Saat musik berganti dengan irama yang lebih pelan dan lembut, Cavanaugh mengulurkan tangan pada Arabel. Pria tua itu mengajaknya untuk berdansa.
    Arabel sempat enggan namun Eduard, pria yang datang bersamanya, terus memaksa. Arabel pun bangkit dan turun untuk berdansa. Kembali mata semua orang tertuju padanya. Ternyata selain anggun, Arabel juga pandai berdansa.
    "Saya pernah melihat salah satu pertunjukan anda," Cavanaugh berkata dengan nada kagum, "tak ada orang yang lebih pantas dari nona untuk memerankan Cleopatra."
    "Terima kasih, tuan." Arabel mengangguk. Ia enggan menatap Cavanaugh. Sorot matanya seperti ingin menelan Arabel bulat - bulat.
    Arabel meneruskan acara dansanya dengan sedikit kikuk. Luka akibat tembakan di sisi perutnya masih terasa sakit. Namun gadis Jerman itu berusaha menutupinya.
    Lancelot menatap pasangan dansa itu dengan cemburu. Ia juga menginginkan berdansa dengan Arabel. Tapi rasanya tidak mungkin gadis itu bersedia. Ia hanyalah satu diantara sekian banyak laki - laki yang mengaguminya. Apalagi Lancelot tak bisa dikatakan istimewa.
    Makin lama Lancelot makin pesimis. Ia merasa Arabel tidak akan mau membalas rasa cintanya.
    Sekian lama berdinas di RAF, Lancelot selalu kesulitan mencari waktu luang mengunjungi Arabel. Hal itu semakin memupus harapannya untuk mengenal gadis itu lebih dekat.
    Stella diam - diam melirik Lancelot. Ia merasa tahu apa yang sedang dipikirkan lelaki itu. Stella menghela napas. Well, mau berdansa saja denganku tuan Green? Ujarnya dalam hati. Â
    Dengan tinggi lebih dari 190 cm, Lord Cavanaugh tidak bisa dikatakan seimbang berpasangan dansa dengan Arabel. Pria berwajah kurus itu terlalu jangkung bagi sang gadis.
    Eduard sendiri tenang - tenang saja sambil minum sampanye. Menjadi seorang mata - mata seperti Arabel memang berat. Ia harus mendekati tokoh - tokoh penting, meski dirinya tak suka. Itu demi mendapatkan simpati dan akhirnya tentu saja, informasi rahasia.