Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cetik Badung

4 April 2020   17:02 Diperbarui: 4 April 2020   17:06 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wasita nimitanta manemu laksmi

Wasita nimitanta pati kapangguh

Karena berbicara kita menemukan kebahagiaan

Karena berbicara kita mendapatkan kematian

(Nitisastra, Sargah V. Bait 3)

***

Sanglah, Desember 2019

Raungan sirine memekakkan telinga. Dua orang petugas medis mengeluarkan sebuah mayat dari dalam ambulans. Ni Luh yang sedang berjaga bergegas membukakan pintu belakang. Ia mengarahkan mereka untuk menuju sebuah ruangan. Kamar mayat. Aroma desinfektan menguar ketika pintu ruangan dibuka.

"Mayat siapa lagi ini, Bli?"

"Kami tidak tahu Ni Luh, pihak kepolisian hanya memerintahkan kami untuk menyimpan mayat ini untuk keperluan otopsi."

"Dari penampilannya aku yakin kalau dia adalah seorang gelandangan. Mustahil anggota keluarganya akan mencarinya." ucap Ni Luh pelan sambil membantu petugas itu mendorong ranjang si mayat.

"Ah sudahlah, lebih baik cepat kau siapkan loker untuk menyimpan mayat ini. Istriku sudah menungguku dirumah. Aku berjanji untuk pulang sebelum pukul 9 malam ini."

Mendengar ucapan I Putu Arsa, seketika wajah Ni Luh menjadi masam.

"Baik Bli, serahkan padaku." Jawab Ni Luh pelan.

Wanita paruh baya itu bukan wanita biasa. Ia adalah seorang perawat teladan di RSUP Sanglah. Wajahnya yang terlihat awet muda di usianya yang menginjak 45 tahun membuat banyak orang menyukainya. Termasuk para dokter di sana.

Meskipun ia seorang janda, ia tidak merasa rendah diri. Ia tidak merasa kesepian sama sekali. Banyak teman yang hadir dan menemani hari-harinya. Hingga suatu ketika musibah menimpanya. 

Pihak direksi RSUP Sanglah mencium kasus perselingkuhannya dengan seorang dokter bedah yang usianya lebih muda darinya. Akibat hubungannya yang terlalu dekat dengan dokter bedah itu, Ni Luh terseret dalam sebuah hubungan terlarang.

Sudah hampir setahun ia bekerja di tempat barunya. Sebuah hukuman yang diberikan oleh pihak RSUP Sanglah kepadanya. Hukuman yang lebih baik daripada pemecatan secara tidak terhormat.

Meskipun beralih profesi, pekerjaan menangani mayat tidak terlalu sulit baginya. Sebab ia sering melihat I Nyoman Anggara menangani mayat. 

Bagaimana cara memperlakukan mayat yang baru datang, prosedur apa yang harus dilakukan ketika mendapatkan mayat yang telah rusak organ tubuhnya. Hingga cara menyimpan mayat didalam lemari penyimpanan. Semuanya telah Ni Luh rekam dengan baik didalam kepalanya.

"Begitu mayat datang, catat kondisi fisik si mayat. Lalu beri nomor identitas. Tempelkan identitas itu di jempol kaki kanan si mayat. Kemudian masukkan kedalam lemari pendingin. Ingat satu hal. Jangan lupa menyalakan tombol pendingin lemari. Atur suhunya dibawah minus 10 derajat."

"Kenapa Bli?"

"Agar mayat tidak membusuk."

Pelajaran yang diberikan rekan kerjanya I Nyoman Anggara masih ia ingat dengan baik.

Malam itu Ni Luh sendirian. Tanpa I Nyoman Anggara. Lelaki itu mengabari Ni Luh bahwa ia tidak bisa masuk kerja karena sakit. Sehingga ia harus menangani sendiri mayat yang kini diam membisu didepannya.

Seperti apa yang diajarkan oleh ingatannya, Ni Luh mulai bekerja sesuai prosedur penyimpanan mayat dibawah penerangan lampu yang tidak terlalu terang. Tepat pukul 11 malam ia berhasil menyelesaikan tugas itu.

Karena kelelahan, Ni Luh duduk di meja kerjanya. Ia mengambil segelas air putih didepannya. Setelah air putih itu mengalir kedalam tenggorokannya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Ni Luh mengamati lemari pendingin tempat menyimpan mayat lelaki tua yang baru ia masukkan. Sorot matanya menyapu bersih pintu lemari. Memastikan bahwa hanya ada satu kunci yang tidak menggantung di sana. Memastikan bahwa di dalam kotak penyimpanan mayat yang berjejer-jejer itu hanya ada satu mayat. Yakni mayat lelaki tua yang telah ia dokumentasikan ciri fisik dan kondisi terakhir tubuhnya.

"Tidak ada apa-apa." gumam Ni Luh sambil meremas kunci lemari bernomor 7 itu. Lalu ia tertidur pulas tepat pukul 12 malam.

***

Ni Luh pergi ke kantin untuk sarapan. Tugas semalam membuatnya merasa lapar. Ia memesan sepiring nasi liwet dan segelas teh panas. Saat tengah asik menyantap makanan kesukaannya itu, Ni Luh dikejutkan oleh sebuah suara yang menyebut-nyebut namanya. Tepatnya suara samar-samar sekumpulan orang yang sedang membicarakannya dari kejauhan.

"Oh itu yang namanya ibu Ni Luh. Pasti ia memakai susuk pengasihan."

"Maksudmu?"

"Ya susuk. Susuk untuk memikat para lelaki. Bayangkan saja, mana mungkin lelaki muda seperti Dokter Ida Bagus Kardana terpikat."

"Iya kau benar, kasihan dokter bedah itu. Karirnya seakan berakhir. Aku dengar dokter bedah itu dipindah tugaskan di daerah Buleleng."

Ni Luh berusaha menutup rapat telinganya. Namun usahanya gagal. Suara wanita-wanita itu seolah menusuk gendang telinganya. Bagaikan suara simfoni yang menyayat hati. Ia berusaha meredam amarah. Karena ia tahu, sekali lagi ia berbuat masalah di RSUP Sanglah, resiko pemecatan sudah menanti untuknya.

***

Seminggu setelah kejadian itu, tepatnya di awal tahun 2020 ini, Bali dihebohkan oleh berita menyebarnya virus korona yang kian santer. Tak terkecuali di daerah Denpasar. Pemerintah daerah mengumumkan siaga 1.

Sebagai tempat tujuan wisata berkelas internasional, para turis bisa saja membawa bibit-bibit virus korona. Pemerintah daerah memerintahkan kepada semua warganya untuk melengkapi diri dengan pelindung. Menjaga kesehatan diri dan kebersihan lingkungan. Serta selalu mencuci tangan setelah melakukan aktivitas apapun.

Pihak RSUP Sanglah juga mengambil langkah tegas. Semua pegawai medis disana dilengkapi dengan alat pelindung diri yang sesuai standar pemerintah dan WHO. Semua bangsal dan lorong-lorong rumah sakit dibersihkan setiap pagi dan sore hari menggunakan desinfektan. Demikian halnya untuk semua petugas medis yang bertugas juga wajib membersihkan ruang kerja mereka setiap tiga jam sekali.

Ni Luh terlihat bersemangat. Setelah makan siang ia mengepel lantai kamar mayat. Sedangkan I Putu Arsa mengelap pintu lemari pendingin. Dalam waktu 30 menit, semua pintu lemari pendingin kini telah steril.

Melihat Ni Luh masih mengepel lantai, I Putu Arsa membantunya. Ia mengganti air kotor dalam ember dengan air bersih.

"Terima kasih Bli."

"Sama-sama Ni Luh."

Ruang penyimpanan mayat itu kini telah steril. Mereka berdua bisa santai untuk sejenak. I Putu Arsa duduk di bangku panjang dekat pintu masuk kamar mayat untuk sekedar melepas penat sambil merokok. Ni Luh segera tanggap.

"Kopi tuan? Kental dan sedikit pahit kan?" gurau Ni Luh.

"Ah kau ini. Jangan membuat asam lambungku naik lagi." jawab I Putu Arsa dengan senyum pahit.

"Benar kau menolak tawaran gratis dariku?" goda Ni Luh. "Baiklah, aku pergi ke kantin dulu."

Belum genap tiga langkah Ni Luh berjalan, suara I Putu Arsa menyahut.

"Segelas saja. Yang kental dan jangan terlalu manis."

"Oke Tuan, kopi pesananmu akan segera datang." balas Ni Luh tanpa menoleh sedikitpun.

Wanita itu bernama Anak Agung Ayu Maharani. Wanita berkasta Kesatria yang cukup disegani diantara sesama perawat di RSUP Sanglah. Wanita yang berumur lima tahun lebih muda dari Ni Luh itu selalu berusaha merendahkan Ni Luh. Dimanapun Ni Luh berada, ia selalu menggunjingkan Ni Luh. Menyebarkan rumor jelek tentang Ni Luh. Tentang statusnya sebagai janda penggoda.

"Eh lihat, si janda datang lagi."

"Siapa yang kamu maksud Ayu?"

"Siapa lagi, tuh lihat." ucap Anak Agung Ayu Maharani sambil melempar pandangannya ke arah Ni Luh yang sedang duduk didepan mejanya untuk memesan makanan di kantin.

"Oh dia..." balas teman Ayu singkat.

Ni Luh diam saja. Bukan ia tidak mengerti dan tidak mendengar ucapan Anak Agung Ayu Maharani, tapi ia berusaha meredam gejolak kemarahan di hatinya. Tak lama setelah menerima pesanannya, ia bergegas pergi meninggalkan Ayu dan teman-temannya. Hatinya hancur. Matanya merah. Kali ini ia tak kuasa menahan emosinya.

"Hei, kenapa Ni Luh? Ada apa denganmu?"

Ni Luh diam tidak menjawab. Ia menyodorkan segelas kopi pahit kepada I Putu Arsa. Suasana hening tercipta diantara mereka. tak lama kemudian Ni Luh mengambil selembar tisu.

"Apa ada yang salah jika aku ini seorang janda? Apa masih kurang hukuman yang kalian berikan kepadaku kemarin?" tanya Ni Luh sambil sesenggukan.

"Ni Luh? Ada apa? Kau kenapa? tanya I Putu Arsa kebingungan.

***

Minggu pertama bulan Februari, tepatnya pada hari ketiga piodalan, pemedek sudah datang untuk nangkil di Pura Silayukti. Pemedek pun harus menunggu giliran untuk bisa masuk pura dan melakukan persembahyangan. Suasana di hari ketiga itu tidak terlalu ramai seperti hari pertama kemarin. Oleh sebab itu atas saran dari I Putu Arsa, Ni Luh berangkat menuju Pura Silayukti di sore hari pada hari ketiga.

"Sepertinya kau harus banyak bersabar Ni Luh. Ida Sang Hyang Widhi sedang memberi cobaan kepadamu."

"Lalu aku harus bagaimana Bli?" tanya Ni Luh dengan mata berkaca-kaca.

"Pergilah ke daerah Karangasem. Aku dengar disana akan digelar piodalan Pura Silayukti. Kau bisa berdo'a disana. Semoga Ida Sang Hyang Widhi  memberi petunjuk kepadamu."

"Kapan piodalan itu digelar?"

"Minggu pertama bulan Februari."

"Terimakasih Bli."

Pura yang berlokasi di daerah Karangasem itu berada diatas bukit. Bersama ribuan pemedek dari beberapa daerah di Bali, Ni Luh berjalan beriringan dari area parkir menuju Pura Silayukti. Perjalanan Ni Luh sedikit mengalami gangguan. Kain kebaya miliknya terinjak oleh pemedek lain sehingga membuat dirinya jatuh tersungkur. Seorang pemedek segera menolong Ni Luh.

"Ibu tidak apa-apa? Maafkan saya."

"Saya tidak apa-apa." balas Ni Luh yang segera meraih tangan wanita itu untuk membantunya berdiri.

"Saya Ni Made Suasti."

"Saya Ni Luh."

Perkenalan singkat itu mengantar mereka berdua kedalam sebuah percakapan yang hangat dan akrab. Terlihat mereka berdua duduk bersebelahan saat menikmati pentas Tari Rejang Dewa. Tarian sakral untuk menyambut para Dewa. Keakraban mereka berlanjut hingga acara piodalan itu selesai di malam hari.

"Kiranya izinkan saya untuk menjamu ibu dengan makan malam. Anggap saja itu adalah bentuk permintaan maaf saya atas kejadian sore tadi." ucap Ni Made Suasti yang diiringi anggukan kepala Ni Luh sebagai tanda persetujuannya.

Jamuan makan malam itu berjalan cukup menyenangkan. Mereka berdua seperti sahabat yang telah lama berpisah. Saling mencurahkan isi hati masing-masing. Mulai dari cerita tentang Ni Luh yang dicemooh oleh rekan kerjanya hingga cerita kematian suami Ni Made Suasti akibat Cetik Badung yang dikirim oleh rekan bisnis suaminya itu.

"Maafkan saya, saya tidak bermaksud membuka luka lama ibu."

"Tidak apa-apa Bu, saya juga sudah merelakan kepergian suami saya."

Tepat pukul 10 malam, mereka saling berpamitan. Malam itu Ni Luh bisa bernapas dengan lega. Semua keluh kesahnya telah ia utarakan kepada Dewa. Ia berharap akan mendapatkan petunjuk sesegera mungkin.

***

Keesokan harinya, mata Ni Luh nampak sayu. Namun pengorbanannya tidak sia-sia. Ia mendapatkan sebuah ide. Ia teringat kisah kematian suami Ni Made Suasti. Kematian yang tragis akibat Cetik Badung. Santet Bali yang terkenal paling kuat.

Siang itu ia sengaja makan di kantin rumah sakit. Sambil menunggu kedatangan seseorang. Pelayan kantin mengantar makanan pesanannya tak lama kemudian.

"Silakan."

"Terimakasih."

Tangan Ni Luh tak henti-hentinya menekan layar ponselnya. Matanya sibuk membaca informasi yang muncul dilayar.

"Balian Bali." gumamnya sambil mengunyah makanan di mulutnya.

Setelah cukup lama browsing, akhirnya Ni Luh menemukan akun Instagram seorang Balian. Balian itu tinggal di daerah Badung. Saat Ni Luh asyik dengan ponselnya, tiba-tiba dari arah belakang muncullah Anak Agung Ayu Maharani bersama teman-temannya.

"Lama-lama aku jadi gila. Banyak sekali pasien PDP Korona dalam sepekan ini. Aku hampir tidak bisa beristirahat."

"Bersabarlah Ayu, itu sudah menjadi tanggungjawab kita sebagai garda terdepan penanganan Korona. Setelah semua ini berlalu, engkau pasti bisa beristirahat dengan tenang."

"Sabar katamu? Seharusnya mereka menggaji kita lebih. Gaji kita sekarang tidak sepadan dengan resiko pekerjaan yang akan kita hadapi. Kalian tahu sendiri kan apa akibatnya jika terkena paparan virus itu?" ucap Anak Agung Ayu Maharani kesal. Tidak ada seorangpun yang menjawab pertanyaan itu. Mereka hanya bisa menarik napas melihat sikap keras kepala Anak Agung Ayu Maharani.

Dari kejauhan Ni Luh hanya bisa diam membisu. Menatap Anak Agung Ayu Maharani dengan tatapan penuh dendam.

"Kali ini kau akan menutup mulutmu. Selamanya." ucap Ni Luh dalam hati.

Di ruang kerjanya, Ni Luh bergegas mengepel lantai kamar mayat dengan desinfektan. Sebelum ia pulang, ia ingin membereskan ruangan itu agar steril kembali. Ia hanya sendiri. I Putu Arsa tidak nampak disana. Setelah ia mengambil seember air, ia mulai menyemprotkan cairan desinfektan ke lantai dan mengepelnya dengan kain basah. Kamar Mayat itu kini menjadi harum desinfektan. Setidaknya tidak pengap seperti sebelumnya.

Keanehan terjadi, Ni Luh mencium aroma tidak sedap saat mengepel lantai yang ada dibawah lemari bernomor 7. Ia berusaha mencari sumber aroma itu, tapi sayang tidak berhasil. Satu jam kemudian tibalah waktu pulang. Ni Luh mengemasi barang-barangnya. Mengganti seragam kerjanya dengan pakaian biasa. Sore ini ia tidak bergegas pulang ke rumah. Ada seseorang yang harus ia temui.

***

Seminggu kemudian,

RSUP Sanglah mendadak ramai. Dalam dua minggu sejak rumah sakit itu menerima PDP Korona pertama kali, jumlah pasien PDP Korona makin membengkak. Seluruh dokter dan perawat dikerahkan untuk menangani para pasien.

"Ni Luh, kepala perawat menyuruhmu untuk menangani pasien PDP. Ia menunggumu di ruangannya." ucap I Putu Arsa.

"Baik, aku akan segera kesana sekarang."

Ni Luh ditempatkan di tenda yang ada di halaman RSUP Sanglah. Setelah ia mengenakan hazmat, ia segera bergabung bersama perawat lain. Tugasnya adalah menerima kedatangan pasien PDP Korona. Mencatat identitasnya dan melaporkan kondisi tubuh pasien kepada dokter yang sedang bertugas.

Siang itu sangat panas. Dalam balutan hazmat, peluh Ni Luh bercucuran makin deras. Saat ia memeriksa kondisi pasien PDP Korona, tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang.

"Hai janda penggoda, ikut juga kau. Apakah stok mayat milikmu sudah habis?" ucap Anak Agung Ayu Maharani sinis. Ni Luh diam tidak membalas. Ia kembali meneruskan pekerjaannya.

Satu jam berlalu. Setelah ia menyelesaikan tugasnya dan membersihkan diri sesuai prosedur kesehatan, ia kembali ke ruang kerjanya. Ke kamar mayat. Ia terduduk diam di mejanya. Sesuatu memenuhi pikirannya. Ia teringat pesan Balian Badung itu.

"Carilah air mayat. Air yang keluar dari organ tubuh mayat yang membusuk. Campurkan air mayat itu dengan segelas air putih. Minumkan kepada calon korban yang kau incar. Lalu tunggulah 3 hari. Ia akan mati tepat di hari ketiga dengan mata memerah. Merah semerah darah."

Ucapan wanita balian itu terngiang jelas di kepalanya. Ni Luh membuka ponselnya. Membuka note miliknya. Membaca dua baris kalimat yang ia tahu benar cara melafalkannya. Kalimat berisi mantra Cetik Badung. Dengan tekad bulat, Ni Luh berniat untuk menjalankan aksinya. Melenyapkan Anak Agung Ayu Maharani.

Ni Luh memutar otaknya. Berusaha memikirkan cara untuk mendapatkan air mayat yang dimaksudkan si Balian. Tapi sayangnya otak Ni Luh tidak mampu diajak bekerjasama. Ia menyerah.

Seperti biasanya, sebelum pulang Ni Luh selalu mengepel lantai kamar mayat menggunakan desinfektan. Mulai dari pintu masuk, area tengah hingga seluruh ruangan. Namun kali ini Ni Luh merasa ingin muntah. Aroma tidak sedap menguar dari dalam. Saat ia mengepel lantai yang berada dibawah lemari bernomor 7, Ni Luh tidak sanggup menahan mualnya. Ia muntah.

Ia bergegas masuk kedalam kamar mandi. Membersihkan sisa muntahan dan mengambil seember air bersih. Lalu ia mengepel muntahannya dengan menggunakan desinfektan.

Saat mengepel, siku tangan kanannya tak sengaja menyentuh lemari penyimpanan mayat. Ni Luh merasakan sesuatu membasahi siku kanannya. Ia menoleh mencari sesuatu itu. Betapa kagetnya ia ketika melihat air menetes perlahan-lahan dari dalam lemari bernomor 7.

Ni Luh meletakkan kain pelnya. Ia mengambil kunci lemari itu dari laci meja kerjanya. Dengan pelan ia mulai membuka lemari bernomor 7 sambil menutup hidungnya dengan tangan kiri. Bukan rasa jijik yang ia lihat. Bukan rasa mual yang ia rasakan. Tapi rasa senang yang ia dapatkan.

            "Air mayat...." gumamnya.

***

Lima hari kemudian,

"Apa kau sudah mendengar kabar bahwa Anak Agung Ayu Maharani meninggal?" tanya I Putu Arsa saat baru datang pagi itu.

"Meninggal katamu?" ucap Ni Luh berpura-pura tidak mengerti.

"Iya benar. Ayu meninggal akibat virus Korona. Kepala perawat yang mengatakan hal itu kepadaku. I Nyoman Anggara juga mengatakan hal yang sama. Kebetulan ia sendiri yang memandikan jenazah Ayu."

"Apakah ia meninggal seperti halnya pasien ODP Korona lainnya?"

"Maksudmu apa? Kau aneh sekali. Tentu saja sama. Prosedur penanganannya juga sama. Tidak ada yang berbeda."

"Maksudku, apakah mata Ayu berwarna merah? Semerah darah?"

"Sebentar, biarkan aku berpikir dulu. Seingatku.... Oh iya kau benar. I Nyoman Anggara sempat mengatakan hal itu kepadaku. Saat memandikan jenazah Anak Agung Ayu Maharani, ia melihat mata wanita itu merah semerah darah. 

Namun ia tidak memedulikan hal itu. Ia menganggapnya sebagai pendarahan otak. Bahwa virus telah menyebar ke seluruh organ tubuhnya. Tapi mengapa kau menanyakan hal itu? Bukannya kau membenci dan tidak peduli dengan wanita itu?" tanya I Putu Arsa. Ni Luh diam.

Kebingungan menggelayuti pikiran Ni Luh. Bagaimana mungkin dalam waktu bersamaan hal itu terjadi? Di satu sisi ia merasa senang dendamnya terbalas. Tidak akan ada saksi yang menuduhnya bahwa sore itu ia telah meneteskan air mayat kedalam botol minuman milik Anak Agung Ayu Maharani.

Tidak ada seorangpun yang akan menghakimi perbuatannya karena telah mengirim santet Cetik Badung kepada Anak Agung Ayu Maharani. Tapi di satu sisi ia juga menyesal akan kematian tragis yang dialami oleh rekan kerjanya itu. Kematian akibat santet yang dikirimnya.

Untuk menghilangkan kekalutan pikirannya, siang itu ia kembali bergabung dengan tim medis lainnya di RSUP Sanglah. Ia bergegas menuju ruang ganti APD untuk mengganti seragam kerjanya dengan hazmat.

"Apakah hazmat nya sudah siap? Dimana aku harus mengambilnya?"

"Coba periksa lemari itu." perintah kepala perawat kepada Ni Luh.

"Yang ini?"

"Bukan, bukan yang itu. tapi hazmat di lemari atas. Hazmat yang kau pegang itu adalah milik Anak Agung Ayu Maharani yang dipakainya dua Minggu lalu. Kami belum sempat memusnahkannya. Taruh saja disitu. jangan lupa untuk menyemprotnya dengan desinfektan. Aku pergi dulu."

Ucapan kepala perawat itu semakin membuat Ni Luh penasaran. Setelah ia memakai hazmat miliknya, ia membuka hazmat milik Anak Agung Ayu Maharani. Hati nuraninya mengatakan bahwa ia harus membuka hazmat itu.

Betapa kagetnya Ni Luh saat melihat sebuah lubang sebesar 1 sentimeter di bagian bawah hazmat. Dengan bukti didepan matanya, Ni Luh berkali-kali mengucap syukur dan memohon ampun kepada Ida Sang Hyang Widhi.

"Terimakasih Dewa, bukan aku yang membunuh Ayu." gumam Ni Luh pelan dengan air mata menetes pelan. Air mata penyesalan atas percobaan pembunuhan kepada rekan kerjanya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun