Di esai kedua, ia menulis sebuah tuntutan disertai informasi dan argumentasi untuk membawa Soeharto ke pengadilan, bilamana situasi politik memungkinkan, baik di pengadilan Indonesia maupun pengadilan internasional. Â Yang paling menarik perhatian saya dari tulisantulisan ini adalah komitmen Bung Siauw terhadap rule of law. Tulisannya bersandar atas Indonesia sebagai negara hukum. Sekilas, hal ini tidakÂ
menegakan hukum sering dianggap sebagai topik yang membosankan dan kuno, sesuatu yang sebenarnya lebih baik dibahas oleh orangorang konservatif yang berhubungan dengan kegiatan hukum dan ketertiban. Akan tetapi dalam konteks Indonesia di mana penegakan hukum merupakan pengecualian, ia adalah sebuah masalah yang penting dan mendesak. Sejak kemerdekaan dan Republik Indonesia diterima sebagai negara merdeka oleh dunia internasional pada tahun 1949, sebagian besar masanya, 1959 hingga 1998, Indonesia berada di bawah kekuasaan berbagai pemerintah yang melanggar prinsip rule of law. Pada umumnya orangorang komunis dan antikomunis tidak terlalu memperhatikan masalah penegakan hukum. Tulisantulisan tentang tragedi 1965---1966, contohnya, ditekankan sebagai pertikaian politik, seolaholah tragedi itu adalah sematamata akibat pertikaian antara PKI dan Angkatan Darat. Padahal, sementara pengamat menyatakan bahwa yang berlaku pada masa itu adalah hukum rimba.  Kiranya sulit di masa kini untuk menghargai citacita para nasionalis sebelum "kemunduran demokrasi konstitusional" (seperti yang dinyatakan oleh Herb Feith) pada akhir tahun 1950an. Tulisantulisan Bung Siauw menyegarkan ingatan kita tentang citacita ini. Bung Siauw mengingatkan kita tentang apa yang diperjuangkan oleh para nasionalis yang teguh berprinsip dalam melawan ar | xxiii Akan tetapi akhirnya mereka sadar dan menanggulangi masalah penegakan hukum yang sangat dibutuhkan Indonesia. Perubahan perubahan yang dicapai bersandar atas pasalpasal yang ada dalam UUD Sementara 1950.  Bung Siauw bertanya, mengapa Indonesia gagal menjadi negara hukum yang diidamkan oleh para pendirinya? Jawaban atas pertanyaan ini adalah satu kata: tentara. Konflik di dalam tubuh Angkatan Darat telah mencegah dikuasainya negara oleh kekuatan sipil dan gagalnya negara bersandar atas rule of law. Tentaratentara Indonesia kerap bertempur menghantam satu sama lain: Peristiwa Madiun pada tahun 1948; pemberontakan PRRIPermesta pada tahun 1957---1960; G30S pada tahun 1965. Perwiraperwira Angkatan Darat juga kerap menentang upaya Presiden dan parlemen untuk mempengaruhi Angkatan Darat: Kejadian 1952; Kejadian Bambang Utoyo 1955, dan pembangkangan terselubung Angkatan Darat di masa Konfrontasi (1963---1966). Walaupun saya menganggap Soekarno dan demokrasi terpimpinnya bertanggung jawab atas pelanggaran prinsip negara hukum, saya bisa mengerti mengapa Bung Siauw tidak menyalahkan Soekarno. Banyak politikus progresif seperti Bung Siauw mengenalnya secara pribadi dan menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang jujur, memiliki maksud baik dan terhormat. Mereka juga melihat bahwa Soekarno, dalam merumuskan berbagai kebijakan mengikuti prinsipprinsip HAM, walaupun ia tidak merealisasi kebijakankebijakan ini dengan prosedurprosedur hukum yang kuat dan berpengaruh. Contohnya, Siauw menyatakan bahwa Soekarno tidak melakukan penangkapan dan pembunuhan massal ketika menindas pemberontakan PRRIPermesta dan tidak menganggap orangoranng yang pernah memberontak terhadap pemerintah sebagai pengkhianat bangsa. Soekarno tidak menahan semua anggota.
Masyumi dan PSI walaupun pimpinan partaipartai tersebut terlibat dalam PRRIPermesta. Dan mereka yang ditahan kemudian diampuni dan dibebaskan. Soekarno tidak memerintahkan eksekusi terhadap mereka yang memberontak: "Dan ingat, Presiden Soekarno tidak pernah mencabut atau membatalkan secara sepihak pensiun yang mereka berhak menerimanya sebagai bekas menteri, sebagai anggota DPR!" Â Ini tentunya bertolak belakang dengan tindakan Soeharto dalam membasmi G30S. Sebenarnya G30S bukan sebuah gerakan. Ia tidak berbentuk gerakan pemberontakan sekaliber PRRIPermesta. Akan tetapi Soeharto menggunakan dalih pemberontakan G30S sebagai alasan untuk melakukan penangkapan dan pembantaian dalam skala yang sangat besar. Mengingat kelaliman Soeharto, mudah dimengerti mengapa para korbannya tidak bisa menyalahkan Soekarno. Walaupun Dekrit 1959 bisa dikatakan sebagai upaya darurat untuk menanggulangi sebuah krisis, kiranya sulit memaafkan Soekarno yang gagal menghentikan sistem yang bersandar atasÂ
kekuasaan mutlak seseorang. Soekarno tidak memiliki komitmen untuk memulihkan penegakan hukum dan demokrasi. Dan tidak adanya harapan bahwa karakter demokrasi terpimpin yang berkepanjangan ini akan berakhir dan telah mendorong PKI dan Angkatan Darat untuk mencari jalan keluarnya masingmasing.  Pimpinan Angkatan Darat dan PKI sejak awal tahun 1965 saling ragu apakah mengambil langkah mendahului penyerangan terhadap satu sama lain. Dokumendokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat jelas menunjukkan bahwa para jenderal Angkatan Darat terusmenerus berhubungan dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan memutuskan untuk menunggu PKI mengambil langkah terlebih dahulu. Para jenderal tersebut tidak ingin melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno, karena ia sangat populer. Mereka berpendirian sebaiknya menunggu adanya alasan untuk menghantam PKI dan secara berangsur menyingkirkan Presiden Soekarno. Dan dalam waktu bersamaan, tetap menunjukkan kesetiaan terhadap Soekarno. Gerakan 30 September adalah alasan yang mereka nantikan. Bung Siauw menyatakan: "Yang jelas sekarang ini, G30S ternyata dijadikan alasan oleh Angkatan Darat untuk menghancurkan PKI." Bung Siauw menyadari bahwa Aidit dan beberapa pimpinan top PKI terlibat dalam G30S. Akan tetapi, ia tidak habis pikir bagaimana mereka ini terlibat dan mengapa mereka terlibat. Selama ia di penjara, ia berkesempatan berbicara dengan beberapa pimpinan dan anggota PKI yang terlibat, seperti Kusno, asisten pribadi Aidit, Mohamad Munir, anggota Politbiro PKI. Walaupun mereka tidak memiliki informasi yang lengkap, tetapi dari pembicaraan ini Bung Siauw bisa menyimpulkan bahwa yang paling berperan dalam pengaturan G30S adalah seorang yang bernama Sjam: "Dan dari kenyataankenyataan yang terjadi sekitar G30S, kita bisa melihat bahwa yang memainkan peranan menentukan dan sebagai 'memimpin' G30S adalah Sjam, dan jelas Sjam tidaklah identik dengan pimpinan PKI, karena Sjam bukanlah orang yang bisa bertindak mewakili PKI berdasarkan Anggaran Dasar PKI." Sjam memainkan peranan sebagai Ketua Biro Khusus yang "merupakan alat dari Ketua CC PKI D.N. Aidit." Dari Kusno, Bung Siauw mengetahui bahwa Aidit berada di Halim pada hari pelaksanaan G30S dan terbang ke Jawa Tengah pada malam harinya dengan pesawat Angkatan Udara. Dalam buku saya Dalih Pembunuhan Massal, saya mencoba untuk meneruskanbanalisa Bung Siauw tentang peran yang dimainkan oleh Sjam dan Biro Khusus dalam G30S dan kaitannya dengan hubungan antara Aidit dengan para perwira yang oleh PKI dinyatakan sebagai "perwira yang progresif dan revolusioner". Bung Siauw tidak bisa mengerti dan menerima bagaimana orang yang tidak banyak diketahui ini bisa secara tibatiba muncul
berperan sebagai seorang "kingmaker". Sjam, yang pernah bersama Bung Siauw berada di penjara di Jakarta pada tahun 60an,dianggapnya sebagai seorang misterius.Informasi yang ia peroleh tentang diri Sjam selama di tahanan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kesetiaan terhadap partai,bahkan sering mengkhianati para anggota partai: "Benarbenar satu mentalitet yang merusak nama baik komunis. Bagaimana bisa terjadiseorang tokoh PKI seperti Sjam itu yang memegang peranan begitu pentingnya! Martabat yang sedikit pun tidak ada bau komunisnya."Bung Siauw tidak tahu apakah Aidit dikelabui Sjam untuk terlibat dalam G30S atau apakah Aidit bekerja sama dengan Sjam dalam mengkoordinasikan G30S. Bung Siauw curiga bahwa Sjam adalah agen antikomunis yang menyelundup ke dalam PKI untuk menghancurkannya. Akan tetapi ia heran, kalau benar begitu,mengapa Sjam bisa dipercaya penuh oleh Aidit untuk memimpin sebuah lembaga---Biro Khusus---yang demikian pentingnya,sehingga Aidit bersedia diperintah oleh Sjam di hari aksi tersebut.Situasi ini menurutnya aneh.Walaupun peran apa yang Aidit mainkan dalam G30S tetap tidak jelas, tetapi ia bukan seorang yang begitu bodoh untuk bis dikelabui oleh Sjam berada di Halim sehingga PKI bisa disalahkan dalamÂ
melakukan aksi yang direncanakan untuk gagal. Beberapa minggu sebelum G30S, Aidit telah bekerja sama dengan Sjam untuk mengatur serangan mendadak terhadap jenderaljenderal kanan yang antikomunis. Transkripsi pembicaraan Aidit dengan Mao di Beijing pada tanggal 5 Agustus 1965 membuktikan bahwa Aidit tahu persis rencana untuk G30S. Aidit menjelaskan ke Mao bahwa personil tentara yang proPKI akan melakukan aksi untuk menyingkirkan perwira kanan dan mendirikan dewan yang kelihatannya netral. Dua bulan sebelum G30S Aidit bisa menggambarkan secara detail apa yang akan dilakukan dan kenapa. Â
Â
Komando G30S dan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Untung ternyata adalah sebuah jembatan untuk melakukan perombakan susunan negara yang radikal. G30S adalah sebuah gerakan yang akan mengenyahkan jenderaljenderal Angkatan Darat kanan dan mempertahankan kedudukan Presiden Soekarno.Rencananya adalah menghindari pertentangan dengan kekuatankekuatan yang terhimpun dalam Front Nasional.Akan tetapi rencana ini sebenarnya mengundang kegagalan.G30S tidak bisa menyatakan menyelamatkan Presiden Soekarno dan pada waktu bersamaan mengganti kabinet yang sah dengan DewanRevolusi, apalagi kalau Soekarno tidak berperan dalam pemilihan kabinet dan tidak lagi berfungsi sebagai Presiden de facto. Bung Siauw dengan panjang lebar menggambarkan bagaimana pengumuman tentang Dewan Revolusi dan komposisinya telah mendorong kekuatan netral untuk turut menyerang PKI.  Tentunya sulit untuk membantah argumentasi Bung Siauw bahwa kekuatan antikomunis internasional turut memasang jebakan untuk PKI pada tahun 1965 dan bahwa: "PKI kurang kewaspadaan sehingga masuk dalam jebakan ini." Menurut analisis di buku Dalih Pembunuhan Massal, Sjam tidak bekerja untuk organisasi di luar PKI, apakah itu CIA atau KGB atau Angkatan Darat yang menginginkan kehancuran PKI. Kesalahan utama Sjamadalah kecerobohan dan ketidakmampuannya dalam merencanakan dan memimpin gerakan, bukan karena ia adalah seorang agen berganda dan pengkhianat.Dari bahanbahan Amerika Serikat yang sudah dideklasifikasi kita tahu bahwa Amerika Serikat bersama para jenderal Angkatan Darat giat memprovokasi PKI untuk mengambil langkah mendahului; mereka menantikan adanya kejadian yang bisadijadikan alasan untuk menyalahkan PKI. Aidit ternyata merasa ada dasar untuk mengambil tindakan mendahului dan yakin bahwa
akan mencapai kemenangan, sehingga ia masuk ke dalam perangkap. Â Dalam mempertimbangkan keganasan serangan terhadap para anggota PKI setelah G30S, Bung Siauw tidak segan mengkritik pimpinan PKI. Ia mempertanyakan apa yang menjadi pertanyaannbanyak orang. Mengapa PKI tidak berbuat apaapa untuk melawan serangan ganas ini? Jawaban Bung Siauw adalah, PKI telah menjadi sebuah partai yang hanya menerima perintah dari atas. Setelah 1Oktober 1965, Aidit bersembunyi di Jawa Tengah dan Politbironterceraiberai. Instruksi Aidit adalah menunggu Presiden Soekarnonuntuk mendapatkan jalan keluar. Sebuah instruksi untuk tidaknmelawan demi kedamaian. Â Dalam menghadapi penghancuran yang tidak dapat dicegah oleh Soekarno, pimpinan PKI ternyata tidak mampu mengubah strategi dan mengorganisasi perlawanan: "Apa yang dilakukan selanjutnya oleh Aidit di Jawa Tengah, tidak ada kejelasan ... dalam kehidupan dikejarkejar, Aidit ternyata tidak dapat melaksanakan pimpinan sebagaimana yang diharapkan sebagai Ketua PKI." Â Bung Siauw menyadari pada tahun 1970an bahwa dalam menghadapi kediktatoran Soeharto, Indonesia harus kembali ke dasardasar negara hukum dan hak rakyat: "Merasakan perlunya ditegakkan kembali prinsip 'rule of law', ditegakkannya prinsip 'presumption of innocence' (hak untuk diperlakukan sebagaiÂ
manusia'tidak berdosa' sebelum dibuktikan oleh pengadilan yang tidak memihak), ditegakkannya prinsip 'fair trial' (pemeriksaan perkara secara adil oleh pengadilan yang tidak memihak), dan diindahkannya Pernyataan Sedunia tentang HakHak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)."Dengan cerdas dan tepat Bung Siauw berargumentasi bahwa salah satu sila Pancasila,sila perikemanusiaan,harus diinterpretasikan sesuai dengan Pernyataan PBB tentang HAM 1948 Universal Declaration of Human Rights (UDHR): "Jadi, sila
perikemanusiaan yang adil dan beradab tidak bisa lain adalah hakasasi manusia seperti yang diakui umat manusia sedunia dan harus dilaksanakan secara konsekuen tanpa kecuali." Â Setelah hampir setiap negara telah mengakui UDHR, tidak ada dokumen lain yang lebih baik dalam memformulasikan citacitaumum untuk seluruh penduduk dunia. Indonesia tentunya tidak bisa menjunjung tinggi Pancasila selama ia melanggar HAM. Selama Soeharto berkuasa, rakyat Indonesia dipaksa untuk menerima Pancasila tanpa menyadari adanya UDHR dan adanya rentetan perjanjian tentang HAM yang telah disetujui setelah tahun 1948.Rezim Soeharto tidak bersedia menandatangani banyak Perjanjian HAM, seperti International Convenant on Civil and Political Rights of 1966. Ia menjalankan berbagai kampanye bersama Singapura dan Malaysia yang didesain untuk melanggar HAM dengan dalih martabat Asia. Baru setelah Soeharto jatuh, Indonesia mulaimengikuti konsensus internasional (bukan hanya "Barat) tentang HAM. Saya kira Bung Siauw akan menghargai kegiatan HAM yang dilakukan oleh Ahmed Seif elIslam (19512014) di Mesir. Ia adalah seorang aktivis yang dipenjarakan dan disiksa oleh diktator militer pada tahun 1980an. Ketika di penjara, ia memutuskan untuk menjadi sarjana hukum dan teguh mendukung HAM. Ia yakin bahwa penyiksaan adalah kejahatan dan harus ditentang, siapa pun yang melakukannya: "Saya berkeyakinan bahwa tidak ada artinya melakukan kegiatan politik tanpa HAM. Orangorang komunis secara rahasia menyatakan bahwa menyiksa orangorang Islam tidak salah. Sedangkan orang Islam menyatakan: Apa salahnya menyiksa orangorang komunis." Masalah yang diangkat oleh Seif adalah hal yang Bung Siauw tandaskan pula, yaitu bagaimana memadukan perjuangan politik dalam mencapai kekuasaan negara dengan komitmen menjunjung tinggi HAM? perikemanusiaan yang adil dan beradab tidak bisa lain adalah hak asasi manusia seperti yang diakui umat manusia sedunia dan harus dilaksanakan secara konsekuen tanpa kecuali." Â Setelah hampir setiap negara telah mengakui UDHR, tidak ada dokumen lain yang lebih baik dalam memformulasikan citacita umum untuk seluruh penduduk dunia. Indonesia tentunya tidak bisa menjunjung tinggi Pancasila selama ia melanggar HAM. Selama Soeharto berkuasa, rakyat Indonesia dipaksa untuk menerima Pancasila tanpa menyadari adanya UDHR dan adanya rentetan perjanjian tentang HAM yang telah disetujui setelah tahun 1948.Rezim Soeharto tidak bersedia menandatangani banyak Perjanjian HAM, seperti International Convenant on Civil and Political Rights of 1966. Ia menjalankan berbagai kampanye bersama Singapura dan Malaysia yang didesain untuk melanggar HAM dengan dalih martabat Asia. Baru setelah Soeharto jatuh, Indonesia mulai mengikuti konsensus internasional (bukan hanya "Barat) tentang HAM. Saya kira Bung Siauw akan menghargai kegiatan HAM yang dilakukan oleh Ahmed Seif elIslam (19512014) di Mesir. Ia adalah seorang aktivis yang dipenjarakan dan disiksa oleh diktator militer pada tahun 1980an. Ketika di penjara, ia memutuskan untuk menjadi sarjana hukum dan teguh mendukung HAM. Ia yakin bahwa penyiksaan adalah kejahatan dan harus ditentang, siapa punyang melakukannya: "Saya berkeyakinan bahwa tidak ada artinya melakukan kegiatan politik tanpa HAM. Orangorang komunis secara rahasia menyatakan bahwa menyiksa orangorang Islam tidak salah. Sedangkan orang Islam menyatakan: Apa salahnya menyiksaÂ