“Kamu tidak bisa disamakan dengan anak seorang bupati!”, bentak sekretaris residen sembari membalikkan badan dan mengancungkan telunjuknya ke mukaku. Telingaku pedas mendengarnya. Mukaku merah nyala tak dapat menyembunyikan kemarahanku.
“Saya tidak minta supaya disamakan, tetapi saya minta perhatian Tuan akan Surat Edaran ini”, aku berkata tegas sambil mengulurkan selembar kertas kepadanya.
Sekretaris residen kembali duduk dan membaca dengan cermat surat itu. Sesaat suasana menjadi hening. Sembari menunggu reaksinya, aku mencoba mengatur napas dan menenangkan diri. Sementara itu, kulihat seorang oppasser keluar-masuk mengantarkan surat buat tuannya.
“Bagaimana kalau kamu untuk sementara kerja magang dulu di sini dengan gaji sepuluh gulden sebulan?” kata sekretaris residen dengan suara rendah dan sedikit melunak.
Aku berpikir sejenak. Sangat kecil gajinya. Sepertinya cukup untuk menghidupi keluargaku sekaligus biaya untuk naik trem. Tapi, daripada aku tidak punya pekerjaan sama sekali, apalagi harus hidup menumpang di rumah mertua, maka dengan sedikit terpaksa aku menganggukkan kepala.
***
Sepanjang perjalanan pulang dari kantor yang disebut orang sebagai “Kantor Bicara” itu, aku masih merasa kesal dengan perlakukan dan sikap sekretaris residen yang sangat angkuh dan tak menghargai orang lain tadi. Tiba-tiba aku teringat saat masih menjadi Mantri Tani di Desa Klampok dulu. Waktu itu, aku dan Tuan Controleur Ter Poorten baru pulang dari sawah memeriksa padi yang sedang menguning. Karena capainya, Tuan Ter Poorten duduk di kursi malas rumahku sembari kedua kakinya ditumpangkan di kedua lengan kursi itu. Seperti biasa, aku duduk di lantai. Mendadak ia berseru, “Trek mijn schoenen uit Wirja!”[2], sambil menunjuk ke arah sepatunya. Aku segera berdiri dan memanggil pembantuku untuk mengerjakannya.
“Mengapa kamu tidak mau melakukannya?” tanya Tuan dengan mimik terkejut dan tatapan aneh.
Dengan santai dan tenang aku menjawab, “Pekerjaan itu bukan pekerjaan buat seorang sepertiku”.
Ternyata, di kemudian hari, ketegasan sikapku itu membuahkan hasil. Tuan Ter Poorten tidak lagi meremehkanku, bahkan ia mulai bisa menghormati dan menghargaiku dan pekerjaanku.
Tapi, di kantor residen tadi, saat aku bertemu dengan sekretaris residen, aku belum berani membantah untuk tidak duduk di lantai. Walau sudah sejak lama aku ingin merubah adat kuno itu. Maklum, aku masih werkerloos. Sangat butuh pekerjaan.