“Sudahlah, besok Kangmas pergi saja ke sana. Tidak ada salahnya untuk mencoba.”
Selanjutnya, aku membaca berita demi berita dan tulisan-tulisan yang ada di surat kabar itu. Maklum, sedari pagi aku sudah pergi ke kantor residen, jadi belum sempat membaca koran hari ini. Sedangkan istriku duduk di sampingku sambil membaca majalah mingguan “Weekblad voor Indie”.
Aku merasa senang dan bangga kepada istriku. Ia sama sepertiku. Sangat gemar membaca. Bahkan, ia begitu antusias untuk mempelajari bahasa Belanda secara lebih mendalam. Sehingga berbagai buku atau majalah yang berbahasa Belanda, ia lahap semuanya. Belum lama ini, ia telah merampungkan sebuah buku berjudul “Door Duisternis tot Licht”, buku yang tersohor tentang hidupnya Raden Adjeng Kartini yang ditulis oleh Mr. van Deventer dan Mr. Abendanon hingga ia begitu bersemangat untuk memperjuangkan vrouwen-emancepatie.
Sementara aku sendiri gemar membaca buku-buku seputar pergerakan, yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme. Walau aku bekerja pada orang-orang Belanda, bukan berarti aku juga membela Belanda. Dalam bekerja aku memang taat dan setia. Tapi kalau sudah menyangkut martabat dan harga diri sebagai sebuah bangsa, aku merasa wajib membela dan berpihak pada bangsaku sendiri. Aku paling tidak suka tindak kezhaliman, ketidakadilan, pengkhianatan, atau bangsaku diremehkan dan dihina.
Aku juga sangat menggemari buku-buku karya Max Havelaar. Aku banyak sependapat dengan berbagai pemikirannya. Menurutku, tulisan-tulisannya banyak yang membela rakyat kecil dan orang-orang tertindas. ia bicara tentang keadilan, persamaan dan kebangkitan demi masa depan. Hingga orang-orang yang datang ke rumahku dan melihat rak-rak buku di ruang tamu, secara spontanitas sering berkata, “Zoo, ben jij een Multatuliaan?”[3].
***
Keesokan harinya, aku mendatangi kantor Departemen Financien di daerah Kota. sesampainya di depan pintu gerbang, aku disambut oleh seorang penjaga bertubuh tinggi-besar dan berkulit hitam dan banyak bulu di badannya, seperti ia berdarah Ambon. ia membuka gerbang perlahan. Belum sempat aku berkata-kata, orang itu dengan sangar dan kasar berkata, “Mau apa kemari, ada perlu apa?” bentaknya sembari berdiri dengan angkuh dan tangan kirinya diletakkan di pinggang.
Tanpa menjawab, aku mengulurkan potongan iklan yang aku bawa.
“Spreek je Hollandsch?”[4]
“Een beetje”.[5]