“Selamat siang Nyonya, ada keperluan apakah Nyonya datang kemari?” sapa seorang lelaki paruh baya di halaman depan Al Khuraimat.
Lelaki itu berjubah putih panjang. Dililitkan di sekujur tubuhnya sebagai penutup badan. Menutupi bahu hingga ujung mata kakinya.
Badannya tidak terlalu tinggi dan agak gemuk. Ia dikenal sebagai seorang pendeta di Kota Hegra. Itu bisa dilihat dari kepalanya yang mulus tak berambut.
Pelan – pelan terdengar suara do’a dilantunkan.
“Pendeta, aku ingin memberikan persembahan domba ini untuk Dewi Allat. Adakah salah seorang pendeta yang bisa memimpin upacara persembahanku?” tanya Aairah sambil membuka penutup kepalanya hingga rambutnya yang panjang berwarna merah kecoklat – coklatan menjulur – julur tertiup angin padang pasir yang cukup kencang siang itu.
“Tentu ada Nyonya. Dan akan selalu ada. Karena kami disini adalah pelayan kuil yang selalu siap melakukan apapun untuk kepentingan Dewa.” jawab sang pendeta sambil menundukkan kepalanya.
Aairah memanggil pelayannya…
“Hamra, bawalah domba jantan itu kemari. Berikan kepada pendeta ini.” perintah Aairah.
“Baik Nyonya.” jawab Hamra sambil berjalan maju memberikan domba jantannya kepada pendeta.
“Oh ya, ini sedikit kurma hasil kebunku yang aku petik sendiri kemarin.” ucap Aairah sambil menyerahkan sebuah keranjang kecil kepada pendeta Al Khuraimat.
“Terimakasih Nyonya, semoga Dewa menerima persembahanmu ini dan segera mengabulkan keinginanmu.” ucap pendeta mendo’akan Aairah.