"Wahhh, cantikknya," pujiku memandang bulan yang bundar menggantung di langit cerah. Taburan bintang acak turut memberi keindahan yang paripurna.
"Aku baru saja membantu nenek menolong orang yang melahirkan, Lih. Kali ini lebih lama dari biasanya. Bayinya terlilit plasentanya, ibunya bahkan sudah kehabisan tenaga untuk mendorong bayi itu keluar."
Aku menghembuskan nafas mengingat kejadian menegangkan tadi.
"Bahkan aku mengira tadi anak atau ibu itu tak dapat selamat, tapi melalui perantara nenek, Tuhan berkata lain, mereka berdua selamat. Tangis haru memenuhi langit-langit rumah itu."
Aku menghembuskan nafas lagi, entah malam itu kurasa aku banyak sekali menarik dan menghembuskan nafas dari biasanya. Meski jika bisa kuhitung mungkin hasilnya sama saja.
"Sekarang aku dapat melihat bagaimana nenek seperti malaikat yang tak bersayap, Lih. Malaikat yang membawa bantuan Tuhan untuk sampai kepada mahluknya," ucapku menyajikan senyum kearah rembulan yang kukira turut tersenyum kearahku.
"Aku tau siapa sekarang tokoh panutanku, Lih. Bukan Nenek yang layaknya malaikat, bukan juga ustadz Salim yang baik, bukan juga juragan Broto seperti katamu."
"Jadi siapa orangnya, Han? Panutanmu itu."
"Kau, Lih," jawabku, mengalihkan pandang dari rembulan ke arah Galih.
"Kau yang telah membuka sudut penglihatanku yang lain, untuk melihat setiap kebaikan dari orang-orang. Termasuk pandangan terhadap nenekku sendiri. Tidak hanya berfokus pada satu keburukan. Satu keburukan yang menutup banyak daftar kebaikan."
Aku sungguh-sungguh ketika mengatakan hal itu, wajah Galih memerah. Rembulan yang purnama dilangit sana pun turut tersipu.