Aku menghembuskan nafas kesal, entah kenapa akhir-akhir ini aku cepat sekali marah dan serasa ingin sekali menelan orang. Aku beranjak menuju pintu, membukanya. Angin dan tempias air hujan segera menyambut wajahku yang menyembul dari pintu.
"Kenapa, heh?"
"Istriku mau melahirkan Hana, aku butuh bantuan Nek Mina. Apa Nek Mina sudah tidur, aku minta tolong paggilkan beliau," ucap salah seorang lelaki dewasa yang berada di depan pintu.
"Ini hujan deras, angin dan berguntur. Tak bisakah kalian saja yang membawa orang akan melahirkan itu ke sini. Nenek ku sudah tua, jalan di hari terang saja kesusahan apalagi di hari badai seperti ini," gerutuku panjang lebar.
Dua orang di hadapanku saling pandang.
Tiba-tiba dari arah belakang tangan keriput itu tengah mengenai bibirku, mengeruesnya. Seolah ingin mencabut bibirku dari tempatnya.
"Kau belum pernah merasakan akan melahirkan. Seenaknya jidat ngomong sembarangan," protes Nenek memelototiku. "Kau, Hana ikuti Nenek. Biar kau saksikan sendiri bagaimana orang berjuang melahirkan itu."
Wajahku menggelembung sebal, selama ini aku selalu menghindar jika nenek sedang menolong orang melahirkan. Teriakannya itu bisa membuat gendang telinga pecah.
Maka di tengah badai malam itu, aku mengekor Nenek di belakang sendirian. Nenek dipapah oleh dua lelaki dewasa yang menjemputnya. Sampai di depan rumah Galih, aku menatap nanar pintu yang tertutup itu. Andaikan ada Galih, malam badai seperti sekarang pasti akan menyenangkan.
Belum usai kalimatku berhenti dalam benak, sudah ada seseorang yang menyusup di bawah payungku, berdiri mensejajari langkah. Aku reflek berteriak, membuat yang di depan menoleh.
"Kau, Galih. Berhentilah membuat Hana kaget atau kau akan ditelannya bulat-bulat!" Nenek menoleh dan berseru, kemudian tak acuh meneruskan langkah.