"Maafkan aku mas...., penampilanku sangat berbeda saat belum memiliki Dhina, saat aku masih piawai menggunakan sepatu hak tinggi, bibirku selalu merah merona, pakaianku wangi parfum menggoda, saat aku selalu bicara tentang tugas-tugas kita dikantor, bukan tentang bawang yang hampir habis,  popok kotor yang tak pernah selesai, kisah pertama kalinya Dhina memanggilku dengan sebutan ibu yang jauh membuatku bangga dibandingkan mendapatkan pujian atas prestasi kerjaku di kantor.  Tubuhku tidak sesingset dulu, menggelambir setelah melahirkan Dhina yang mungkin  membuatmu malu berjalan disampingku.   Maafkan aku juga mas.., membuatmu terhenti memelukku ketika seketika Dhina menangis.  Bahkan saat waktu tidur kitapun menjadi berbeda.  Maafkan aku mas.., aku hanya berpikir uang bedakku lebih baik digunakan untuk tabungan pendidikan Dhina, daster lusuhku tidak sepenting pakaian Dhina yang cepat mengecil karena tubuhnya tumbuh lebih cepat, saat sendal jepitku dapat lebih cepat menangkap Dhina saat ia baru belajar berjalan.  Maafkan aku mas.., mungkin aku yang salah mengartikan diammu.  Aku tidak paham membuat diriku seperti yang kau mau.  Aku minta maaf, jika kau benar-benar tidak menginginkanku.  Lebaran tahun ini mungkin lebih baik kita tidak bersama lagi"
...
Pengalaman Anna bisa jadi pengalaman banyak orang disekitar kita. Meminta maaf meskipun tak sepenuhnya salah. Â Dan memaafkan tanpa perlu bicara ,"Saya maafkan". Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H