya? Apakah mendiang putrimu yang memberitahumu?" lanjut wanita tua itu. Sesuap nasi telah menembus kerongkongan yang mulai terlihat tulang-tulangnya.

"Mastani maksudmu?"

"Siapa lagi putrimu kalau bukan Mastani, lagipula di sini sudah tersebar kabar tentang hubungan mereka berdua."

"Hubungan?" ucap Gulika kaget.

"Kau tidak tahu?" ucap wanita tua itu kaget.

Wanita tua itu lalu menceritakan apa yang selama ini ia lihat. Bahwa ia sering memergoki Mastani saat bekerja. Ia sering melihat Mastani dalam keadaan berantakan dan lelah. Hal itu selalu terjadi setelah Mastani bertemu dengan lelaki itu.

"Kau baik-baik saja Mastani?"

"Iya, aku baik-baik saja." jawab Mastani sambil menekan-nekan perutnya.

Semua hal yang dialami Mastani beberapa minggu lalu terekam jelas dalam ingatan wanita tua itu.

"Aku melihatnya Gulika. Ada sesuatu yang menyiksa dalam perut anak gadismu."

"Sesuatu?"

"Iya benar. Sepertinya seorang lelaki telah menanamkan benihnya di rahim anak gadismu."

"Bagaimana kau yakin akan hal itu?"

"Anakmu pernah mengalami pendarahan hebat. Aku melihatnya. Percikan noda merah itu terlihat jelas di atas kain sari miliknya."

Gulika terdiam. Ia teringat suatu hari pernah melihat Mastani sedang mencuci kain sari penuh noda darah.

"Noda darah siapa itu Mastani?"

"Oh ibu, ini darah ayam ibu. Tadi di ladang ada pesta kecil-kecilan menyembelih ayam. Kebetulan aku yang bertugas menyembelih." ucap Mastani tergagap.

***

Gulika akhirnya menemukan Nehal. Terbersit keraguan dalam dalam hatinya jika kematian Mastani akibat perbuatan lelaki setampan dia.

"Kulihat tabiatnya cukup baik. Saat ia menyapa para buruh di ladang ini dan saat ia berpamitan kepadaku pun ia sangat ramah. Mana mungkin ia tega membunuh anakku dengan cara sekeji itu?" pikiran Gulika berkecamuk. "Aku harus menyelidiknya."

Berhari-hari Gulika mengamati gerak-gerik Nehal Sharma saat lelaki itu singgah sejenak di ladang jagung tempat ia bekerja. Desas-desus menyebar hingga sampai ke telinga Gulika. Bahwa Nehal Sharma sedang mencari Mastani anak gadisnya.

"Sepertinya lelaki muda itu sedang mencari anakmu."

"Mastani? Untuk apa? Apakah ia belum tahu jika Mastani sudah mati?"

"Aku tidak tahu apa tujuannya. Apa perlu aku katakan padanya jika Mastani sudah mati? Agar ia berhenti mencarinya?" tanya si wanita tua.

Gulika bimbang. Hatinya berkecamuk jika mengingat kematian putrinya yang tragis. Antara marah kepada Nehal Sharma dan kasihan kepada Mastani. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Jangan. Lebih baik kau diam saja." ucap Gulika setelah ia merenung beberapa saat.

"Baiklah." jawab wanita tua itu singkat.

Malam harinya Gulika beristirahat di kamar Mastani. Ia menatap guci berisi abu Mastani yang belum ia tabur di Sungai Gangga.

"Sabarlah anakku. Sebentar lagi aku akan mengantarmu ke pelukan Dewi Gangga."

Gulika menyusun sebuah rencana.

***

"Apa kau tidak lelah mencari Mastani? Ini sudah hampir dua minggu lamanya. Tapi gadis idamanmu belum juga muncul."

"Tenanglah Vishal. Aku yakin hari ini aku akan menemukan gadisku Mastani."

"Sepertinya kau harus menepati janjimu kepada gadis itu." gurau Vishal.

"Kau bercanda. Itu hanyalah omong kosongku belaka. Agar Mastani menuruti kemauanku."

"Kau benar-benar gila." ucap Vishal.

Pagi itu Gulika menemui seorang lelaki tak jauh dari desanya. Ia membawa sebuah kotak dari rotan.

"Hati-hati. Jangan sampai salah memegangnya." ucap lelaki itu kepada Gulika.

"Aku paham. Akan aku lakukan sesuai petunjukmu."

"Tapi buat apa kau membelinya? Apa mau kau pelihara?"

"Tidak, aku akan menyerahkannya ke kuil Dewa Siwa untuk memenuhi janjiku pada Dewa Siwa."

"Oh begitu. Baiklah. Semoga Dewa Siwa memberkatimu Gulika."

"Terimakasih Baba."

Siang itu seperti biasanya para buruh ladang jagung berkumpul untuk menyantap makan siang mereka. Namun diantara kerumunan itu tidak terlihat wanita tua yang selalu menemani Gulika untuk makan.

Gulika mencari tempat yang sepi dan agak jauh dari kerumunan. Ia lalu menggelar tikarnya dan menyiapkan bekal makanannya. Tak lama kemudian terdengar deru mesin mobil.

"Itu pasti Nehal." gumam Gulika. Lalu ia beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju mobil truk milik Nehal.

Dari jarak yang cukup dekat, Gulika bisa melihat Nehal berjalan menuju arahnya. Gulika telah menyiapkan rencananya.

"Apa kau mencari Mastani Nak?"

"Iya bu, apa ibu tahu dimana Mastani berada? Aku ingin menyampaikan sesuatu padanya."

"Sesuatu? Salam perpisahan maksudmu?"

Nehal tersentak kaget. Namun masih bisa ia tahan. Gulika melihat perubahan wajah Nehal. Ia tersenyum tipis.

"Ikutlah denganku. Mastani sedang menunggumu di sana." ucap Gulika sambil menunjuk sebuah tempat di balik pohon jagung.

Dua orang beda usia itu berjalan beriringan. Tidak ada kecurigaan sedikitpun di wajah Nehal. Gulika tersenyum puas dalam hatinya karena sebentar lagi ia bisa menabur abu Mastani ke Sungai Gangga.

"Sabarlah Mastani. Sebentar lagi." ucap Gulika dalam hatinya.

Dua orang itu saling duduk berhadapan. Gulika menyuguhkan secangkir air putih kepada Nehal. Nehal pun meminum air itu.

Gulika menyiapkan dua piring plastik. Meletakkan dua lembar roti canai di atasnya.

"Sepertinya kau lapar Nak. Ini makanlah dulu." ucap Gulika. Nehal mengangguk.

Gulika berpura-pura membetulkan letak kerudung sarinya. Ia sesekali mencuri pandang kepada Nehal. Dengan senyum penuh dendam, ia lalu berkata,

"Apa kau mau mencoba saus kari buatanku? Pasti roti canai itu akan terasa enak jika dimakan bersama kari."

"Hmm... Boleh. Jika ibu tidak keberatan."

"Ambillah di dalam kotak rotan itu. Ambillah pelan-pelan agar isinya tidak tumpah."

Nehal meletakkan piringnya. Ia membuka penutup kotak rotan dengan tangan kanannya. Tangan kirinya masuk ke dalam kotak dan berusaha mencari saus kari. Tak lama kemudian.

"Aaah... Tanganku." teriak Nehal sambil secepat kilat mengeluarkan tangan kirinya.

Lelaki itu merintih kesakitan. Ia berusaha menekan telapak tangan kiri menggunakan tangan kanannya. Hanya dalam beberapa detik, Nehal menggelepar di atas tikar. Napasnya tersengal-sengal. Ular kobra itu keluar menuju rimbunnya pohon jagung.

"Mastani sudah menunggumu. Inilah balasan atas perbuatanmu kepada anakku. Kau tahu, karena perbuatanmu Mastani harus menanggung penderitaan. Belatung-belatung pemberianmu telah menggerogoti rahim anakku. Ia tewas karena belatung-belatung itu." ucap Gulika geram penuh dendam. Api amarah terlihat di dalam matanya.

Nehal menggelepar menahan sakit. Racun itu telah menyebar ke seluruh tubuhnya. Mukanya membiru. Dalam ingatannya hanya satu. Wajah Mastani. ia baru menyadari jika kematian Mastani akibat infeksi bakteri bangkai tikus yang ia lihat. Ia ingin menjelaskan semuanya. Namun terlambat, racun itu telah sampai di otaknya. Ia kejang, napasnya tersengal-sengal hingga akhirnya ia meninggal.

Gulika tersenyum. Ia berjalan meninggalkan tempat itu. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Cukup dengan berpura-pura menangis dan mengabarkan kepada para buruh bahwa Nehal telah tewas akibat gigitan ular kobra maka semua masalah pasti beres.

"Mastani, tunggu ibu." ucap Gulika sambil berjalan meninggalkan Nehal yang telah membiru dan kaku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun