Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hyderabad

7 Juli 2019   18:35 Diperbarui: 7 Juli 2019   18:44 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mughal, 1739

         Berita tentang naiknya pungutan pajak terdengar ke seluruh pelosok negeri. Rakyat melakukan protes besar-besaran. Mereka turun ke jalan untuk menolaknya. Penguasa tidak mau tahu. Mereka tetap bersikeras menjalankan sistem pungutan pajak tersebut. Tak terkecuali di Kota Hyderabad.

"Selamat Pangeran, keuangan pangeran kini mulai stabil kembali. Kita tidak akan kalah dengan para pejabat itu. Mereka tidak akan memandang sebelah mata terhadap Pangeran."

"Kau benar..." ucap Pangeran itu dengan senyum kemenangan di wajahnya.

***

Hyderabad, 1740

      Setahun telah berlalu. Waktu terasa berjalan cukup cepat. Usaha kerajinan mutiara keluarga Sagar mulai berkembang pesat. Sejak kenaikan pungutan pajak itu, pesanan demi pesanan mulai berdatangan dari para pejabat Kerajaan Mughal. Mereka memesan banyak mutiara untuk ornamen dinding dan atap masjid-masjid di Kerajaan Mughal. Dalam setahun terakhir, banyak pejabat Kerajaan Mughal hidup bermewah-mewahan. Mereka berlomba-lomba menunjukkan status kekayaan mereka dengan membangun masjid-masjid megah di Kota Mughal. Oleh sebab itu, banyak para pengrajin emas, perak dan mutiara dari Hyderabad yang makin sibuk melayani pesanan para pejabat  itu.

"Anakku, sebaiknya kau berhenti latihan menari. Bantulah ayahmu ini." ucap Hussain Sagar.

"Tapi Ayah, aku belum siap untuk menjalankan usaha keluarga kita. Aku masih ingin menari. Kelak aku ingin menjadi penari terhebat di kota ini. Terhebat dan tercantik." jawab Bahaar Begum polos sambil memeluk dan mencium kening ayahnya.

"Anak itu, kalau sudah kehendaknya memang sulit diatur." gumam Hussain sambil melihat putri semata wayangnya berlalu pergi. Setelah bayangan putrinya lenyap dibalik pintu, ia melanjutkan memoles mutiara putih di tangannya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun