Hari itu sungguh hari yang sibuk. Â Anna masih beradaptasi dengan bayinya yang baru lahir. Â Dhina, begitulah mereka menamakan buah hatinya. Â Penggabungan antara nama Na dari Anna dan Dhi dari Dodi, mengingatkan mereka bahwa Dhina merupakan buah hati mereka yang telah lama dinanti hingga 5 tahun lamanya.
Dodhi hanyalah pegawai biasa. Â Sama halnya dengan Anna saat sebelumnya memutuskan untuk berhenti di saat akhirnya jabang bayi hadir dalam rahim Anna. Â Hanya saja karena kondisi Anna tidak sekuat ibu yang lain saat mengandung, Anna pun memutuskan untuk berhenti atas persetujuan Dodhi juga. Â Toh, jika Anna masih kerja, siapa yang akan menjaga bayinya nanti? Â
Memperkerjakan seseorang artinya harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi. Belum tentu mendapatkan orang yang baik yang dapat benar-benar menjaga anaknya, siapa yang akan mengawasinya? Orangtua? Ahh.....
Orangtua Anna telah lama meninggalkannya saat usianya baru saja tamat SMA. Â Saat itu kedua orangtuanya meninggal dalam waktu yang bersamaan. Â Kecelakaan yang tidak diharapkan membuat dia dan adiknya harus menanggung beban teramat berat. Â Beruntung Anna diterima di Universitas Negeri dan mendapatkan beasiswa begitupun adiknya. Â Orangtuanya pun meninggalkan mereka tanpa utang sepeserpun bersama tabungan bernilai sepuluh juta rupiah yang dapat digunakan sebagai modal berjualan bagi mereka.
Berdua dengan adiknya saat harus meninggalkan rumah kecil kontrakan yang ditempati sebelumnya, membuat tetangganya iba. Â Mereka mendapatkan bedeng yang dapat digunakan sampai kapanpun hingga mereka mampu untuk membayarnya.
Berjualan di sekolah dan kampus bukanlah hal yang memalukan. Â Menitip dagangan sambil di sela-sela jam kuliah kosong dan disaat sore hari sebelum pulang, mengajar les privat memberikan tambahan penghasilan.
Adiknya pun demikian, ketika saat SMA seharusnya anak laki-laki sering berkumpul untuk membicarakan hobi, Anto justru mengambil kerja paruh waktu di Rumah Makan dari sore hingga malam hari. Â
...
Mata Anna lekat memandang tumpukan popok kotor di ember merah besar di samping mesin cuci yang dibelinya saat baru berumahtangga. Â Seketika Anna menangis. Â Mencuci hanya bisa dilakukan siang hari setelah Dodhie berangkat kerja. Â Air PAM yang mengalir dirumah kontrakan mungilnya entah kenapa akhir-akhir ini baru mulai setelah Dodhie berangkat dan berhenti sebelum pulang kerja.
Tidak pernah ada dibayangannya mengurus bayi sendirian ternyata sangat melelahkan. Â Disaat teman-temannya didampingi orangtua dan mertua. Â Hal ini tidak dia dapatkan. Â Orangtua sudah tidak ada, sementara mertuanya lebih memilih menemani anak perempuannya di kota lain.
Pakai air bak? Tidak mungkin! Bak berukutan kecil jika dipakai saat malam untuk mencuci, mau mandi pakai apa saat pagi? Belum urusan cuci dan cebok saat membuang hajat. Â
Belum selesai urusan saat melihat popok. Â Tumpukan piring sisa pagi dan malam yang belum di cuci semakin membuat hati Anna meronta. Â
Kemarin-kemarin Dodhi masih membantunya urusan domestik rumah tangga. Â jika Anna terlihat sangat lelah, Dodhi yang bergadang mengawasi jam menyusui. Â Hingga saatnya tiba, barulah Dodhi yang akan membangunkan Anna. Â
Sekarang saat Dodhi mulai kerja kembali, waktu lelap tidur Anna hanya dimulai bada' magrib (bisa lebih malam, jika Dodhi terjebak macet) hingga pukul 10 malam. Saat Dodhi bersiap untuk tidur.
...
Tok...tok...tok...
"Assalamualaikum... Mbak Anna... Ini aku Anto"
"Waalaikumsalam... Anto? Kamu ngapain ke sini? Tugas kantor?" Tanya Anna penasaran mengingat Anto tinggal berbeda pulau sejak ia mendapatkan pekerjaan.
"Iya Mbak. Â Beberapa hari. Â Hanya dari pagi hingga siang, tidak lama. Â Jadi sepulang urusan aku bisa menemani Mbak sambil bermain dengan ponakan. Â Malamnya saja aku kembali ke hotel. Â Mbak Anna istirahat saja. Â Mukanya sudah pucat begitu. Â Aku bantuin deh"
"Kamu ini... , Maaf ya dek. Â Ngerepotin. Â Bukannya kamu ketemu dengan teman lamamu disini?"
"Mbak jauh lebih penting"
Kedatangan Anto memberikan bantuan yang tak ternilai. Â Semua pekerjaan rumah dapat diselesaikan dengan cepat. Â Bahkan urusan masak. Â Pengalaman bekerja di Rumah Makan membuat Anto sigap meramu bahan terbatas. Â Ayam sudah diungkep, bawang dan bumbu lain sudah tinggal tuang.
Gentong baru yang dibelikan Anto membuatnya dapat masak dan mencuci piring saat malam hari. Â Ia tidak perlu masak berkali-kali. Â Siangnya waktu yang biasa digunakan untuk masak dapat digunakan untuk tidur. Â
....
Tak terasa Dhina saat ini berusia satu tahun. Â Anna makin piawai mengatur urusan rumah tangga. Â Sejak melahirkan ia tidak pernah jalan-jalan lebih jauh dari pasar dekat rumahnya saat selepas subuh. Â Dodhi yang semakin sering pulang malam karena lembur, membuat Anna hanya jalan-jalan sebatas silaturahmi ke tetangga. Kasihan Dhina jika harus memaksanya keluar kena angin malam. Â Dodhi pun sudah cukup letih bekerja. Ia adalah suami yang pendiam, meskipun tidak banyak bicara kepadanya. Â Anna merasa beruntung memiliki Dodhi yang pengertian. Â Kala akhir minggu, Anna pun tidak kalah sibuk. Â Justru saat itulah ia harus menggosok tumpukan baju yang perlu disetrika. Â Belum lagi membuat bumbu agar urusan masak setiap harinya jadi lebih mudah termasuk beres rumah maksimal sering dilakukan saat akhir minggu.
Tiga tahun berlalu. Â Anna memutuskan untuk mengajak Dhina jalan lebih jauh. Â Anna ingin mencoba berkeliling pusat perbelanjaan. Â Sudah lama sekali Anna tidak merasakannya membuatnya lebih gugup dari perasaannya saat wawancara kerja waktu dulu.
Masih belum sore benar.  Annapun mengganti pakaian  Dhina.  Rencananya Anna mengajak Dhina bermain ke playgroud atau tempat permainan.  Naik kuda goyang-goyang dengan rasa yang bisa saja berbeda dibandingkan naik odong-odong yang selalu dikejar Dhina. Â
Bermodalkan ingatan saat ia sering menghabiskan waktu berdua saja bersama Dodhi ke pusat perbelanjaan dekat rumah kontrakan sebelum Dhina hadir ke tengah-tengah mereka. Setelah naik angkot dua kali dan sedikit berjalan kaki, Â Anna tersenyum lega saat pusat perbelanjaan telah berada tepat dihadapannya. Â
Sambil menggendong Dhina dan memegang erat dompet kecil berisikan beberapa puluh ribu rupiah sisa uang belanja yang diatur setiap hari, Â Anna bergegas menuju tempat bermain. Â Sedikit celingak-celinguk, Anna melihat ke sekeliling, bertanya pada security, "Maaf pak, tempat bermain anak-anak dimana ya?"
"Oh, itu disebelah sana Bu. Â Silakan jalan lurus, lalu dekat simpang toko sepatu, nanti belok kanan. Â Nah disana tempatnya,"
Berjalan sesuai petunjuk, Anna melihat sekeliling. Tiba-tiba Dhina berontak turun dari gendongan. Â Padahal belum sampai ke tempat bermain. Â Dhina berlari cepat menuju ke dalam toko sepatu yang dimaksud. Â
Dhina terdiam di depan sepatu princess berwarna pink. Â Anna melihat kaki mungil Dhina. Â Hatinya membatin. Â Selama ini tidak pernah terbersit sedikitpun untuk membelikannya sepasang sepatu. Mau dipakai kemana? Hanya bermain ke sekitar tidak perlu membuatnya memiliki sepatu.
"Maaf ya Nak. Ibu tidak bawa uang untuk beli sepatu. Â InsyaaAllah, bulan depan setelah Ayah gajian, Ibu belikan sepatu princess" Anna mendesah dalam hati. Â
Kata maaf yang diucapkan takut mengecewakan anaknya. Â Pun belum tentu bulan depan bisa membeli sepatu yang sama. Â Mungkin di pasar akan ada sepatu yang mirip dengan harga yang lebih murah.Hanya mengandalkan satu pintu ekonomi, membuat Anna harus membatasi banyak hal. Â Dhina semakin besar, akan terus bertambah kebutuhan. Â Lebih baik uangnya ditabung hingga saatnya Dhina bersekolah.
Dhina tersenyum. Tidak seperti kebanyakan anak lain yang tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Â Dhina jauh lebih mudah.
Hanya selang beberapa langkah, Dhina kembali melepaskan tangan Anna. Â Dhina memeluk seseorang dari belakang, "Ayaaahh...."
Anna terdiam saat laki-laki itu berbalik.  Di sebelahnya nampak seorang perempuan berpenampilan rapi menggandeng mesra laki-laki itu. Anna ingat, dulu saat masih kerja, sepulang kantor bersama Dodhi, suaminya, ia sering melakukan hal yang sama.  Berkeliling bersama menghabiskan waktu kemudian pulang ke rumah bersiap-siap tidur dan saling berpelukan mesra hingga azan subuh memanggil merdu.
Anna berlari menghampiri Dhina. "Maafkan anak saya Mas,"
Laki-laki itu menatap Anna dalam. Â Wanita disebelahnya segera menarik laki-laki yang dipanggil ayah oleh Dhina.
Anna mendekap Dhina dengan erat. Â Tak terasa matanya basah. Â Laki-laki itu memang benar ayahnya Dhina. Â Dhina tidak salah, Anna yang selama ini salah menganggap kehadiran seorang anak akan menambah kebahagiaan Dodhi, suaminya. Â
"Maafkan ibu nak, kali ini kita tidak bisa bermain. Â Mungkin besok saat punya waktu lebih, maafkan ibu ya nak". Anna menahan tangis. Â Ia pun segera mengajak Dhina untuk pulang ke rumah kontrakan kecilnya untuk menyambut kedatangan suaminya, Dodhi.
Dhina memeluk erat Anna, ibunya. Â Tetes air mata Anna dihapus oleh tangan mungil Dhina. Â "Dhina minta maaf Bu. Â Dhina gak nakal lagi, ibu jangan nangis ya"
....
"Maafkan aku mas...., penampilanku sangat berbeda saat belum memiliki Dhina, saat aku masih piawai menggunakan sepatu hak tinggi, bibirku selalu merah merona, pakaianku wangi parfum menggoda, saat aku selalu bicara tentang tugas-tugas kita dikantor, bukan tentang bawang yang hampir habis,  popok kotor yang tak pernah selesai, kisah pertama kalinya Dhina memanggilku dengan sebutan ibu yang jauh membuatku bangga dibandingkan mendapatkan pujian atas prestasi kerjaku di kantor.  Tubuhku tidak sesingset dulu, menggelambir setelah melahirkan Dhina yang mungkin  membuatmu malu berjalan disampingku.   Maafkan aku juga mas.., membuatmu terhenti memelukku ketika seketika Dhina menangis.  Bahkan saat waktu tidur kitapun menjadi berbeda.  Maafkan aku mas.., aku hanya berpikir uang bedakku lebih baik digunakan untuk tabungan pendidikan Dhina, daster lusuhku tidak sepenting pakaian Dhina yang cepat mengecil karena tubuhnya tumbuh lebih cepat, saat sendal jepitku dapat lebih cepat menangkap Dhina saat ia baru belajar berjalan.  Maafkan aku mas.., mungkin aku yang salah mengartikan diammu.  Aku tidak paham membuat diriku seperti yang kau mau.  Aku minta maaf, jika kau benar-benar tidak menginginkanku.  Lebaran tahun ini mungkin lebih baik kita tidak bersama lagi"
...
Pengalaman Anna bisa jadi pengalaman banyak orang disekitar kita. Meminta maaf meskipun tak sepenuhnya salah. Â Dan memaafkan tanpa perlu bicara ,"Saya maafkan". Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H