Ni Luh meletakkan kain pelnya. Ia mengambil kunci lemari itu dari laci meja kerjanya. Dengan pelan ia mulai membuka lemari bernomor 7 sambil menutup hidungnya dengan tangan kiri. Bukan rasa jijik yang ia lihat. Bukan rasa mual yang ia rasakan. Tapi rasa senang yang ia dapatkan.
"Air mayat...." gumamnya.
***
Lima hari kemudian,
"Apa kau sudah mendengar kabar bahwa Anak Agung Ayu Maharani meninggal?" tanya I Putu Arsa saat baru datang pagi itu.
"Meninggal katamu?" ucap Ni Luh berpura-pura tidak mengerti.
"Iya benar. Ayu meninggal akibat virus Korona. Kepala perawat yang mengatakan hal itu kepadaku. I Nyoman Anggara juga mengatakan hal yang sama. Kebetulan ia sendiri yang memandikan jenazah Ayu."
"Apakah ia meninggal seperti halnya pasien ODP Korona lainnya?"
"Maksudmu apa? Kau aneh sekali. Tentu saja sama. Prosedur penanganannya juga sama. Tidak ada yang berbeda."
"Maksudku, apakah mata Ayu berwarna merah? Semerah darah?"
"Sebentar, biarkan aku berpikir dulu. Seingatku.... Oh iya kau benar. I Nyoman Anggara sempat mengatakan hal itu kepadaku. Saat memandikan jenazah Anak Agung Ayu Maharani, ia melihat mata wanita itu merah semerah darah.