"Maaf ya Nak. Ibu tidak bawa uang untuk beli sepatu. Â InsyaaAllah, bulan depan setelah Ayah gajian, Ibu belikan sepatu princess" Anna mendesah dalam hati. Â
Kata maaf yang diucapkan takut mengecewakan anaknya. Â Pun belum tentu bulan depan bisa membeli sepatu yang sama. Â Mungkin di pasar akan ada sepatu yang mirip dengan harga yang lebih murah.Hanya mengandalkan satu pintu ekonomi, membuat Anna harus membatasi banyak hal. Â Dhina semakin besar, akan terus bertambah kebutuhan. Â Lebih baik uangnya ditabung hingga saatnya Dhina bersekolah.
Dhina tersenyum. Tidak seperti kebanyakan anak lain yang tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Â Dhina jauh lebih mudah.
Hanya selang beberapa langkah, Dhina kembali melepaskan tangan Anna. Â Dhina memeluk seseorang dari belakang, "Ayaaahh...."
Anna terdiam saat laki-laki itu berbalik.  Di sebelahnya nampak seorang perempuan berpenampilan rapi menggandeng mesra laki-laki itu. Anna ingat, dulu saat masih kerja, sepulang kantor bersama Dodhi, suaminya, ia sering melakukan hal yang sama.  Berkeliling bersama menghabiskan waktu kemudian pulang ke rumah bersiap-siap tidur dan saling berpelukan mesra hingga azan subuh memanggil merdu.
Anna berlari menghampiri Dhina. "Maafkan anak saya Mas,"
Laki-laki itu menatap Anna dalam. Â Wanita disebelahnya segera menarik laki-laki yang dipanggil ayah oleh Dhina.
Anna mendekap Dhina dengan erat. Â Tak terasa matanya basah. Â Laki-laki itu memang benar ayahnya Dhina. Â Dhina tidak salah, Anna yang selama ini salah menganggap kehadiran seorang anak akan menambah kebahagiaan Dodhi, suaminya. Â
"Maafkan ibu nak, kali ini kita tidak bisa bermain. Â Mungkin besok saat punya waktu lebih, maafkan ibu ya nak". Anna menahan tangis. Â Ia pun segera mengajak Dhina untuk pulang ke rumah kontrakan kecilnya untuk menyambut kedatangan suaminya, Dodhi.
Dhina memeluk erat Anna, ibunya. Â Tetes air mata Anna dihapus oleh tangan mungil Dhina. Â "Dhina minta maaf Bu. Â Dhina gak nakal lagi, ibu jangan nangis ya"
....