Masing – masing tenda itu berisi beberapa orang. Dua hingga lima orang untuk sebuah tenda. Mereka tinggal secara berkelompok.
Dalam satu kelompok selalu ada seorang wanita. Wanita itu bertugas mengurusi kebutuhan makan untuk kelompok mereka karena diantara mereka masih memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain.
Kehidupan seperti ini merupakan sebuah ciri khas Bangsa Nabataea yang tidak dimiliki bangsa lain di semenanjung Arab.
“Kemarilah, daging kambingnya telah matang.” ucap salah seorang lelaki muda.
“Ayo mari kita makan,” sahut yang lain.
“Ummi… Mana kopinya?”
“Iya, tunggu sebentar. Aku sedang memasak air. Kalian makanlah dulu.” sahut wanita paruh baya yang dipanggil dengan sebutan Ummi.
Setelah mendapatkan domba untuk persembahan kepada dewa, Aairah akhirnya sampai di Al Khuraimat. Sebuah tempat suci di Kota Hegra. Tempat itu berada di sebuah bukit batu besar. Dengan puncaknya yang mendatar.
Di tempat itu terdapat empat buah ruangan. Masing – masing ruangan memiliki sebuah pintu yang cukup tinggi. Setiap pintunya bermotifkan pahatan tiang rumah yang beratap segitiga.
Sedikit lebih keatas, terdapat pahatan berbentuk dua buah anak tangga yang menurun kebawah. Kedua anak tangga itu bertemu di satu titik tepat ditengah – tengah pintu rumah mereka.
Anak tangga itu melambangkan tempat tertinggi yang dihuni para dewa Bangsa Nabataea. Tempat yang kekal dan abadi.