***
Sesampainya di rumah mertua di kawasan Kwitang, aku langsung menemui istriku dan bercerita panjang lebar tentang kejadian di kantor residen. Walau dalam banyak hal, jalan pikiran istriku sejalan denganku, tapi dalam kasus tadi, ia sedikit menyalahkanku.
“Seharusnya Kangmas tidak perlu berdebat banyak dengan Tuan Sekretaris, apalagi sampai menentangnya. Kangmas kan sedang mencari kerja, tidak ada salahnya mengalah untuk sementara waktu”, katanya sembari kedua tangannya memijit-mijit bahuku.
Aku hanya diam. Aku tahu, dia sangat khawatir apabila aku sampai tidak mendapatkan pekerjaan. Ia tidak ingin melihatku gundah-gulana karena menganggur dan harus tinggal di rumah mertua. Tapi ia juga tahu, bagaimana sikap tegasku pada orang-orang Belanda sejak dulu kala. Walau aku bersekolah di sekolah Belanda dan bekerja pada mereka pula, bukan berarti aku hanya sumuhun dawuh pada mereka. Jika mereka berbuat tidak adil, sewenang-wenang, atau merugikan para pribumi, aku dengan tegas akan menentangnya. Bahkan, aku melakukannya secara terorganisir melalui berbagai organisasi, perkumpulan atau lewat tulisan-tulisanku. Tak jarang, aku sering berdebat dengan ambtenar-ambtenar Belanda maupun ambtenar-ambtenar pribumi.
“Oh ya, Kangmas. Aku punya informasi lowongan. Barangkali Kangmas berminat?” kata istriku membuyarkan lamunanku.
“Lowongan apa?” tanyaku datar.
Tanpa menjawab, istriku bergegas ke ruang depan dan mengambil surat kabar Tamansari yang berbahasa Melayu. Lalu, ia membuka lembar demi lembar koran itu, hingga sampai pada halaman tertentu.
“Ini lihat, baca saja sendiri!”
DEPARTEMEN FINANCIEN MEMBUTUHKAN SEORANG CLERK DENGAN GAJI TIGA PULUH GULDEN SEBULAN.
Aku senang membaca lowongan ini dan berniat untuk mecoba melamar.
“Tapi apa aku layak mendapat gaji sebesar itu?”