Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Aku meninggalkan Desa Klampok setelah setahun lamanya menjadi Mantri Tani menggantikan R. Soerja Adiwidjaja. Aku kembali ke Betawi, ke rumah mertuaku. Sebagai seorang werkeloos[1], hatiku gundah. Para bekas guru baik dari Mosvia Bandung maupun Sekolah Pertanian Bogor mengabarkan bahwa Residen van Batavia belum ada niatan untuk mengangkatku menjadi Bestuursambtenaar.
Setelah sekitar dua bulan lamanya menunggu, aku mendapat surat panggilan dari kantor residen untuk menghadap di kantornya. Sesampainya di kantor residen yang berada di kawasan Kota dan tak jauh dari Javasche Bank itu, aku diterima oleh sekretaris residen, seorang Belanda berusia muda yang berpangkat Controlleur. Sebagai seorang inlanders berpangkat rendah, aku harus duduk di lantai, walau dalam hati aku sangat membenci perlakuan seperti ini, membeda-bedakan antara orang Eropa dan orang pribumi atau orang yang berpangkat tinggi dengan yang berpangkat rendah.
“Apakah kamu menulis surat untuk Direktur Pertanian?” tanya sekretaris residen dalam bahasa Belanda.
“Ya”, jawabku singkat.
“Mengapa kamu tidak bekerja pada Dinas Pertanian?”
Pertanyaan itu cukup menyinggungku. Dengan nada emosi aku menjawab, “Saya tidak minta-minta pekerjaan, tapi saya minta keadilan dari pemerintah dan tidak seperti sekarang yang terjadi!”
“Bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu?” tanyanya sembari beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendekatiku.
“Teman sekolah saya yang keluar dari kelas 3 Mosvia sudah beberapa tahun ditempatkan sebagai asisten wedana, sedangkan saya yang keluar dari kelas 5 Mosvia dan keluar dari Sekolah Pertanian dan sudah bekerja sebagai mantri tani selama 1,5 tahun tidak dipekerjakan oleh Departemen Pamong Praja,” jawabku meledak-ledak.
“Siapa orang itu?” tanyanya sembari berdiri membelakangiku.
“Tuan Tirtaatmadja asisten wedana dari Plered anak bupati Cianjur.