“Oh, kalau begitu aku mau turun sebentar untuk mencuci mukaku. Hamra… Siapkan keperluanku.” perintah Aairah.
Dengan gerak cepat, pembawa kereta unta Aairah menarik tali kekang untanya. Empat ekor unta pun segera menghentikan langkahnya. Aairah pun keluar.
“Tolong kau urus unta – untaku ini. Beri mereka minum.” perintah Aairah.
“Baik Nyonya !” ucap pengawal Aairah.
Unta – unta rombongan Aairah segera diikatkan ke batu besar yang banyak terdapat di wilayah Al Djinn. Wilayah itu terkenal dengan gugusan batuan besarnya. Bukan batuan biasa, namun batu itu telah berada disana ribuan tahun lalu.
Batuan besar itu membentuk pahatan dewa – dewi Bangsa Nabataea. Yakni dewa dewi penjaga mata air. Bangsa Nabataea percaya, bahwa mata air itu akan selalu ada selama dijaga oleh mereka. Sehingga setiap tahun selalu diadakan pemujaan kepada dewa dewi itu.
Setelah keluar dari kereta untanya. Aairah berjalan sendiri. Tanpa dikawal oleh pelayannya. Karena ia ingin membersihkan badan dan menikmati sumber air disitu. ia tak ingin diganggu oleh siapapun.
Kemudian ia berjalan menuju salah satu sumber air di wilayah Al Djinn. Sambil membetulkan letak kerudung dan membersihkan debu yang menempel di jubahnya, Aairah berjalan pelan meninggalkan rombongannya.
Hingga sampailah ia di sebuah sumber air yang sangat jernih dan bersih. Dikelilingi oleh rimbunnya perdu gurun yang hijau. Lalu ia jongkok dan membasuh mukanya yang lusuh dan nampak lelah.
Ia membasuh muka dan lehernya. Kemudian kedua tangannya. Tubuhnya merasa segar kembali.
“Segar sekali air ini.” gumam Aairah dalam hati.