Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mastani

9 Februari 2022   10:27 Diperbarui: 9 Februari 2022   10:28 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber :  artranked.com

Ia lalu berjalan menyibak batang-batang pohon jagung yang mulai mengering dan tinggi. Menuju ke suatu tempat dimana ia sering bercinta di sana dengan Mastani. Sayangnya, ia hanya menemukan tumpukan daun jagung kering berserakan ditiup angin.

"Dimana Mastani?" gumam Nehal dalam hati.

Mata Nehal menyapu bersih tempat itu. Berharap ia bisa menemukan gadis yang ia cari. Tiba-tiba mata Nehal tertuju pada sesuatu di balik tumpukan daun jagung kering. Tepat dimana ia bercinta dengan Mastani beberapa hari lalu. Nehal berjalan menuju tumpukan daun jagung kering itu. Ia menyibak-nyibak dedaunan itu dengan sebatang kayu kering. Ia tersentak kaget. Ia melihat seekor tikus yang telah menjadi bangkai kering.

"Nehal, apa kau tidak mencium sesuatu? Seperti bau busuk."

Nehal teringat ucapan Mastani. Ia lalu menutup bangkai tikus dengan daun jagung. Melempar kayu yang dipegangnya. Sesekali ia ingin muntah. Tapi ia tahan. Sejurus kemudian Nehal pergi meninggalkan ladang jagung yang sepi itu.

"Apa kau menemukan Mastani?"

"Tidak Vishal. Dia tidak ada di sana. Mungkin ia sudah bosan bercinta denganku. Atau bisa jadi ia sudah menemukan lelaki lain yang bisa memuaskan hasratnya. Aku akan mencoba menemuinya besok. Jika ia tidak datang, aku akan melupakannya untuk selamanya." jawab Nehal singkat.

Vishal diam. Pandangan matanya jauh menatap ke jalanan yang sepi membentang di depan.

***

Hari itu sangat panas. Gulika belum siap. Ia tidak rela ditinggal pergi oleh Mastani untuk selamanya. Malam sebelum kematian Mastani, Gulika sempat berbicara kepada anak gadisnya. Dalam rintihannya menahan perih atas sakit yang dirasakan, Mastani berbisik untuk terakhir kali.

"Ibu... Nehal... Ladang jagung." ucap Mastani lirih terbata-bata.

"Siapa Nehal? Katakan pada ibu nak?"

Malam itu kemudian sepi. Tidak terdengar lagi suara parau Mastani.

"Mastani... Mastani..." ucap Gulika dengan berlinang air mata sambil mengguncang-guncang tubuh kaku yang dingin itu.

Seorang pendeta telah datang. Upacara pembakaran mayat Mastani digelar. Hanya beberapa anggota keluarga saja yang hadir. Gulika tak kuasa menahan tangis. Beberapa kali ia mengusap air mata di pipinya. Hati gulika benar-benar tercabik. Putrinya pergi dengan cara yang tidak wajar.

Keesokan harinya, Gulika berangkat menuju ladang tempat Mastani biasa bekerja. Pagi-pagi sekali ia berangkat. Dengan membawa bekal makan seperlunya, ia melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.

"Aku turut berduka atas kematian anak gadismu Gulika."

"Terimakasih. Aku minta maaf apabila Mastani pernah berbuat salah kepadamu selama ini."

"Tentu aku maafkan Gulika. Semoga ia tenang di sana."

"Iya, untuk itulah aku datang kemari."

"Maksudmu?"

"Aku harus menyelesaikan permintaan terakhir Mastani."

Gulika dan wanita itu lantas melanjutkan makan siang mereka. Sesekali mereka berbicara singkat seperlunya. Keduanya terlihat sangat akrab. Tiba-tiba terdengar deru mesin mobil dari kejauhan.

"Siapa sopir truk itu? Aku belum pernah melihat ia sebelumnya." tanya Gulika.

"Dia putra Suraj Sharma. Seorang saudagar kaya dari Uttar Pradesh."

"Nehal kah namanya?" tanya Gulika penasaran menyelidik.

"Nehal Sharma. Kau benar." ucap wanita tua itu sambil membetulkan letak kerudungnya. "Bagaimana kau tahu namanya? Apakah mendiang putrimu yang memberitahumu?" lanjut wanita tua itu. Sesuap nasi telah menembus kerongkongan yang mulai terlihat tulang-tulangnya.

"Mastani maksudmu?"

"Siapa lagi putrimu kalau bukan Mastani, lagipula di sini sudah tersebar kabar tentang hubungan mereka berdua."

"Hubungan?" ucap Gulika kaget.

"Kau tidak tahu?" ucap wanita tua itu kaget.

Wanita tua itu lalu menceritakan apa yang selama ini ia lihat. Bahwa ia sering memergoki Mastani saat bekerja. Ia sering melihat Mastani dalam keadaan berantakan dan lelah. Hal itu selalu terjadi setelah Mastani bertemu dengan lelaki itu.

"Kau baik-baik saja Mastani?"

"Iya, aku baik-baik saja." jawab Mastani sambil menekan-nekan perutnya.

Semua hal yang dialami Mastani beberapa minggu lalu terekam jelas dalam ingatan wanita tua itu.

"Aku melihatnya Gulika. Ada sesuatu yang menyiksa dalam perut anak gadismu."

"Sesuatu?"

"Iya benar. Sepertinya seorang lelaki telah menanamkan benihnya di rahim anak gadismu."

"Bagaimana kau yakin akan hal itu?"

"Anakmu pernah mengalami pendarahan hebat. Aku melihatnya. Percikan noda merah itu terlihat jelas di atas kain sari miliknya."

Gulika terdiam. Ia teringat suatu hari pernah melihat Mastani sedang mencuci kain sari penuh noda darah.

"Noda darah siapa itu Mastani?"

"Oh ibu, ini darah ayam ibu. Tadi di ladang ada pesta kecil-kecilan menyembelih ayam. Kebetulan aku yang bertugas menyembelih." ucap Mastani tergagap.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun