Mohon tunggu...
FEMILYATI
FEMILYATI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca buku, cerita dn humoris, suka flm komedi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

G30S dan Kejahatan Negara

11 Juni 2024   12:19 Diperbarui: 11 Juni 2024   12:33 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

G30S dan Kejahatan Negara

Penerbit:Ultimus

Pengarang: Siauw Giok Tjhan

Halaman:260

G30S dan Kejahatan Negara
Siauw Giok Tjhan - Nama Orang; Siauw Tiong Djin - Nama Orang;
Yang paling menarik perhatian tul adalah komitmen Bung Siauw terhadap rule of law.  Tulisannya bersandar atas Indonesia sebagai negara hukum. Sekilas, hal ini tidak memerlukan sorotan apa-apa. Penegakan hukum sering dianggap sebagai topik yang membosankan dan kuno, sesuatu yang sebenarnya lebih baik dibahas oleh orang-orang konservatif yang berhubungan dengan kegiatan hukum dan ketertiban. Akan tetapi dalam konteks Indonesia di mana penegakan hukum merupakan pengecualian, ia adalah sebuah masalah yang penting dan mendesak.

Pak Siauw selama dalam penjara menjadi ilmuwan sosial, mewawancarai berbagai tahanan dan melakukan analisa sekitar Peristiwa G30S. Catatan-catatan, kumpulan cerita yang didapatkan Pak Siauw dalam penjara Salemba, RTM, dan Nirbaya dari wawancara dengan para tahanan di situ, ternyata menjadi bahan dasar dari tulisan John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal.

 Karena catatan-catatan dan cerita-cerita dari percakapan para tahanan yang diwawancarai itu merupakan bahan yang lengkap dan meyakinkan, mengungkap banyak hal, termasuk Biro Khusus, siapa saja yang berperan di situ.Penghancuran ini melibatkan pengejaran, penangkapan, dan pembunuhan massal. Lebih dari sejuta orang yang dianggap menganut paham komunisme dibunuh secara kejam. Sekitar 500ribu orang ditahan. 

Puluhan ribu di antaranya ditahan belasan tahun tanpa proses hukum. Sebelas ribu di antaranya dibuang ke PulauBuru. Di samping itu, jutaan orang yang dianggap berhaluan politik kiri mengalami persekusi yang resmi dilaksanakan oleh negara belasan tahun. Dipecat dari pekerjaan, tidak bisa memperoleh pekerjaan lain, diusir dari tempat kediaman, anakanak mereka tidak bisa memperoleh pendidikan yang baik. Mereka didiskriminasi dan diasingkan dari masyarakat dan hidup sebagai elemen yang membahayakan masyarakat.  

Siauw Giok Tjhan memimpin Baperki melawan rasisme dan mencanangkan konsep integrasi wajar. Ia mengajak komunitasTionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan menjadi patriot Indonesia tanpa menanggalkan latar belakang etnisitas. Harapannya adalah komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku Indonesia.  Menjelang akhir zaman demokrasi terpimpin (1959---1965), polarisasi politik di Indonesia kian meruncing. Kelompok berhaluan kiri dipimpin oleh PKI. Kelompok berhaluan kanan dipimpin oleh Angkatan Darat. 

Presiden Soekarno cenderung mendukung kelompok kiri. Siauw dan Baperki bersikap mendukung Soekarno. Karena Soekarno cenderung berhaluan kiri, dengan sendirinya Siauw membawa Baperki ke perahu Soekarno yang bertentangan dengan partaipartai politik berhaluan kanan dan Angkatan Darat.  

Pengejaran, penangkapan, dan pembunuhan yang dilaksanakan oleh Soeharto turut menghancurkan Baperki dan banyak anggotanya di berbagai daerah menjadi korban. Siauw Giok Tjhan mendorong pimpinan Baperki untuk tidak melarikan diri dan Respublica, universitas yang dikelola dan diasuh oleh Baperki---Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.  Siauw Giok Tjhan adalah korban kejahatan negara yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. 

Sebelum Peristiwa G30S, ia adalah Ketua Umum Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), anggota DPRGR, MPRS, DPA, Dewan Harian Angkatan 4 permainan catur harus dihentikan dan ia segera menyalakan radio mencari berita. Tidak lama kemudian ia bergegas meninggalkan rumah. 

Dan baru kembali ke rumah pada malam hari. Ia tampak muram dan ketika berbicara dengan ibu, saya dengar ia menyatakan, "Keadaan gawat. G30S sudah ditumpas oleh Angkatan Darat. Pasti akan ada perubahan politik yang merugikan kita semua...."  Tentunya 

sekarang mudah untuk disimak bahwa yang dihadapi oleh Siauw Giok Tjhan pada hari itu adalah Peristiwa G30S, yang oleh pemerintah Soeharto ditambahi predikat PKI menjadi G30S/PKI sebagai manifestasi tuduhan pemerintah Soeharto bahwa PKI terlibat bahkan mendalangi G30S. 

Siauw Giok Tjhan ternyata masuk dalam Dewan Revolusi yang dibentuk oleh G30S. Sebuah dewan yang tidak sempat bersidang karena G30S keburu ditumpas oleh Jenderal Soeharto. Sejak tanggal 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto dengan dalih menumpas G30S, melaksanakan kejahatan negara yang mungkin terburuk setelah Perang Dunia II. 

Penghancuran yang dilaksanakan oleh penguasa militer secara sistematik terhadap PKI, organisasi yang resmi dan merupakan salah satu pilar kebijakan politik negara yaitu Nasakom sebelum 30 September 1965. x | Siauw Giok Tjhan --- G30S dan Kejahatan Negara

melindungi para anggotanya. Mereka berupaya sekuat tenaga membersihkan nama Baperki dari semua tuduhan penguasa militer. Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Universitas Respublica di Jakarta diserbu dan dibakar oleh massa yang didukung oleh militer. Pada tanggal 4 November, Siauw Giok Tjhan ditahan dengan dalih "diamankan" dari masyarakat. Pada bulan Maret 1966, ia dipecat "dengan hormat" dari DPR, MPRS, dan DPA. 

Sejak November 1965 hingga Agustus 1978, Siauw Giok Tjhan tercatat sebagai seorang tahanan politik (tapol). Ia resmi di "bebaskan" dengan predikat "ET"---ekstapol pada tahun 1978. Ia ditahan di berbagai penjara di Jakarta. Dimulai dengan penahanan sementara di Lapangan Banteng dan kompleks Unra (Universitas Rakyat) dari November 1965 hingga Juli 1966. Di penjara Salemba dari Juli 1966 hingga November 1969. 

Di tahanan Satgas, November 1969 hingga Februari 1970. Di penjara RTM (Rumah Tahanan Militer), Februari 1970 hingga Desember 1972. Di penjara Nirbaya, Desember 1972 hingga November 1973. Di penjara Salemba, November 1973 hingga Oktober 1975. Tahanan rumah, Oktober 1975 hingga Agustus 1978. 

Di berbagai tahanan inilah ia bertemu dan berdiskusi dengan banyak tokoh politik dan militer yang langsung dan tidak langsung terlibat dalam Peristiwa G30S. Ia berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai lapisan, sipil maupun militer. Dari tokohtokoh utama seperti KSAU Omar Dhani, 

tentara yang ikut dalam operasi penculikan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Ia juga berkesempatan berdiskusi dengan para tokoh yang memimpin operasi Blitar Selatan, di antaranya Munir dan Ruslan.  Diskusidiskusi dengan para pelaku sejarah dari berbagai tingkat dan aliran ini mendorongnya menulis beberapa catatan

berbentuk analisa tentang G30S, kesalahan dan kecerobohan yang dilakukan oleh pimpinan PKI, setelah ia keluar dari penjara.  Ketika ia diizinkan oleh Adam Malik, pada waktu itu wakil presiden, untuk berobat ke Negeri Belanda pada tahun 1978, ia pun sering berbicara dengan para teman dan mahasiswa di Eropa. 

Sebagian dari pembicaraanpembicaraan ini direkam.  Catatancatatan Siauw sebenarnya disebar secara terbatas di antara para temannya pada tahun 1978. Jadi, sebelum banyak tulisan tentang G30S terbit. Siauw Giok Tjhan menyimpulkan bahwa PKI secara organisasi tidak terlibat dalam G30S. 

Dan dari berbagai kenyataan yang ia amati, Soeharto memainkan peranan penting dalam peristiwa yang kemudian menjadi dasar dari kejahatan negara yang dilaksanakan secara sistematik belasan tahun. Saya menggunakan kesempatan ini untuk menyatakan terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan para saudara saya, terutama kakak saya, Siauw Tiong Tjing yang telah dengan rajin dan penuh dedikasi mengubah banyak bahan tertulis Siauw Giok Tjhan ke dalam format yang mempermudah upaya penyuntingan.  Catatan Penyunting | xiii organisasiorganisasi nasional, tidak masuk ke dalam organisasi yang bersandar atas etnisitas seperti Baperki. 

Akan tetapi saya tahu bahwa Oom Oey sangat menghormati Bung Siauw dan mengerti alasan sejarah pembentukan Baperki. Ia sangat antusias menerbitkan tulisantulisan Bung Siauw dan tulisantulisan tentangnya.  Beberapa saat kemudian, di rumah saya yang terletak di Jakarta Timur, saya membaca esaiesai Bung Siauw tersebut. 

Saya kagumi kejelasan penuturannya. Esaiesai tersebut merupakan sebuah teladan karena merefleksikan pemikiran yang analitis, bahkan berani menyentuh topiktopik sensitif, seperti mengapa PKI tidak melakukan perlawanan terhadap serangan dan penghancuran yang dilakukan oleh Angkatan Darat. 

Banyak orang tentunya tidak akan mengira bahwa seorang korban kekerasan seperti Bung Siauw, dipenjarakan selama 12 tahun sebagai seorang tahanan politik, telah mengalami kelaparan dan menyaksikan para kawan setahanan meninggal di sekitarnya, masih memiliki kemampuan untuk menulis sebuah analisa mendalam.  

Dalam mempersembahkan sebuah argumentasi, ia nyatakan sumber bahan yang ia gunakan dan dengan penuh kerendahan hati ia tandaskan, untuk beberapa butir pandangan, ia memang tidak memiliki informasi yang lengkap. Tidak ada pengakuan yang dibuatbuat, tidak ada penuturan yang tidak berdasar buktibukti kuat dan tidak ada upaya menjelekjelekkan orang lain. 

Orang yang membaca tulisantulisan ini akan memperoleh kesan bahwa Bung Siauw adalah seorang pengamat, bukan seorang korban. Ia tidak pernah menggambarkan penderitaannya sendiri. Salah satu esai ditulis tentang Gerakan 30 September (G30S). Ia menggambarkannya sebagai: "catatancatatan berdasarkan ingatan apa yang telah didengar, diperbincangkan di dalam tahanan tanpa ada maksud untuk menyinggung perasaan siapa pun dan diajukan secara tulus dan sejujurjujurnya." Dari tulisan ini, saya mengerti mengapa ia sangat dihormati di dalam gerakan progresif dan sangat disegani oleh para tokoh militer kanan.  

Ia benarbenar jujur. Ia dengan sangat tulus dan rendah hati mendengarkan apa yang para tapol tuturkan mengenai G30S dan setelah itu dengan kritis mengevaluasi penuturan mereka. Ia pun sangat rajin. Ia kumpulkan begitu banyak informasi yang berbeda tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan G30S. Saya belum pernah menemukan mantan tapol lain yang pernah mengeluarkan sebuah analisa tentang kejadian 30 September sedemikian komprehensif, teliti dan lengkap.  

Dari kesemuanya ini saya kemudian mengerti kenapa ia dipilih sebagai Ketua Baperki pada tahun 50an. Ia sangat terbuka dan mampu berdialog secara tenang dan mantap dengan orangorang yang memiliki orientasi politik yang berbeda dengannya tanpa mengkompromikan pendapatpendapatnya.  Dalam esai ini, saya akan memusatkan perhatian ke tulisan Bung Siauw pada tahun 1978 tentang G30S, dan tentang tuntutannya yang ditulis pada tahun 1979, membawa Soeharto ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan semua kejahatannya. 

2Keduanya ditulis setelah ia bebas dari tahanan dan ketika ia berobat di Negeri Belanda.  Di dalam esai pertama, Bung Siauw menyatakan bahwa ia ingin menyebarluaskan informasi yang ia peroleh dari tahanan tentang hancurnya PKI. Ia ingin membantu para pelarian politik di Eropa dan para kawan sepengorbanan di Indonesia, untuk mengerti, apa yang menyebabkan Angkatan Darat yang dipimpin oleh Soeharto menjadikan mereka---yang tidak tahumenahu tentang G30S--- kelompok orang yang bersalah. 

2 Bung Siauw menggunakan dua nama pena: Sukidjan, "Berbagai Catatan dari Berbagai Macam Cerita yang Dikumpulkan dalam Percakapan2 dengan Berbagai Teman Tahanan di Salemba, Rumah Tahanan Chusus, dan Nirbaya" (November 1978); Sigit, "'The Smiling General' Harus Dituntut di Depan Mahkmah" (Agustus 1979). 

Di esai kedua, ia menulis sebuah tuntutan disertai informasi dan argumentasi untuk membawa Soeharto ke pengadilan, bilamana situasi politik memungkinkan, baik di pengadilan Indonesia maupun pengadilan internasional.  Yang paling menarik perhatian saya dari tulisantulisan ini adalah komitmen Bung Siauw terhadap rule of law. Tulisannya bersandar atas Indonesia sebagai negara hukum. Sekilas, hal ini tidak 

menegakan hukum sering dianggap sebagai topik yang membosankan dan kuno, sesuatu yang sebenarnya lebih baik dibahas oleh orangorang konservatif yang berhubungan dengan kegiatan hukum dan ketertiban. Akan tetapi dalam konteks Indonesia di mana penegakan hukum merupakan pengecualian, ia adalah sebuah masalah yang penting dan mendesak. Sejak kemerdekaan dan Republik Indonesia diterima sebagai negara merdeka oleh dunia internasional pada tahun 1949, sebagian besar masanya, 1959 hingga 1998, Indonesia berada di bawah kekuasaan berbagai pemerintah yang melanggar prinsip rule of law. Pada umumnya orangorang komunis dan antikomunis tidak terlalu memperhatikan masalah penegakan hukum. Tulisantulisan tentang tragedi 1965---1966, contohnya, ditekankan sebagai pertikaian politik, seolaholah tragedi itu adalah sematamata akibat pertikaian antara PKI dan Angkatan Darat. Padahal, sementara pengamat menyatakan bahwa yang berlaku pada masa itu adalah hukum rimba.  Kiranya sulit di masa kini untuk menghargai citacita para nasionalis sebelum "kemunduran demokrasi konstitusional" (seperti yang dinyatakan oleh Herb Feith) pada akhir tahun 1950an. Tulisantulisan Bung Siauw menyegarkan ingatan kita tentang citacita ini. Bung Siauw mengingatkan kita tentang apa yang diperjuangkan oleh para nasionalis yang teguh berprinsip dalam melawan ar | xxiii Akan tetapi akhirnya mereka sadar dan menanggulangi masalah penegakan hukum yang sangat dibutuhkan Indonesia. Perubahan perubahan yang dicapai bersandar atas pasalpasal yang ada dalam UUD Sementara 1950.  Bung Siauw bertanya, mengapa Indonesia gagal menjadi negara hukum yang diidamkan oleh para pendirinya? Jawaban atas pertanyaan ini adalah satu kata: tentara. Konflik di dalam tubuh Angkatan Darat telah mencegah dikuasainya negara oleh kekuatan sipil dan gagalnya negara bersandar atas rule of law. Tentaratentara Indonesia kerap bertempur menghantam satu sama lain: Peristiwa Madiun pada tahun 1948; pemberontakan PRRIPermesta pada tahun 1957---1960; G30S pada tahun 1965. Perwiraperwira Angkatan Darat juga kerap menentang upaya Presiden dan parlemen untuk mempengaruhi Angkatan Darat: Kejadian 1952; Kejadian Bambang Utoyo 1955, dan pembangkangan terselubung Angkatan Darat di masa Konfrontasi (1963---1966). Walaupun saya menganggap Soekarno dan demokrasi terpimpinnya bertanggung jawab atas pelanggaran prinsip negara hukum, saya bisa mengerti mengapa Bung Siauw tidak menyalahkan Soekarno. Banyak politikus progresif seperti Bung Siauw mengenalnya secara pribadi dan menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang jujur, memiliki maksud baik dan terhormat. Mereka juga melihat bahwa Soekarno, dalam merumuskan berbagai kebijakan mengikuti prinsipprinsip HAM, walaupun ia tidak merealisasi kebijakankebijakan ini dengan prosedurprosedur hukum yang kuat dan berpengaruh. Contohnya, Siauw menyatakan bahwa Soekarno tidak melakukan penangkapan dan pembunuhan massal ketika menindas pemberontakan PRRIPermesta dan tidak menganggap orangoranng yang pernah memberontak terhadap pemerintah sebagai pengkhianat bangsa. Soekarno tidak menahan semua anggota.

Masyumi dan PSI walaupun pimpinan partaipartai tersebut terlibat dalam PRRIPermesta. Dan mereka yang ditahan kemudian diampuni dan dibebaskan. Soekarno tidak memerintahkan eksekusi terhadap mereka yang memberontak: "Dan ingat, Presiden Soekarno tidak pernah mencabut atau membatalkan secara sepihak pensiun yang mereka berhak menerimanya sebagai bekas menteri, sebagai anggota DPR!"  Ini tentunya bertolak belakang dengan tindakan Soeharto dalam membasmi G30S. Sebenarnya G30S bukan sebuah gerakan. Ia tidak berbentuk gerakan pemberontakan sekaliber PRRIPermesta. Akan tetapi Soeharto menggunakan dalih pemberontakan G30S sebagai alasan untuk melakukan penangkapan dan pembantaian dalam skala yang sangat besar. Mengingat kelaliman Soeharto, mudah dimengerti mengapa para korbannya tidak bisa menyalahkan Soekarno. Walaupun Dekrit 1959 bisa dikatakan sebagai upaya darurat untuk menanggulangi sebuah krisis, kiranya sulit memaafkan Soekarno yang gagal menghentikan sistem yang bersandar atas 

kekuasaan mutlak seseorang. Soekarno tidak memiliki komitmen untuk memulihkan penegakan hukum dan demokrasi. Dan tidak adanya harapan bahwa karakter demokrasi terpimpin yang berkepanjangan ini akan berakhir dan telah mendorong PKI dan Angkatan Darat untuk mencari jalan keluarnya masingmasing.   Pimpinan Angkatan Darat dan PKI sejak awal tahun 1965 saling ragu apakah mengambil langkah mendahului penyerangan terhadap satu sama lain. Dokumendokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat jelas menunjukkan bahwa para jenderal Angkatan Darat terusmenerus berhubungan dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan memutuskan untuk menunggu PKI mengambil langkah terlebih dahulu. Para jenderal tersebut tidak ingin melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, karena ia sangat populer. Mereka berpendirian sebaiknya menunggu adanya alasan untuk menghantam PKI dan secara berangsur menyingkirkan Presiden Soekarno. Dan dalam waktu bersamaan, tetap menunjukkan kesetiaan terhadap Soekarno. Gerakan 30 September adalah alasan yang mereka nantikan. Bung Siauw menyatakan: "Yang jelas sekarang ini, G30S ternyata dijadikan alasan oleh Angkatan Darat untuk menghancurkan PKI." Bung Siauw menyadari bahwa Aidit dan beberapa pimpinan top PKI terlibat dalam G30S. Akan tetapi, ia tidak habis pikir bagaimana mereka ini terlibat dan mengapa mereka terlibat. Selama ia di penjara, ia berkesempatan berbicara dengan beberapa pimpinan dan anggota PKI yang terlibat, seperti Kusno, asisten pribadi Aidit, Mohamad Munir, anggota Politbiro PKI. Walaupun mereka tidak memiliki informasi yang lengkap, tetapi dari pembicaraan ini Bung Siauw bisa menyimpulkan bahwa yang paling berperan dalam pengaturan G30S adalah seorang yang bernama Sjam: "Dan dari kenyataankenyataan yang terjadi sekitar G30S, kita bisa melihat bahwa yang memainkan peranan menentukan dan sebagai 'memimpin' G30S adalah Sjam, dan jelas Sjam tidaklah identik dengan pimpinan PKI, karena Sjam bukanlah orang yang bisa bertindak mewakili PKI berdasarkan Anggaran Dasar PKI." Sjam memainkan peranan sebagai Ketua Biro Khusus yang "merupakan alat dari Ketua CC PKI D.N. Aidit." Dari Kusno, Bung Siauw mengetahui bahwa Aidit berada di Halim pada hari pelaksanaan G30S dan terbang ke Jawa Tengah pada malam harinya dengan pesawat Angkatan Udara. Dalam buku saya Dalih Pembunuhan Massal, saya mencoba untuk meneruskanbanalisa Bung Siauw tentang peran yang dimainkan oleh Sjam dan Biro Khusus dalam G30S dan kaitannya dengan hubungan antara Aidit dengan para perwira yang oleh PKI dinyatakan sebagai "perwira yang progresif dan revolusioner". Bung Siauw tidak bisa mengerti dan menerima bagaimana orang yang tidak banyak diketahui ini bisa secara tibatiba muncul

berperan sebagai seorang "kingmaker". Sjam, yang pernah bersama Bung Siauw berada di penjara di Jakarta pada tahun 60an,dianggapnya sebagai seorang misterius.Informasi yang ia peroleh tentang diri Sjam selama di tahanan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kesetiaan terhadap partai,bahkan sering mengkhianati para anggota partai: "Benarbenar satu mentalitet yang merusak nama baik komunis. Bagaimana bisa terjadiseorang tokoh PKI seperti Sjam itu yang memegang peranan begitu pentingnya! Martabat yang sedikit pun tidak ada bau komunisnya."Bung Siauw tidak tahu apakah Aidit dikelabui Sjam untuk terlibat dalam G30S atau apakah Aidit bekerja sama dengan Sjam dalam mengkoordinasikan G30S. Bung Siauw curiga bahwa Sjam adalah agen antikomunis yang menyelundup ke dalam PKI untuk menghancurkannya. Akan tetapi ia heran, kalau benar begitu,mengapa Sjam bisa dipercaya penuh oleh Aidit untuk memimpin sebuah lembaga---Biro Khusus---yang demikian pentingnya,sehingga Aidit bersedia diperintah oleh Sjam di hari aksi tersebut.Situasi ini menurutnya aneh.Walaupun peran apa yang Aidit mainkan dalam G30S tetap tidak jelas, tetapi ia bukan seorang yang begitu bodoh untuk bis dikelabui oleh Sjam berada di Halim sehingga PKI bisa disalahkan dalam 

melakukan aksi yang direncanakan untuk gagal. Beberapa minggu sebelum G30S, Aidit telah bekerja sama dengan Sjam untuk mengatur serangan mendadak terhadap jenderaljenderal kanan yang antikomunis. Transkripsi pembicaraan Aidit dengan Mao di Beijing pada tanggal 5 Agustus 1965 membuktikan bahwa Aidit tahu persis rencana untuk G30S. Aidit menjelaskan ke Mao bahwa personil tentara yang proPKI akan melakukan aksi untuk menyingkirkan perwira kanan dan mendirikan dewan yang kelihatannya netral. Dua bulan sebelum G30S Aidit bisa menggambarkan secara detail apa yang akan dilakukan dan kenapa.  

 

Komando G30S dan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Untung ternyata adalah sebuah jembatan untuk melakukan perombakan susunan negara yang radikal. G30S adalah sebuah gerakan yang akan mengenyahkan jenderaljenderal Angkatan Darat kanan dan mempertahankan kedudukan Presiden Soekarno.Rencananya adalah menghindari pertentangan dengan kekuatankekuatan yang terhimpun dalam Front Nasional.Akan tetapi rencana ini sebenarnya mengundang kegagalan.G30S tidak bisa menyatakan menyelamatkan Presiden Soekarno dan pada waktu bersamaan mengganti kabinet yang sah dengan DewanRevolusi, apalagi kalau Soekarno tidak berperan dalam pemilihan kabinet dan tidak lagi berfungsi sebagai Presiden de facto. Bung Siauw dengan panjang lebar menggambarkan bagaimana pengumuman tentang Dewan Revolusi dan komposisinya telah mendorong kekuatan netral untuk turut menyerang PKI.  Tentunya sulit untuk membantah argumentasi Bung Siauw bahwa kekuatan antikomunis internasional turut memasang jebakan untuk PKI pada tahun 1965 dan bahwa: "PKI kurang kewaspadaan sehingga masuk dalam jebakan ini." Menurut analisis di buku Dalih Pembunuhan Massal, Sjam tidak bekerja untuk organisasi di luar PKI, apakah itu CIA atau KGB atau Angkatan Darat yang menginginkan kehancuran PKI. Kesalahan utama Sjamadalah kecerobohan dan ketidakmampuannya dalam merencanakan dan memimpin gerakan, bukan karena ia adalah seorang agen berganda dan pengkhianat.Dari bahanbahan Amerika Serikat yang sudah dideklasifikasi kita tahu bahwa Amerika Serikat bersama para jenderal Angkatan Darat giat memprovokasi PKI untuk mengambil langkah mendahului; mereka menantikan adanya kejadian yang bisadijadikan alasan untuk menyalahkan PKI. Aidit ternyata merasa ada dasar untuk mengambil tindakan mendahului dan yakin bahwa

akan mencapai kemenangan, sehingga ia masuk ke dalam perangkap.  Dalam mempertimbangkan keganasan serangan terhadap para anggota PKI setelah G30S, Bung Siauw tidak segan mengkritik pimpinan PKI. Ia mempertanyakan apa yang menjadi pertanyaannbanyak orang. Mengapa PKI tidak berbuat apaapa untuk melawan serangan ganas ini? Jawaban Bung Siauw adalah, PKI telah menjadi sebuah partai yang hanya menerima perintah dari atas. Setelah 1Oktober 1965, Aidit bersembunyi di Jawa Tengah dan Politbironterceraiberai. Instruksi Aidit adalah menunggu Presiden Soekarnonuntuk mendapatkan jalan keluar. Sebuah instruksi untuk tidaknmelawan demi kedamaian.  Dalam menghadapi penghancuran yang tidak dapat dicegah oleh Soekarno, pimpinan PKI ternyata tidak mampu mengubah strategi dan mengorganisasi perlawanan: "Apa yang dilakukan selanjutnya oleh Aidit di Jawa Tengah, tidak ada kejelasan ... dalam kehidupan dikejarkejar, Aidit ternyata tidak dapat melaksanakan pimpinan sebagaimana yang diharapkan sebagai Ketua PKI."  Bung Siauw menyadari pada tahun 1970an bahwa dalam menghadapi kediktatoran Soeharto, Indonesia harus kembali ke dasardasar negara hukum dan hak rakyat: "Merasakan perlunya ditegakkan kembali prinsip 'rule of law', ditegakkannya prinsip 'presumption of innocence' (hak untuk diperlakukan sebagai 

manusia'tidak berdosa' sebelum dibuktikan oleh pengadilan yang tidak memihak), ditegakkannya prinsip 'fair trial' (pemeriksaan perkara secara adil oleh pengadilan yang tidak memihak), dan diindahkannya Pernyataan Sedunia tentang HakHak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)."Dengan cerdas dan tepat Bung Siauw berargumentasi bahwa salah satu sila Pancasila,sila perikemanusiaan,harus diinterpretasikan sesuai dengan Pernyataan PBB tentang HAM 1948 Universal Declaration of Human Rights (UDHR): "Jadi, sila

perikemanusiaan yang adil dan beradab tidak bisa lain adalah hakasasi manusia seperti yang diakui umat manusia sedunia dan harus dilaksanakan secara konsekuen tanpa kecuali."  Setelah hampir setiap negara telah mengakui UDHR, tidak ada dokumen lain yang lebih baik dalam memformulasikan citacitaumum untuk seluruh penduduk dunia. Indonesia tentunya tidak bisa menjunjung tinggi Pancasila selama ia melanggar HAM. Selama Soeharto berkuasa, rakyat Indonesia dipaksa untuk menerima Pancasila tanpa menyadari adanya UDHR dan adanya rentetan perjanjian tentang HAM yang telah disetujui setelah tahun 1948.Rezim Soeharto tidak bersedia menandatangani banyak Perjanjian HAM, seperti International Convenant on Civil and Political Rights of 1966. Ia menjalankan berbagai kampanye bersama Singapura dan Malaysia yang didesain untuk melanggar HAM dengan dalih martabat Asia. Baru setelah Soeharto jatuh, Indonesia mulaimengikuti konsensus internasional (bukan hanya "Barat) tentang HAM. Saya kira Bung Siauw akan menghargai kegiatan HAM yang dilakukan oleh Ahmed Seif elIslam (19512014) di Mesir. Ia adalah seorang aktivis yang dipenjarakan dan disiksa oleh diktator militer pada tahun 1980an. Ketika di penjara, ia memutuskan untuk menjadi sarjana hukum dan teguh mendukung HAM. Ia yakin bahwa penyiksaan adalah kejahatan dan harus ditentang, siapa pun yang melakukannya: "Saya berkeyakinan bahwa tidak ada artinya melakukan kegiatan politik tanpa HAM. Orangorang komunis secara rahasia menyatakan bahwa menyiksa orangorang Islam tidak salah. Sedangkan orang Islam menyatakan: Apa salahnya menyiksa orangorang komunis." Masalah yang diangkat oleh Seif adalah hal yang Bung Siauw tandaskan pula, yaitu bagaimana memadukan perjuangan politik dalam mencapai kekuasaan negara dengan komitmen menjunjung tinggi HAM? perikemanusiaan yang adil dan beradab tidak bisa lain adalah hak asasi manusia seperti yang diakui umat manusia sedunia dan harus dilaksanakan secara konsekuen tanpa kecuali."  Setelah hampir setiap negara telah mengakui UDHR, tidak ada dokumen lain yang lebih baik dalam memformulasikan citacita umum untuk seluruh penduduk dunia. Indonesia tentunya tidak bisa menjunjung tinggi Pancasila selama ia melanggar HAM. Selama Soeharto berkuasa, rakyat Indonesia dipaksa untuk menerima Pancasila tanpa menyadari adanya UDHR dan adanya rentetan perjanjian tentang HAM yang telah disetujui setelah tahun 1948.Rezim Soeharto tidak bersedia menandatangani banyak Perjanjian HAM, seperti International Convenant on Civil and Political Rights of 1966. Ia menjalankan berbagai kampanye bersama Singapura dan Malaysia yang didesain untuk melanggar HAM dengan dalih martabat Asia. Baru setelah Soeharto jatuh, Indonesia mulai mengikuti konsensus internasional (bukan hanya "Barat) tentang HAM. Saya kira Bung Siauw akan menghargai kegiatan HAM yang dilakukan oleh Ahmed Seif elIslam (19512014) di Mesir. Ia adalah seorang aktivis yang dipenjarakan dan disiksa oleh diktator militer pada tahun 1980an. Ketika di penjara, ia memutuskan untuk menjadi sarjana hukum dan teguh mendukung HAM. Ia yakin bahwa penyiksaan adalah kejahatan dan harus ditentang, siapa punyang melakukannya: "Saya berkeyakinan bahwa tidak ada artinya melakukan kegiatan politik tanpa HAM. Orangorang komunis secara rahasia menyatakan bahwa menyiksa orangorang Islam tidak salah. Sedangkan orang Islam menyatakan: Apa salahnya menyiksa 

orangorang komunis." Masalah yang diangkat oleh Seif adalah halyang Bung Siauw tandaskan pula, yaitu bagaimana memadukan perjuangan politik dalam mencapai kekuasaan negara dengan komitmen menjunjung tinggi HAM?

Sangat disayangkan Bung Siauw wafat di usia yang relatif muda pada tahun 1981. Sebuah kematian yang harus dikaitkan dengan rezim Soeharto di mana kondisi penjaranya yang buruk telah merusak kesehatan Bung Siauw.  Pembunuhan dan penangkapan massal yang dilakukan Soeharto selama bertahuntahun telah menghancurkan kehidupan banyak orang Indonesia yang terbaik dan terpandai. Banyak penulis yang terbaik, pelukis yang terbaik, intelek yang terbaik, dan organisatoris terbaik dibunuh, menjadi cacat seumur hidup,dibungkam, diteror, dan dipaksa untuk hidup sebagai eksil. Lalu muncullah sekelompok preman, perwira militer yang cupat,koruptor dan oportunis yang tidak memiliki talenta menggantikan mereka yang dipersekusi ini.Dengan wafatnya Bung Siauw, Indonesia telah kehilangan salah satu suara yang membela HAM. Ia adalah seorang yang patut diingat sebagai salah satu pembangun bangsa dan negara karena turut dalam perumusan kedua UUD pertama dan seorang tua bijaksana yang di puncak kediktatoran Soeharto mengingatkan rakyat Indonesia bahwa mereka adalah rakyat yang memiliki berbagai hak.  

Buku ini merupakan gabungan semua catatan, tulisan dan rekaman Siauw Giok Tjhan tentang Peristiwa G30S, peristiwa yang terjadi 50 tahun lalu, yang secara drastis mengubah struktur politik Indonesia dan menghasilkan penderitaan jutaan orang yang tidak bersalah di Indonesia. Dan kesemuanya ini dilakukan oleh negara yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.

Diharap buku ini, bersama banyaknya publikasi lain tentang G30S, meningkatkan kemampuan para sejarawan dan generasi muda untuk secara objektif mempelajari dan menganalisis G30S. Dan yang lebih penting lagi, diharap buku ini mendorong generasi di kemudian hari untuk berjuang menjamin tidak terulangnya kejahatan negara seperti yang dilakukan oleh Soeharto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun