2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dandalam keadaat dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3), dan (4), pasal ini atau salah seorang atau diantara mereka tidak dapat menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberi izin setelah lebih dahulu.
6) Ketentuan tersebut, ayat (1) samapi dengan ayat (5) pada berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Dan, pasal 7 menjelaskan:
1) Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berumur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun
2) Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk leh kedua orang tua pihak pria maupun pihak perempuan
3) Ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini.
Selain berpegang teguh pada peraturan atau undang-undang yang berlaku, seorang hakim dalam mengabulkan dispensasi nikah berpedoman pada kondisi calon anak yang dimohonkan untuk menikah. Hal tersebut dilihat dari segi kesiapan calon mempelai, seperti keadaan fisik atau jasmani, psikologi ataupun rohani.
Diskresi hakim dalam mengabulkan perkara dispensasi nikah sesuai dengan pedoman perilaku hakim yang berbunyi Hakim harus mempunyai maret yang mendorong perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntunan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam proses perkara dispensasi nikah, aturan sebagaimana dijelaskan diatas, seperti logika berfikir silogisme, yaitu adanya premis mayor, minor dan selanjutnya sampai pada konklusi dengan syarat memperhatikan kedua premis.