Mohon tunggu...
Lutfah NurFitriyani
Lutfah NurFitriyani Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Lutfah

Tidak terbang saat dipuji, tidak tumbang saat dihina

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Sahabatku, Syafa'atku Kelak

16 Februari 2020   16:00 Diperbarui: 17 Februari 2020   01:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

      Disaat kami sedang bercerita, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu yang membuat aku dan Umi terkaget sontak. Kami kemudian membuka pintu dengan wajah Umi yang terlihat khawatir, lalu Umi menghela nafas seketika dan ternyata Balqis sahabatku yang datang.


    Balqis memelukku, menangis tersedu-sedu sambil mengatakan "Hafshah, Hafshah, Hafshah." Ia membuat Umiku semakin khawatir terhadap apa yang terjadi. Aku terdiam dan tidak bisa mengatakan apapun (speechless, ya itulah bahasa asing). 

       Balqis kami ajak duduk di sofa dan memberinya minum. Lalu, ia menceritakan sedikit kronologi yang terjadi dengan raut wajah yang lesu, mata merah, dan menunduk.

    "Hafshah, Umi, aku minta maaf." Ujar Balqis dalam keadaan lebih baik, namun tersedu-sedu. "Kenapa kamu meminta maaf?" balasku. "Sudahlah, Balqis, kamu tidak usah meminta maaf." Balas Umi. "Tapi Umi, Hafshah, aku datang begitu saja."  Katanya. Kami menerima apa yang ia katakan, karena Umi mengatakan "Biarkan saja" padaku.  

      Aku mendorong Balqis untuk tetap tenang dan menceritakan lebih lanjut terhadap masalahnya. Umi dengan bersemangat ingin secepatnya mendengar apa yang terjadi.

**
    Terik matahari menunjukan pukul 11.00. Balqis pun mulai bercerita

      "Hafshah, Umi, teman-temanku di kelas semakin membenciku, setelah aku tidak sengaja menjatuhkan tempat minum milik temanku yang jahat, Roni." 

      "Mereka merendahkanku, menghinaku, katanya aku tidak bisa apa-apa dan aku hanyalah anak petani." Lanjutnya dengan raut wajah yang membuat aku ingin menangis.

       "Lalu, apakah ada teman yang membelamu?"
Balas Umi dengan raut wajah yang serius berada di hadapan Balqis sambil memegang tangan Balqis yang terlihat masih sedih.

       "Tidak Mi." Balas Balqis. Memang, Balqis denganku tidak sekelas, kelas kami berdekatan. Namun, karena ukhuwah kami yang erat dari sejak kami kecil, itulah sebabnya kami selalu main bersama.

       Setelah Balqis menceritakan dengan jelas, raut wajah yang masam tidak lagi nampak. Balqis kemudian berpamitan untuk pulang dan mengatakan "Umi, Hafshah, aku pulang dulu, aku takut ibuku mengeluarkan tanduk merah di atas kepalanya, hihihi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun