Selesai berkata, Stella menghilang. Meninggalkan Lancelot sendirian.
    Lancelot mendongak. Deretan lampu kristal di langit - langit ruangan membuat suasana begitu terang. Para pelayan berseliweran sambil membawa jamuan. Semua tamu tampak berdandan necis dan mengobrol dengan ceria. Tidak terasa bahwa London termasuk wilayah garis depan peperangan.
    Lord Cavanaugh memberikan pidato sambutan yang tidak didengarkan Lancelot. Pemuda itu sudah ngantuk berat. Mata Lancelot baru terbuka ketika mendengar orang - orang bersuara. Mereka berdecak takjub melihat seorang perempuan yang berjalan memasuki ruangan. Di sampingnya seorang pria berwajah seram tampak berjalan mengiringi.
    "Maaf datang terlambat, tuan Cavanaugh." Perempuan yang tidak lain Arabel itu memberi hormat. "Semoga anda masih berkenan memberi tempat." Arabel berkata pelan sambil menunduk malu - malu.
    Lord Cavanaugh tersenyum lebar. Ia pun membimbing Arabel menuju meja kosong.
    Selama Arabel berjalan, pandangan para tamu terpaku padanya. Lebih - lebih para pria, baik tua maupun muda. Semua tidak berkedip menatapnya. Beberapa pejabat berbisik - bisik terpesona. Arabel memang sangat cantik meski terlihat kesepian. Ia bagai putri raja tak tahu apa - apa yang baru keluar dari tembok istana.Â
    Begitu Arabel tiba, Stella balik ke meja Lancelot.
    "Gadis tercantik di London ... ck, ck, ck ...," Stella mendesis. "Itu kan gadis yang anda sukai, tuan Green? Saya masih ingat wajahnya. Siapa namanya? Tinker Bell?"
    "Arabel," sahut Lancelot membetulkan, "tak kusangka dia juga diundang. Mungkin Lord Cavanaugh penggemar pertunjukkannya."
    Selanjutnya adalah acara ramah - tamah biasa.
    Para tamu dipersilakan ngobrol sambil menikmati hidangan. Mereka bersantap sambil dihibur alunan musik ringan yang ceria. Sesungguhnya acara yang diadakan Cavanaugh ini cukup bermuatan politis. Ia dan rekan - rekan sedang mencari dukungan publik. Mereka membuat acara ini terkesan santai supaya orang merasa senang.