"Ambil nafas, cah ayu. Siap, yok 1, 2, 3..." Nenek memberi aba-aba. Ibu itu mengejan lagi, berteriak. Aku memalingkan wajah, bukan karena takut gendang telingaku rusak. Tapi aku sungguh tak tega melihatnya. Aku merasakan tubuhku juga ngilu, bagaimana bisa bayi sebesar itu keluar dari lubang super sempit.
Suara tangis bayi terdengar, ada rasa buncah yang menyusup dalam diri. Saat aku menoleh, nenek sudah memangku bayi yang tengah menangis, masih berlumur darah.
Saat itulah aku melihat wajah nenek ditimpa cahaya. Saat senyum penuh rasa terimakasih dari ibu itu tersungging amat tulus untuk nenek yang telah menolongnya. Benar, di desa ini nenek memang serasa penolong yang di elu-elukan. Tapi aku tak suka, saat ia memberikan persembahan-persembahan apalah itu namanya. Ustadz salim pernah menyinggung soal itu, aku menepuk jidat. Kenapa membawa-bawa ustdaz Salim yang tukang selingkuh sih.
***
"Tanganmu kenapa di bebat, Han?"
"Oh, ini kemarin istri Paklik mencakar tanganku."
"Duh, Maafkan istriku ya Hana. Dan ini hasil kebun kami, untuk Nenek. Sampaikan terimakasihku pada beliau." Lelaki itu menyerahkan, singkong yang diikat juga bermacam-macam buah yang diletakkan dalam keranjang rotan.
Begitulah, jasa nenek dibayar. Tidak ada tarif harga. Apa saja, nenek menerimanya, asal dapat dimakan untuk memulihkan tenaganya dan memberi sesembahan untuk nenek moyang.
Beberapa orang masih mengantri di depan rumah untuk berobat, saat berita itu tersebar. Juragan Broto mengirimkan berkarung-karung beras dan berpuluh sapi ke salah satu rumah yang ada di kelokan sana.
"Siapa, Mang?" tanyaku pada salah seorang yang akan berobat pada Nenek.
"Sepertinya, juragan Broto akan melamar Yuk Halima untuk jadi istri ke empatnya, Han."