Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Susuk Mak Iyang

14 Mei 2016   11:50 Diperbarui: 14 Mei 2016   11:56 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
susuk source http://fjb.kaskus.co.id/product/52316a618127cf0c10000007/susuk-komplit-mega-bintang/

Petang itu mendadak suasana di Pekuburan Lengkong mendadak ricuh. Angin mendadak bertiup sangat kencang, disertai hujan gerimis yang cukup lebat. Kericuhan itu terjadi begitu mendadak di pekuburan, pasalnya ada seorang lelaki tua yang menggali makam salah satu penduduk yang dikeramatkan. Makam Mak Iyang. Wanita tua renta yang diduga meninggal di hari Jum’at Kliwon sebab ilmu hitam yang dianutnya.

Lelaki tua itu tidak memperdulikan kedatangan para penduduk kampung Lengkong yang mulai berdatangan karena mendengar ricuh di pemakaman. Tatapan para penduduk yang keheranan dibalik pohon pisang, suara berisik para wanita yang bergerumbul dibalik pohon randu tua yang tumbuh tinggi menjulang ditengah – tengah makam, suara ketakutan seorang penggembala domba yang bersembunyi di rimbun semak belukar setinggi pinggang orang dewasa yang bercampur baur dengan domba – domba yang tidak sempat dia beri makan rumput sejak sore tadi. Hingga wanita – wanita hamil tua yang tidak memperdulikan janinnya telah jatuh ke tanah akibat rasa ketakutan yang mencekam. Mereka semua terpaku dengan lelaki tua yang membongkar makam Mak Iyang. Makam yang dianggap penduduk desa sebagai makam keramat dan makam pembawa sial. Bahkan untuk menatapnya sekalipun mereka tidak berani. Sehingga selama berpuluh puluh tahun makam itu dibiarkan tak terawat. Rumput – rumput gajah bertumbuhan disekitar makam. Hingga membuatnya nyaris tak terlihat.

Semasa hidupnya, Mak Iyang terkenal sebagai dukun di desa Lengkong. Seorang dukun yang terkenal akan kesaktiannya dalam segala hal. Mulai urusan sakit penyakit, urusan jodoh, masalah bisnis yang seret hingga masalah menggaet pelanggan lelaki hidung belang agar datang lagi ke bilik – bilik kamar wanita pemuas yang bisa membuat malam yang dingin menjadi panas.

Sosok Mak Iyang sudah terkenal akan kemampuannya dalam dunia hitam. Urusan apapun itu telah berhasil ia selesaikan. Sehingga namanya cukup dikenal penduduk Lengkong dan bahkan luar kota.

“Mak… aku ingin mempunyai banyak pelanggan. Bisakah Mak membantuku?”

“Kamu punya berapa?”

“Lima ratus ribu Mak”

“Baiklah, masuklah kedalam kamar. Tanggalkan seluruh pakaianmu. Nanti aku menyusul kedalam” kata Mak Iyang kepada Sari, wanita paruh baya yang lumayan cantik parasnya.

Setelah tiga puluh menit berlalu, Sari keluar kamar dengan langkah terseok. Menahan rasa sakit di selangkangannya.

“Jangan lupa untuk membasuhnya dengan air kembang tujuh rupa selama tujuh hari tujuh malam pada waktu tengah malam, setelah itu kau bisa menggunakannya untuk menaklukkan para lelaki diatas ranjangmu. Membuatnya mendesah dan melenguh semalaman. Dan bahkan jika kau ingin, kau bisa membuatnya mati dalam pelukan terindahmu” jawab Mak Iyang setelah menggenggam uang di tangannya.

Perihal kesaktian Mak Iyang sudah tidak diragukan lagi. Sejak dia berangkat berguru pada salah seorang dukun sakti di puncak Gunung Lawu dan kembali setelah sekian tahun berada disana, Mak Iyang seakan – akan menjelma sebagai dewa. Dewa yang sanggup menyelesaikan segala permasalahan yang melilit manusia. Apapun itu.

Guru Mak Iyang adalah seorang guru yang sangat sakti di masanya. Wak Japri namanya. Saat dia masih muda, tepatnya saat penjajahan Jepang berlangsung di Indonesia. Guru Mak Iyang telah mendapatkan kesaktian dari orang pintar di masanya. Hingga membuat Wak Japri memiliki umur lebih dari dua abad. Saat kedatangan Mak Iyang untuk berguru kepadanya, saat itulah Wak Japri merasa bahwa Mak Iyang pantas untuk mewarisi ilmu yang dimilikinya. Sehingga tepat di hari terakhir Mak Iyang berguru, Wak Japri menghembuskan napas untuk terakhir kalinya. Tepat sesaat setelah ia memasangkan susuk di kening Mak Iyang.

“Aku akan menjaga wasiatmu ini guru, aku berjanji akan menjaganya baik – baik. Bahkan nyawaku sekalipun akan aku pertaruhkan” ucap Mak Iyang setelah selesai memendam jasad gurunya Wak Japri.

Kabar kematian Wak Japri terdengar oleh Wak Gending. Mendengar kematiannya, Wak Gending sangatlah senang. Kematian Wak Japri adalah anugerah terbesar untuknya. Karena akhirnya dia bisa menguasai seluruh ilmu yang dimiliki Wak Japri. Menyatukan ilmu hitamnya dengan ilmu Wak Japri. Melunaskan hasrat yang selama bertahun – tahun dia pendam. Pun membalaskan dendam akibat pengusiran yang dilakukan oleh Wak Japri kepadanya dua puluh tahun silam.

“Lebih baik kau pergi dari sini, aku tak ingin mewujudkan hasrat jahatmu itu” ucap Wak Japri sore itu didalam bilik kamar yang digunakan untuk bersemedi.

“Tapi guru, apa aku tak layak untuk mewarisi ilmumu? Apa kekuranganku guru?” jawab Wak Gending.

“Pergilah….” Ucap Wak Japri singkat setelah menatap tajam ke arah Wak Gending lalu kemudian menutup kedua matanya kembali.

Mata Wak Gending menyala merah. Menyiratkan amarah. Hanya satu orang yang ada di pikirannya saat itu. Mak Iyang. Adik seperguruannya dahulu.

“Aku harus mencari Mak Iyang. Harus….” Ucap Wak Gending dalam hati.

***

Selama berpuluh - puluh tahun tinggal di Desa Lengkong, Mak Iyang selalu hidup rukun dengan masyarakat sekitar. Meskipun mereka tahu bahwa Mak Iyang seorang dukun - yang bisa dibilang dukun sesat - masyarakat tetap menghormatinya sebagai orang tua yang dituakan di kampungnya. Bukan karena takut akan kesaktian Mak Iyang, namun mereka menghormatinya karena sikapnya yang selalu bisa menjaga hubungan baik dengan masyarakat disekitar. Dan tak jarang pula dia sering menolong tetangga yang membutuhkan bantuannya.

Pernah suatu ketika saat Mak Iyang berumur lima puluh tahun. Saat itu di Desa Lengkong sedang ramai – ramainya perlawanan terhadap pasukan Jepang yang masuk ke desa. Tiba – tiba ada seorang tentara sipil tertembak tepat di jantungnya. Yang kemudian segera dibawa ke rumah Mak Iyang untuk mendapatkan pertolongan. Tak butuh lama, tentara itupun sembuh. Darah berhenti mengalir dari jantungnya.

“Aneh sekali, tadi aku lihat banyak darah yang keluar dari dadanya, dan aku merasakan detak jantungnya mulai melambat. Aku yakin dia tak akan bisa tertolong lagi” kata Sartono, teman yang mengantar si tentara untuk berobat ke rumah Mak Iyang.

“Apa kamu yakin dengan ucapanmu itu?”

“Haqqul yakin. Aku berani bersumpah !” jawab Sartono menegaskan.

“Apa mungkin Mak Iyang menukar nyawa temanmu dengan nyawa orang lain?” tanya Gimin dengan mulut bergetar karena merinding.

“Ah ngawur kamu” balas Sartono.

Begitulah, sejak Mak Iyang berhasil menyembuhkan tentara itu, orang – orang beranggapan Mak Iyang memiliki ilmu menghidupkan orang mati. Entah bagaiamanapun cara yang ditempuh Mak Iyang, mereka tidak mau tahu. Bagi mereka, kehebatan Mak Iyang dalam menghidupkan orng mati telah berhasil membuat mereka percaya bahwa Mak Iyang adalah seorang dewa.

Kabar kehebatan Mak Iyang terendus juga oleh Wak Gending. Setelah penantiannya yang panjang selama puluhan tahun, bahkan melebihi dua kali lipat batas umur manusia pada umumnya. Wak Gending berhasil mengetahui keberadaan Mak Iyang.

“Rupanya kamu disitu…” ucap Wak Gending dengan senyum menyiratkan kemenangan.

“Sebentar lagi keinginanku akan terkabul….” Jawabnya singkat.

***

“Permisi….. Apakah Mak Iyang ada di dalam?”

“Iya…. Silakan masuk” jawab Mak Iyang yang terpaksa menyuruhnya masuk sendiri akibat penglihatannya yang mulai lamur akibat dimakan usia.

“Mak…. Bisakah Mak menolongku? Usahaku sedang sepi Mak, para lelaki hidung belang sudah jarang memakaiku. Aku ingin cantik Mak” jawab wanita paruh baya itu.

“Apa maumu….” Tanya Mak Iyang.

“Aku ingin memasang susuk pengasihan Mak”

Susuk?”

“Iya Mak”

“Apa kau sanggup menerima resikonya?”

“Apa Mak?”

“Jasadmu tidak akan diterima bumi, meskipun kamu sudah mati”

“Aku siap Mak, apapun akan aku lakukan demi terwujudnya keinginanku” jawab wanita paruh baya itu.

“Masuklah ke kamarku. Tanggalkan seluruh pakaianmu. Aku akan menyusulmu nanti” jawab Mak Iyang diikuti langkah wanita paruh baya menuju kamar Mak Iyang.

Di dalam kamar, wanita itu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Menyembunyikannya dibalik bantal diatas tempat tidur Mak Iyang. Dalam waktu singkat, semuanya kembali rapi seperti sedia kala. Mak Iyang pun berseru dari luar kamar.

“Apakah kau sudah siap Nak?”

“Sudah Mak, masuklah”

Mak Iyang pun mulai merapalkan mantra – mantranya. Mengurut tubuh si wanita. Memijit area wajahnya. Meniupnya dengan tiupan yang lembut lalu dilanjutkan merapalkan mantra kembali. Kesempatan itu tidak disia – siakan oleh si wanita. Dengan gerakan pelan, tangan kanannya meraih selembar daun kelor dari balik bantal tempat tidurnya. Tanpa diketahui Mak Iyang. Karena lampu dikamarnya cukup remang dan lagi penglihatan Mak Iyang mulai melamur dimakan usia.

“Mati kau Iyang….” teriak si wanita.

Benar juga, tanpa mengeluarkan sepatah kata, tubuh Mak Iyang terjerembab diatas lantai kamarnya. Sesaat setelah wanita itu mengusapkan daun kelor di dahinya. Mak Iyang pun mati. Tepat di malam Jum’at Kliwon.

***

Hujan terus saja turun diatas makam Mak Iyang. Orang – orang semakin dibuat penasaran bercampur takut melihat apa yang dilakukan oleh lelaki tua itu.

Tak butuh banyak alat, hanya menggunakan jari jemarinya, lelaki tua itu mulai menggali tanah makam Mak Iyang perlahan – lahan. Bukan berarti ia tak punya linggis dirumah, namun itu semua demi keberhasilan ritual yang sedang dijalaninya. Sementara itu, orang – orang yang sedari tadi asyik tenggelam dalam perbincangan mereka masing – masing, tidak ada yang berani mencegah lelaki tua itu. Maklum, lelaki tua yang sedang menggali makam Mak Iyang terkenal akan kesaktiannya. Lebih sakti dari wanita tua yang makamnya sedang ia gali.

Matahari mulai turun. Menyembunyikan sinarnya dibalik awan. Namun lelaki tua itu terus saja menggali tanah makam Mak Iyang tanpa memperdulikan keributan yang terjadi di sekitarnya. Tepat satu jam, lelaki tua itu berhasil mendapatkan tubuh Mak Iyang, meraih kain mori yang membalut mayat Mak Iyang. Mengangkatnya ke atas. Lalu merebahkan jasadnya disebelah nisan Mak Iyang.

Dengan napas yang sedikit mulai habis namun berusaha dikuat – kuatkan, lelaki tua itu mulai melepas tali pengikat kain mori Mak Iyang. Dilepasnya tali pengikat kepala, kemudian tali pengikat tubuh dan terakhir tali pengikat kaki. Usahanya tak membutuhkan banyak tenaga, maklum jasad Mak Iyang telah terkubur selama dua puluh lima tahun yang lalu. Sehingga cacing – cacing tanah mulai menggerogoti kain mori itu, kelabang – kelabang tanah mulai membuat lubang. Untuk tempat mencari kehangatan didalam tanah. Serangga – serangga tanah ikut pula berpesta pora menikmati jasad Mak Iyang. Namun keanehan terjadi, walaupun sudah terpendam selama dua puluh lima tahun dan dikerubung serangga – serangga tanah, jasad Mak Iyang tetap utuh.

Tanpa berpikir lama, lelaki tua itu segera mengeluarkan daun kelor dari saku celananya. Diiringi gerimis hujan membasahi tubuhnya, lelaki tua itu menempelkan daun kelor diatas dahi jasad Mak Iyang. Lalu merapalkan mantra – mantra seperti yang dilakukan kepada Mak Iyang dua puluh lima tahun lalu. Didalam kamar Mak Iyang.

Susukpun akhirnya tercabut dari dahi Mak Iyang. Ajaib, jasad Mak Iyang seketika itu langsung membusuk, menebarkan aroma anyir ke udara. Hingga yang tersisa hanyalah tulang belulangnya saja.

“Terimakasih Iyang, akhirnya setelah bertahun – tahun penantianku. Menunggu jasadmu disimpan bumi selama dua puluh lima tahun, akhirnya aku mendapatkan susuk ini” ucap lelaki tua itu, yang kemudian menghilang dalam gerimis hujan di petang menjelang malam sesaat setelah dia memasukkan susuk Mak Iyang kedalam dahinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun