"Oh dia..." balas teman Ayu singkat.
Ni Luh diam saja. Bukan ia tidak mengerti dan tidak mendengar ucapan Anak Agung Ayu Maharani, tapi ia berusaha meredam gejolak kemarahan di hatinya. Tak lama setelah menerima pesanannya, ia bergegas pergi meninggalkan Ayu dan teman-temannya. Hatinya hancur. Matanya merah. Kali ini ia tak kuasa menahan emosinya.
"Hei, kenapa Ni Luh? Ada apa denganmu?"
Ni Luh diam tidak menjawab. Ia menyodorkan segelas kopi pahit kepada I Putu Arsa. Suasana hening tercipta diantara mereka. tak lama kemudian Ni Luh mengambil selembar tisu.
"Apa ada yang salah jika aku ini seorang janda? Apa masih kurang hukuman yang kalian berikan kepadaku kemarin?" tanya Ni Luh sambil sesenggukan.
"Ni Luh? Ada apa? Kau kenapa? tanya I Putu Arsa kebingungan.
***
Minggu pertama bulan Februari, tepatnya pada hari ketiga piodalan, pemedek sudah datang untuk nangkil di Pura Silayukti. Pemedek pun harus menunggu giliran untuk bisa masuk pura dan melakukan persembahyangan. Suasana di hari ketiga itu tidak terlalu ramai seperti hari pertama kemarin. Oleh sebab itu atas saran dari I Putu Arsa, Ni Luh berangkat menuju Pura Silayukti di sore hari pada hari ketiga.
"Sepertinya kau harus banyak bersabar Ni Luh. Ida Sang Hyang Widhi sedang memberi cobaan kepadamu."
"Lalu aku harus bagaimana Bli?" tanya Ni Luh dengan mata berkaca-kaca.
"Pergilah ke daerah Karangasem. Aku dengar disana akan digelar piodalan Pura Silayukti. Kau bisa berdo'a disana. Semoga Ida Sang Hyang Widhi memberi petunjuk kepadamu."